Postingan

Transisi

Kurang dari sepuluh pekan lagi waktu untuk kembali ke indonesia. Suasana berpisah mulai terasa. Barang-barang mulai dikemasi. Lima tahun tinggal di sini, kalau dimisalkan sebuah pohon, akarnya sudah tumbuh cukup kuat. Untuk mencerabut diri dari tempat itu perlu tenaga cukup besar, tapi yang tertinggal hanya terpaksa ditinggal, akar-akar halus yang sudah menyusup terlalu kuat: perasaan yang tertinggal, kenangan yang akan dibawa dan gambaran yang akan terus melekat dalam pikiran. Menyusun satu persatu buku-buku ke dalam kardus tadi pagi, tak terelakkan menyelinap sedikit rasa sedih di hati akan mengakhiri sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Semua yang berawal akan berakhir, memang. Tapi menyongsong sebuah akhir, bagaimana pun tetap terasa menyedihkan. Menyongsong sebuah kebaruan tetap terasa gamang, karena kita tidak tahu apa yang menanti di depan. Berkemas membuat kita bisa melihat betapa hidup sering dilalui dengan menunda-nunda pekerjaan dan menumpuk barang yang tak benar-benar perl

Novel tentang Kerja

Lima novel tentang kerja pilihan Ian McEwan : Rabbit at Rest by John Updike The car salesman. The longeurs and the accountancy deceits are beautifully wrought. Rabbit's shafting by a Toyota rep, Mr. Shimada, defines a time in the 1980s of American industrial nervousness. Towards the End of the Morning by Michael Frayn The journalist. Frayn is perhaps England's greatest comic writer. Grubby, compromised hacks haven't been done better since Evelyn Waugh's "Scoop." (The book was also published with the title "Against Entropy.") The Black Cloud by Fred Hoyle The astronomer. A huge entity hovering near earth turns out to be a colossal intelligence. It's completely unimpressed by our civilization; some Beethoven sonatas hold its attention for a while. Body and Soul by Frank Conroy The musician. A wonderful evocation of a young man's mastery of the technique of the classical piano. Conroy is a fine jazz player, with a highly regarded "walking&q

Mizutani-san 水谷 澄子

Ada rasa sepi menyelinap ketika pagi ini saya menengok ke apartemen tetangga di sebelah kanan. Jendela kacanya yang tak lagi bergorden, menampakkan kamar kosong dengan dinding polos. Halaman belakangnya yang dulu penuh tanaman kini hanya tanah coklat. Tak ada lagi ajisai putih yang cantik di pojok kirinya. Tak ada lagi rumpun-rumpun bunga dan beragam tumbuhan yang sering disirami dan disianginya. Semua sudah dibersihkan, dikemas, dan dibagikan ke para peminat karena penghuninya mesti pindah rumah dua hari yang lalu. Kalau sekadar tetangga biasa saya pasti tidak akan merasakan kesan sepi itu. Penghuni apartemen ini sering berganti, selalu datang dan pergi, terutama yang di lantai dua. Meski tinggal dalam satu bangunan, kami nyaris tidak saling mengenal. Hanya nama di kotak pos yang membuat kami bisa menyebut siapa yang tinggal di kamar nomor berapa. Tapi tetangga yang satu ini berbeda. Beliau seorang nenek yang berusia mendekati delapan puluh tahun. Sejak pertama kami tinggal di apartem

Scientific fraud

Sekarang ada lagi yang menarik saya: Scientific fraud, atau misconduct in science. Saya pertama digiring ke arah ini ketika mencari tentang "novel about work" di Google. Saya sedang teringat pada novel Amsterdam karya Ian McEwan. Dalam novel ini McEwan menggambarkan dua orang tokoh yang berprofesi sebagai jurnalis dan satunya sebagai pencipta lagu. Novel yang bercerita seputar dunia kerja tidak terlalu banyak, novel McEwan ini salah satu yang mengesankan. Saya ingin cari novel lain seperti ini. Dan, seperti biasa, pencarian di Google sering membawa kita melebar dan menjauh dari titik berangkat kita, membuat kita lupa apa yang awalnya kita inginkan. Saya akhirnya dipertemukan dengan novel Cantor's Dilemma karya Carl Djerassi. Carl Djerassi adalah profesor emeritus untuk bidang kimia di Stanford University. Sejak 15 tahun yang lalu Djerassi beralih menjadi novelis. Cantor's Dilemma adalah novel pertamanya. Kekhasan novel dia adalah selalu berkisar pada dunia sains--sesu

i-Rambling

Minggu yang lalu ada berita tentang seorang ayah yang dihukum penjara sebelas tahun karena menendang anaknya yang berusia lima tahun hingga meninggal. Kejadiannya di Chiba tahun 2003. Minggu ini ada berita senada tentang pasangan suami istri Yokohama yang ditahan karena memukul bayi usia tiga bulan mereka sampai mati . Mereka sudah melakukan itu sejak bulan Maret lalu ketika bayinya baru lahir. Mereka bilang, alasannya karena bayi itu tidak mau berhenti menangis. Hati saya menangis. Tidak habis pikir dengan perilaku orangtua seperti ini. Apa yang mereka harapkan akan dilakukan seorang bayi; terus menerus tertawa, tersenyum, diam, dan tidak mau dengar suara tangisnya? Bayi yang tidak menangis?--- contradictio in terminis . Mengapa banyak sekali terjadi kasus penyiksaan anak sampai mati di negeri matahari terbit ini. Angka kelahiran di Jepang untuk tahun ini dilaporkan lebih rendah lagi dibanding tahun sebelumnya, 1,29%. Kalau bayi-bayi yang lahir itu pun pada dibunuhi seperti ini karena

i-Rambling

Peristiwa pembunuhan di Nagasaki tanggal 1 Juni yang lalu itu memang sangat tragis. Bukan hanya karena pelakunya adalah siswa kelas enam sekolah dasar yang berumur sebelas tahun dan korbannya adalah teman sekelasnya yang berusia dua belas tahun, tapi juga karena penyebabnya dipicu oleh chatting antara mereka di internet dan kejadiannya berlangsung di sekolah. Kedua anak perempuan itu berteman akrab, Mereka bersama dua anak lainnya punya semacam weblog yang diisi bersama dan sering berkirim instant message sejak empat bulan lalu. Sekitar pertengahan Mei si pelaku mengingatkan si korban agar berhenti meledek penampilan dan berat badannya ketika chatting. Tapi si korban tetap melakukannya. Empat hari sebelum peristiwa pembunuhan itu, si pelaku sudah berniat untuk melakukan pembunuhan