Postingan

Journal of Solitude

Gambar
Sebuah buku lama yang kembali muncul ke permukaan, Journal of a Solitude karya May Sarton (1973). Berbeda dengan Operating Instructions , buku ini aku dapatkan dalam kondisi yang sudah agak ‘renta’, punggungnya mulai terkelupas dan halamannya agak menguning dan mudah terlepas-lepas. Tergeletak di bawah tumpukan bargain books di arena pameran buku Tokyo tahun 2001.  Kenapa aku tertarik buku ini pada waktu itu, padahal aku tidak kenal pengarangnya? Aku kira karena subjudulnya, " the intimate diary of a year in the life of a creative woman ."  Dan untuk alasan apa buku ini teringat lagi sekarang setelah ia lama bergelut dengan debu di rak pojok sana?  Karena gardening , ada beberapa bagian dalam buku ini yang dulu, bertahun-tahun lalu, mendorongku untuk mencoba menanam dan memelihara beberapa tanaman bunga di halaman, yang belakangan ini  ingin aku coba mulai lagi.  Journal of a Solitude adalah sebuah buku yang sangat personal. Berisikan catatan kehidupan selama satu tahun seora

Operating Instructions

Gambar
Judul buku yang aneh, kalau tak lihat subjudulnya, orang tentu akan menduga buku ini berisi panduan menggunakan sebuah peralatan. Komputer, mungkin. Atau mesin keruk. Atau food-processor barangkali.  Tapi bukan, jelas bukan, karena subjudul itu berbunyi, ‘ a journal of my son’s first year .’ Penulisnya novelis Anne Lamott.  Buku ini disebut sebagai diari yang paling kocak, paling jujur dan sangat menyentuh dari seorang ibu yang baru melahirkan anak pertama.  Kadang-kadang kita jadi teringat satu buku yang sudah lama kita baca hanya gara-gara hal sepele. Aku teringat buku ini gara-gara plester. Ya, plester penutup luka itu. Ada satu bagian kecil, sambil lalu, dalam buku ini yang bercerita tentang plester.  Dulu, bertahun-tahun lalu, bagian itu telah mengajariku untuk selalu menyediakan cadangan plester dalam jumlah banyak di rumah. Plester bekerja seperti magis pada anak kecil. Sedikit luka, meringis sakit secara berlebihan, ditempeli plester, tangisan lenyap seketika seakan-akan luka

The Passion of Christ

Gambar
Setelah membaca tatal ke-24 dalam buku Gunawan Mohamad, Tuhan dan hal-hal yang tak selesai , aku jadi ingin melihat film The Passion of Christ . Disutradarai Mel Gibson, dirilis pada 2004, film ini sempat bikin gegar, tapi waktu itu aku tidak punya dorongan untuk menontonnya--kamu tahu sekadar kebaruan tidak selalu jadi alasan yang cukup kuat bagiku untuk memilih melakukan sesuatu.  Berikut ini catatan kesanku setelah menyaksikan film lawas itu.  Aku pikir, dalam film ini Mel Gibson tidak berurusan dengan kebenaran, dia hanya berkepentingan dengan penggambaran. Maka membandingkan filmnya dengan versi yang ada di dalam buku-buku tentang peristiwa penyaliban Yesus jadi sama sekali tidak menarik, kalau bukan tidak pada tempatnya.  Mempersoalkan kebenarannya sama sekali tidak relevan. Demi penggambaran yang kuat, Mel Gibson harus memilih detail dari sekian banyak versi yang beredar, dan sepertinya apa yang dia pilih memang yang paling dekat dengan versi Alkitab: penangkapan oleh Sanhedrin

zen poems

Gambar
Jeda siang sejenak, saya teringat beberapa puisi zen. Kalimat-kalimat pendek, gampang diingat. Terasa indah karena sederhana, tapi tetap menyimpan sedikit godaan untuk merenungkan makna. Keajaiban zen. Jernih. Meditatif. Beberapa pilihan ini, favorit saya: (1) Sitting quietly, doing nothing, Spring comes, and the grass grows by itself. (2) The blue mountains are of themselves blue mountains; The white clouds are of themselves white clouds. (3) Doing nothing is the most tiresome job in the world because you cannot quit and rest. (4) Fearing my past is exposed to the moon, I keep looking down this evening. (5) Before enlightenment; chop wood, carry water. After enlightenment; chop wood, carry water. Seperti air yang menetes ke dalam kolam tenang, menimbulkan riak kemudian menghilang. Itulah zen. Nikmat betul meresapinya di siang terik ini, dengan latar gemerisik tonggeret dari rimbun pohon di luar sana.

