Mari Melambat
“Apakah kaupunya kesabaran untuk menunggu hingga lumpurmu mengendap dan air menjadi jernih? Bisakah kau diam hingga tindakan yang benar muncul dengan sendirinya”—Lao Tzu Saat berjalan kaki pagi ini, tiba-tiba saya teringat, betapa sudah lama saya tidak berjalan kaki hanya untuk menikmatinya. Berjalan kaki yang bukan untuk mengantarkan ke sebuah tujuan. Tak ada yang perlu dikejar. Tak perlu melihat jam. Kesempatan seperti ini semakin langka saja. Entah karena tak ada waktu atau karena kebiasaan. Dengan berlambat-lambat seperti ini, banyak hal jadi terasa lebih dekat, lebih menarik. Udara sejuk menerpa wajah, gemericik air, selokan butek, kicau burung, sampah yang menumpuk di pinggir jalan. Apa-apa yang terabaikan ketika dilewati dalam kecepatan tinggi jadi tersentuh dan membekas di segenap indera. Dalam buku War of the Worlds , Mark Sluoka memberi ilustrasi tentang ketidaknyataan yang meningkat seiring dengan bertambahnya kecepatan: “Saat berjalan kaki dengan kecepatan 1