Postingan

Roman Eyes, Indonesian Heart: Interview with Stefano Romano, Author of “Kampungku Indonesia”

Gambar
Is it possible to feel a land as our own homeland, without being one? For Stefano Romano, a photographer based in Rome, Italy, the answer is “yes” if the land is Indonesia. That’s the first sentence he wrote in the Preface to his first photo-book to be published in Indonesia by Penerbit Mizan in July 2016, titled Kampungku Indonesia (My Own Private Indonesia). Stefano started working as a photographer in 2009 with migrant communities from Bangladesh in Rome. Since then he never stopped taking pictures, getting in touch with other foreign communities, especially of Southeast Asia and

Mata Orang Roma, Hati Orang Indonesia (2)

Gambar
Stefano Romano berkesempatan berkunjung ke Indonesia pada momen pergantian tahun 2010 dan 2011 serta pada 2014, bertepatan dengan momen Ramadhan, Idul Fitri, dan 17 Agustus. Dalam kedua kunjungan tersebut, Stefano mengabadikan banyak momen dari sudut pandangnya sebagai orang Italia yang melihat kehidupan orang Indonesia dan kaum muslim di sini. Dalam waktu yang sama Stefano membagi ilmu lewat beberapa acara workshop fotografi bersama komunitas fotografi di Jakarta dan Yogyakarta. Foto-foto terpilih dari hasil kunjungannya itulah yang kini disajikan dalam bukunya Kampungku Indonesia, dilengkapi dengan cerita menarik di balik potret-potret tersebut. Tahun ini Stefano akan kembali berkunjung ke Indonesia dari 4 Juli hingga 28 September 2016, dan akan memanfaatkan sebagian waktu untuk kegiatan peluncuran buku, melakukan beberapa workshop fotografi di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Berikut perbincangan seputar penerbitan buku Kampungku Indonesia yang merupakan impiannya sejak lama.

Mata Orang Roma, Hati Orang Indonesia (1)

Gambar
Wawancara dengan Stefano Romano, Penulis Buku-Foto “Kampungku Indonesia” Mungkinkah seseorang merasakan suatu negeri sebagai kampung halamannya, padahal dia bukan berasal dari sana? Bagi Stefano Romano, seorang fotografer asal Italia, jawabannya adalah “ya” jika negeri itu adalah Indonesia. Demikian bunyi kalimat pertama pada bab pertama buku fotonya yang akan segera terbit dari Penerbit Mizan, berjudul Kampungku Indonesia. Stefano mulai bekerja sebagai fotografer sejak 2009. Berawal dengan memotret komunitas orang Bangladesh yang tinggal di Roma, kemudian meluas ke berbagai komunitas negara Asia lainnya. Hampir seluruh komunitas yang diakrabinya dicirikan oleh satu hal yang sama, yakni mereka adalah negara-negara bermayoritas penduduk Muslim. Bergaul dengan mereka memicu rasa ingin tahu Stefano mengenai Islam. Ketertarikannya secara khusus terpicu oleh pengamatannya sebagai fotografer pada saat memotret wanita berhijab. Menurut Stefano, wajah wanita berhijab memancarkan c

Oleh-oleh dari Bologna

Gambar
Tahun ini Indonesia hadir untuk kedua kalinya di pameran buku anak Bologna. Kehadiran Indonesia di pameran yang berlangsung dari 4 hingga 7 April 2016 ini terasa lebih semarak karena besarnya momentum yang diciptakan oleh kesuksesan Indonesia sebagai Tamu Kehormatan pada Frankfurt Book Fair tahun lalu. Meski udara Bologna awal April sepanjang hari sejuk bikin mengantuk, aktivitas di stand Indonesia selama empat hari itu tak pernah sepi dari pagi hingga sore. Usai penataan stand, sehari sebelum pembukaan pameran Stand Indonesia tahun ini tampil dengan desain yang jauh lebih menarik dibanding sebelumnya. Ornamen logo 17 Islands of Imagination menghiasi dinding lemari sekeliling stand. Lampu pijar yang berjejer di atas kepala menciptakan suasana hangat dan akrab. Pameran di Bologna dikhususkan untuk buku anak yang dicirikan oleh kekuatan ilustrasi, maka pada dinding luar stand ditampilkan gambar karya ilustrator Indonesia yang terpilih untuk dibawa ke Bologna tahun ini, Renata Owen

Sepercik India

Gambar
Apa yang kaulihat di jalanan kota New Delhi, Agra, Uttar Pradesh, barangkali tak jauh beda dengan apa yang tampak di Pariaman, Sumedang, Bandung. Yang datang menemuimu siang terik itu barangkali punya cerita yang sama dengan gadis-gadis muda yang terpaksa menjadi ibu ketika usia belum lagi dua dekade. Tapi tetap engkau termangu sambil matamu membuka lebih awas, kulitmu serasa lebih peka. Udara terasa lebih kental digelayuti masa lalu. Debu yang terhirup seperti membawa cerita eksotis yang tak kaurasakan hadir di tempatmu berasal. Jalanan terasa lebih padat dan sesak dengan kisah dari masa-masa yang panjang. Sementara pikiranmu menjelajah ke dalam memori yang juga tak ingin kaulepaskan. Empat puluh tahun yang lalu, ada dobi di samping rumah masa kecil kami. Tumpukan pakaian yang akan disetrika memenuhi kios kecilnya, bersama arang panas dan uap. Kini sudah tak ada Dobi di sana. Melihatnya di tepi jalan kota tua New Delhi langsung melontarkanku ke empat dekade ke belakang.  Waktu teras

Indonesian International Book Fair 2015

Indonesia International Book Fair (2-6 September 2015) has just wrapped up their show last week. Despite disappointments expressed by many foreign participants on the small number of local and international publishers attended the book fair, there is a high hope that this book fair will grow into one of the most important event for book and content industry  in Asia. Indonesia rights fair, better place but not better business, yet “This book fair is one that has potential to develop into an important one for the region, among all book fairs that you have in Indonesia. There is no question about going back to the old venue which is dark and dirty,” said Claudia Kaiser, Vice President of Frankfurt Book Fair for Asia, who closely studied Indonesian book publishing business for the last two years. “Less crowd this year, less number of booth. I can hardly find any English publishers, can hardly say this is an international book fair” complained Tahir Akhtar, regular visitor from Paki