Three Cups of Tea

Gambar
Kau tahu kawan, setiap buku adalah pengembaraan jiwa. Dan jika saat-saat ini kau ingin kisah yang menggetarkan senar-senar kemanusiaanmu, bacalah buku ini, Three Cups of Tea. Hangatkan jiwamu dengan alunan kata-katanya, hirup dalam-dalam wangi pesonanya. Lalu katakan padaku benarkah kau tidak merasa tersentuh oleh perjuangan lelaki berhati lembut itu untuk menerangi hidup anak-anak perempuan di pelosok terjauh pakistan dan afghanistan dengan cahaya pendidikan, keberaniannya menghadang bahaya, menembus medan terjal, berhadapan dengan desingan peluru, mempertaruhkan hidup yang memang rapuh ini demi sesuatu yang begitu jauh dari kepentingan pribadinya. Atau oleh kecerdasan hati orang-orang tua yang hidup di alam keras pegunungan pakistan, yang tak mengenyam pendidikan sekolah, namun siap mengorbankan hartanya yang paling berharga demi masa depan pendidikan anak-anak desanya. Ah, mungkin kau hanya perlu membacanya dengan lebih perlahan. Menghikmatinya satu demi satu. Dan oh ya, ini cerita

The Last Lecture

Gambar
"Sebagian buku pantas untuk dikenang, sebagaimana sebagian lainnya pantas untuk dilupakan." Ketika membaca The Last Lecture, beberapa kali saya terpaksa meletakkan buku untuk mengusap mata. Terutama pada bab-bab terakhir. Saat Randy menangis di kamar mandi memikirkan apa yang tidak akan dialami anak-anak bersamanya. Saat Jai naik panggung untuk merangkul Randy dan berbisik, "Tolong, jangan pergi." Saya biarkan diri tertegun beberapa saat merasakan sesuatu yang hangat di sudut mata, meski tengah berada di keramaian ruang tunggu dokter sepagi tadi. Saya suka pengalaman membaca yang seperti itu. Yang bisa mengaduk segala macam perasaan, membuat tertawa dan menangis, mengirim kita ke tempat-tempat terjauh di bumi dan di hati. Yang menamatkannya memberi jejak pengalaman seolah nyata. Saya sendirilah yang sepertinya memiliki pasangan dengan kanker berfase metastasis itu. Atau sayalah yang sepertinya tercekam sepi mengingat jatah hidup yang diberitakan tinggal tiga

Sekadar Catatan Minggu Pagi

Pagi tadi kami pergi ke sebuah taman tak jauh dari rumah. Taman itu sejatinya bagian dari halaman luas sebuah rumah sakit milik angkatan darat. Setengahnya digunakan untuk lapangan parkir, selebihnya lapangan rumput terbuka yang sering digunakan anak-anak untuk bermain bola sepulang sekolah. Pada hari minggu lapangan parkirnya nyaris kosong. Betapa cuaca cerah di akhir pekan adalah sumber kegembiraan. Pagi ini taman itu penuh dengan keluarga dan kelompok-kelompok orang yang bersukacita, piknik, bermain bola, badminton, bersepeda, dan berbelanja. Kami duduk di pinggir lapangan. Beberapa orang lanjut usia duduk di bawah pohon, melayangkan matanya ke sana kemari menyaksikan keramaian, mengobrol dan berdiskusi di tengah riuh rendahnya orang bergembira. Sementara anak-anak berlarian tak mau diam, berebutan bola, memukul teman dan membuatnya menangis. Mereka mungkin heran melihat orang dewasa yang hanya melakukan hal yang begitu membosankan di tengah udara yang begitu bagus. Duduk dan mengob

Mari Melambat

Gambar
    “Apakah kaupunya kesabaran untuk menunggu hingga lumpurmu mengendap dan air menjadi        jernih? Bisakah kau diam hingga tindakan yang benar muncul dengan sendirinya”—Lao Tzu  Saat berjalan kaki pagi ini, tiba-tiba saya teringat, betapa sudah lama saya tidak berjalan kaki hanya untuk menikmatinya. Berjalan kaki yang bukan untuk mengantarkan ke sebuah tujuan. Tak ada yang perlu dikejar. Tak perlu melihat jam. Kesempatan seperti ini semakin langka saja. Entah karena tak ada waktu atau karena kebiasaan.  Dengan berlambat-lambat seperti ini, banyak hal jadi terasa lebih dekat, lebih menarik. Udara sejuk menerpa wajah, gemericik air, selokan butek, kicau burung, sampah yang menumpuk di pinggir jalan. Apa-apa yang terabaikan ketika dilewati dalam kecepatan tinggi jadi tersentuh dan membekas di segenap indera.  Dalam buku War of the Worlds , Mark Sluoka memberi ilustrasi tentang ketidaknyataan yang meningkat seiring dengan bertambahnya kecepatan: “Saat berjalan kaki dengan kecepatan 1