Postingan

Dua puisi

Sabtu lalu saya menghadiri workshop puisi FLP Jepang di Komaba. Saya tak pernah mencoba menulis puisi dan jarang sekali membaca puisi. Ada anggapan tak teruji bahwa puisi sulit dinikmati dan sulit untuk ditulis. Saya bukan pengapresiasi puisi yang baik.  Ketika ada sesi untuk berlatih kemarin, saya tidak mengambil kesempatan untuk mencoba menulis puisi, selain karena saya disibukkan dengan tangis Rasyad, juga karena ide yang tak kunjung ditangkap.  Saya merasa punya utang pada diri sendiri untuk mencipta puisi setelah repot-repot ikutan workshop itu.  Lewat tengah malam keesokan harinya, setelah Rasyad kembali tertidur sehabis diganti popoknya, saya tiba-tiba mendapat ide untuk menulis sebuah puisi, dan langsung saya catat saat itu juga. Inilah hasilnya, puisi saya yang pertama setelah bertahun-tahun:  Menyambut musim semi   Musim yang menggigilkan ini tampaknya akan segera berganti  Ketika kubuka jendela pagi, udara yang kuhirup dalam-dalam  membawakan harum bunga-bunga dan tanah basa

i-Rambling

Begitu banyak yang terjadi dalam satu bulan terakhir ini. Saya mencari-cari waktu untuk mencatatnya di sini, tapi tak kunjung berhasil mendapatkan sedikit waktu jenak itu. Akhirnya kesempatan itu datang hari ini, ketika Rasyad sudah berumur tiga mingguan (berita kelahirannya dan seluruh keriuhan di sekitarnya direkam di blog Hanifa dan Rasyad ). Udara mulai hangat, kemarin sampai 22 derajat, tapi hari ini turun lagi menjadi 10 C. Berdiri di luar, menghirup udara dalam-dalam, tercium aroma harum bunga-bunga. Tunas tulip di halaman belakang sudah tumbuh lebih dari lima centimeter di atas tanah. Tanda-tanda menjelang musim semi ada di mana-mana. Bunga ume sudah bermekaran di Koganei Koen, merah muda, putih, kuning. Siang ini saya bisa duduk di tenang di depan komputer, sambil menggendong Rasyad yang tidur gelisah. Hidup bersama seorang bayi lagi, saya merasa seperti mengulangi sebuah siklus. Menyusui lagi, bangun malam, mengganti popok, menggendong ke sana kemari. Bayi yang baru lahir it

Buku Lama

Gambar
Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta Apa yang akan kita lakukan dengan buku yang sudah dibaca? Pertanyaan itu menggelayuti saya dalam beberapa hari belakangan ketika mulai membereskan dan memilih koleksi buku yang akan saya bawa pulang ke Indonesia. Buku-buku itu seperti meninggalkan jejak sendiri. Setiap bertemu lagi dengan sebuah buku, saya jadi teringat apa yang paling mengesankan saya ketika membacanya, emosi apa yang pernah terbangkitkan dan peristiwa apa yang terjadi dalam masa saya membaca buku itu. Seperti melihat sebuah foto lama, saya diajak kembali masuk ke suasana yang terekam di sana, tapi lebih dari sekadar gambar dalam foto, memori itu membuat saya memetik lagi kalimat-kalimat indah dan kebijakan yang pernah menyentuh saya lewat pembacaannya. Lantas apa yang sebaiknya saya lakukan dengan buku-buku itu? Sebagai sebuah benda bervolume besar, buku secara fisik menimbulkan persoalan sendiri untuk dibawa ke mana-mana. Butuh biaya, tempat dan tenaga. Saya tidak tega untu

Menuai Apa yang Ditanam

Orang menuai apa yang dia tanam. Saya sering terpikirkan peribahasa itu belakangan ini. Saya melihat contohnya pada diri Mas Hernowo yang sekarang seperti sedang memetik apa yang dia tanam tujuh tahun yang lalu: virus menulis dan membaca. Benih itu menyebar ke lingkungan sekitarnya, lingkungan kerja, sekolah dan keluarganya, tapi tentunya paling kuat tertanam dalam dirinya.  Sekarang, hasilnya sudah terlihat. Mas Hernowo telah menghasilkan tujuh buku dalam kurun tiga tahun belakangan. Bulan ini beliau memulai sebuah kursus pelatihan menulis kilat, dan sepanjang waktu tujuh tahun itu dia berubah menjadi seorang pembicara publik untuk soal motivasi menulis.  Saya jadi bertanya pada diri saya apa yang saya tanam sekarang? Apa yang ingin saya tuai dalam tahun-tahun mendatang? Saat ini, yang paling saya anggap penting adalah menjalankan peran sebagai ibu.  Saya barusan memesan buku The Joyful Mother of Children dan Teaching Your Children Values , keduanya dari Linda Eyre. Saya ingin menjadi

i-Rambling

Pada suatu siang yang terik, saya memperhatikan seorang nenek tua berbelanja di sebuah supermarket. Nenek itu sangat bungkuk, jalannya pelan, tanpa tongkat, langkah terseret. Kelihatan sekali betapa susahnya dia membuat satu langkah ke depan, mengerakkan kakinya bergantian untuk menaiki tangga dan menyusuri lorong-lorong tempat belanja, sambil membawa keranjang belanjaan yang berat. Pertanyaan yang langsung terlintas dalam pikiran saya adalah tidak adakah anggota keluarga lain yang bisa membantunya. Mengapa keluarganya membiarkan dia hidup sendirian? Sejak punya anak sendiri, dalam pikiran saya senantiasa muncul pertanyaan tentang keluarga ketika melihat seorang anak muda. Di dalam bis, kereta, di jalan-jalan, melihat aneka perilaku manusia, saya bertanya bagaimana mereka di tengah keluarganya, keluarga bagaimana yang telah menghasilkan seseorang seperti itu, entah perilakunya baik atau serampangan. Melihat seseorang selalu saya kaitkan dengan keluarga tempat dia berasal. Dengan menges

What makes you change?

We are generally the better persuaded by the reasons we discover ourselves than by those given to us by others. -- Blaise Pascal

i-Quote

Ujian satu-satunya bagi keabsahan sebuah ide religius, pernyataan doktrinal, pengalaman spiritual atau praktik peribadatan adalah bahwa ia harus langsung menggiring ke arah tindakan belas kasih. Jika permahaman Anda tentang yang ilahi membuat Anda lebih ramah, lebih empatik, dan mendorong Anda untuk menunjukkan simpati dalam tindakan nyata, itulah teologi yang baik. Tapi jika pemahaman Anda tentang Tuhan membuat Anda tidak ramah, pemarah, kejam atau merasa benar sendiri atau jika itu menggiring Anda untuk membunuh atas nama Tuhan, itu adalah teologi yang buruk. -- Spiral Staircase (Karen Armstrong)