Postingan

Three Cups of Tea

Gambar
Kau tahu kawan, setiap buku adalah pengembaraan jiwa. Dan jika saat-saat ini kau ingin kisah yang menggetarkan senar-senar kemanusiaanmu, bacalah buku ini, Three Cups of Tea. Hangatkan jiwamu dengan alunan kata-katanya, hirup dalam-dalam wangi pesonanya. Lalu katakan padaku benarkah kau tidak merasa tersentuh oleh perjuangan lelaki berhati lembut itu untuk menerangi hidup anak-anak perempuan di pelosok terjauh pakistan dan afghanistan dengan cahaya pendidikan, keberaniannya menghadang bahaya, menembus medan terjal, berhadapan dengan desingan peluru, mempertaruhkan hidup yang memang rapuh ini demi sesuatu yang begitu jauh dari kepentingan pribadinya. Atau oleh kecerdasan hati orang-orang tua yang hidup di alam keras pegunungan pakistan, yang tak mengenyam pendidikan sekolah, namun siap mengorbankan hartanya yang paling berharga demi masa depan pendidikan anak-anak desanya. Ah, mungkin kau hanya perlu membacanya dengan lebih perlahan. Menghikmatinya satu demi satu. Dan oh ya, ini cerita

The Last Lecture

Gambar
"Sebagian buku pantas untuk dikenang, sebagaimana sebagian lainnya pantas untuk dilupakan." Ketika membaca The Last Lecture, beberapa kali saya terpaksa meletakkan buku untuk mengusap mata. Terutama pada bab-bab terakhir. Saat Randy menangis di kamar mandi memikirkan apa yang tidak akan dialami anak-anak bersamanya. Saat Jai naik panggung untuk merangkul Randy dan berbisik, "Tolong, jangan pergi." Saya biarkan diri tertegun beberapa saat merasakan sesuatu yang hangat di sudut mata, meski tengah berada di keramaian ruang tunggu dokter sepagi tadi. Saya suka pengalaman membaca yang seperti itu. Yang bisa mengaduk segala macam perasaan, membuat tertawa dan menangis, mengirim kita ke tempat-tempat terjauh di bumi dan di hati. Yang menamatkannya memberi jejak pengalaman seolah nyata. Saya sendirilah yang sepertinya memiliki pasangan dengan kanker berfase metastasis itu. Atau sayalah yang sepertinya tercekam sepi mengingat jatah hidup yang diberitakan tinggal tiga

Sekadar Catatan Minggu Pagi

Pagi tadi kami pergi ke sebuah taman tak jauh dari rumah. Taman itu sejatinya bagian dari halaman luas sebuah rumah sakit milik angkatan darat. Setengahnya digunakan untuk lapangan parkir, selebihnya lapangan rumput terbuka yang sering digunakan anak-anak untuk bermain bola sepulang sekolah. Pada hari minggu lapangan parkirnya nyaris kosong. Betapa cuaca cerah di akhir pekan adalah sumber kegembiraan. Pagi ini taman itu penuh dengan keluarga dan kelompok-kelompok orang yang bersukacita, piknik, bermain bola, badminton, bersepeda, dan berbelanja. Kami duduk di pinggir lapangan. Beberapa orang lanjut usia duduk di bawah pohon, melayangkan matanya ke sana kemari menyaksikan keramaian, mengobrol dan berdiskusi di tengah riuh rendahnya orang bergembira. Sementara anak-anak berlarian tak mau diam, berebutan bola, memukul teman dan membuatnya menangis. Mereka mungkin heran melihat orang dewasa yang hanya melakukan hal yang begitu membosankan di tengah udara yang begitu bagus. Duduk dan mengob

Mari Melambat

Gambar
    “Apakah kaupunya kesabaran untuk menunggu hingga lumpurmu mengendap dan air menjadi        jernih? Bisakah kau diam hingga tindakan yang benar muncul dengan sendirinya”—Lao Tzu  Saat berjalan kaki pagi ini, tiba-tiba saya teringat, betapa sudah lama saya tidak berjalan kaki hanya untuk menikmatinya. Berjalan kaki yang bukan untuk mengantarkan ke sebuah tujuan. Tak ada yang perlu dikejar. Tak perlu melihat jam. Kesempatan seperti ini semakin langka saja. Entah karena tak ada waktu atau karena kebiasaan.  Dengan berlambat-lambat seperti ini, banyak hal jadi terasa lebih dekat, lebih menarik. Udara sejuk menerpa wajah, gemericik air, selokan butek, kicau burung, sampah yang menumpuk di pinggir jalan. Apa-apa yang terabaikan ketika dilewati dalam kecepatan tinggi jadi tersentuh dan membekas di segenap indera.  Dalam buku War of the Worlds , Mark Sluoka memberi ilustrasi tentang ketidaknyataan yang meningkat seiring dengan bertambahnya kecepatan: “Saat berjalan kaki dengan kecepatan 1

Mengapa Benci

Berita pelarangan kegiatan ibadah di lingkungan perumahan selama ini tidak terlalu menjadi perhatian saya. Saya membacanya di koran dengan biasa saja: sebagai pembaca yang berjarak. Mungkin karena saya belum melihatnya langsung di lingkungan saya, tidak menyentuh keseharian saya. Begitulah sampai tadi pagi, ketika pulang bersepeda, di sebuah gerbang tampak terpasang spanduk besar bertulisan, “Kami warga … tidak mengizinkan gedung … di kelurahan kami digunakan sebagai tempat peribadatan … .” Opps, peristiwa di koran itu sekarang terjadi di lingkungan terdekat saya. Seketika pertanyaan terbetik di benak, apa salahnya jika gedung itu digunakan untuk beribadat. Mereka pasti minta izin pada pemiliknya, mereka juga barangkali harus membayar, dan tentunya mengikuti aturan tertentu tentang keramaian. Toh, gedung itu juga biasa dipakai untuk acara kawinan atau keramaian lainnya. Apa bedanya? Letaknya di tepi jalan besar, bertetangga dengan kantor-kantor dan toko, jauh dari keramaian rumah pendu

Mesin Ketik

Betapa jauh sudah kita meninggalkan dunia mesin ketik. Bagi saya sendiri, terakhir menggunakan alat berisik itu, kalau tidak salah, lebih dari dua puluh tahun lalu, ketika menulis tugas di kelas 3 SMA. Benda itu sendiri sekarang sudah tidak ada lagi di sekitar saya, sudah lama tidak melihatnya; kalau pun ada pasti sudah berselaput debu tebal karena tak pernah disentuh. Maka tertegunlah saya tadi pagi melihat seorang bapak tua dengan telaten memperbaiki sebuah mesin ketik tua di halaman depan rumahnya. Beberapa tungkai hurufnya terentang seperti kerangka fosil tua di padang gurun. Ringkihnya mesin itu seperti sepadan dengan kakek itu. Hmm, mungkin dia membutuhkannya untuk mengisi formulir urusan administrasi ini-itu di kelurahan, pikir saya. Tapi ada satu yang bisa saya mengerti, kenikmatan merawat barang yang dulu pernah menjadi penting, rasa senang ketika berhasil memperbaiki sesuatu yang rusak. Walaupun mesin ketik itu akan kembali menghuni pojok berdebu setelah itu, kepuasan yang di

a perpetual search

This almost-five-year old boy of mine keeps puzzling me lately with his questions, and statements, about god. Who made god? Where does he live? How come I cannot see him? If he created the sun, then he must have a very loooong hand to reach it up there. If god is everywhere, then he must be there in the streets, in a bottle, in the shops. All kind of silly thinking. Whatever answer I gave him is certainly never satisfying. He keeps coming back with another mind-boggling conundrum. I believe every parent experience this. It is an exciting time. It is amazing to see how this one time baby sudenly opens up his minds to such realm. But how temptating it is to say “we are not permitted to say that about god,” asking him him stop his exploration. It is like putting up a no tresspassing sign at the borders of this sensitive area. I’ll resist this easy-temptating-way to deal with this. I think what I will do is to let him say out loud whatever he thinks of god, and tell him that nobody has the