Postingan

Rindu Laut

Gambar
"Jiwaku penuh rindu akan rahasia laut, dan bisikan samudra luas menjalarkan denyut menggetarkan dalam diriku." ―Henry Wadsworth Longfellow Pantai Air Tawar, Padang, 25 Juli 2014 Laut selalu memukau saya. Sebagai orang yang dibesarkan di daerah pantai—yang terdekat hanya berjarak 200 meter dari rumah masa kecil saya di Padang—tidak pergi ke pantai untuk waktu lama selalu memunculkan rasa rindu, yang mendorong saya untuk melihat-lihat lagi foto pantai. Bukan pantai indah komersial yang dikelola perusahaan wisata, yang saya rindukan adalah pantai alami terbuka yang terletak di halaman belakang rumah-rumah penduduk, tempat para nelayan kecil mencari nafkah. Pantai sepi yang jauh dari pemukiman, yang hanya bisa didatangi dengan berjalan kaki jauh menyusuri lahan-lahan kosong yang hanya dihuni hewan ternak yang dilepas liar. Cuaca di daerah pantai sering lebih dinamis, angin bisa tiba-tiba bertiup kencang, hujan deras seketika turun dan seketika berlalu. Saya teringat

Lelaki Bertelapak Kaki Angin

Gambar
Arthur Rimbaud, September-Oktober 1871. Foto: Etienne Carjat Catatan perjalanan adalah salah satu genre favorit saya. Membaca catatan perjalanan membawa saya membayangkan serunya menempuh perjalanan jauh dengan Trans Siberia, ketegangan melewati Khayber Pass, berjumpa orang-orang yang saya tidak pahami bahasanya namun tetap dapat  berkomunikasi. Barangkali karena aspirasi eksotik muda yang tak terwujud, dan semakin sedikit kesempatan dan waktu untuk menjelajah dalam arti yang sebenarnya ke tempat-tempat yang jauh, buku catatan perjalanan menjadi pilihan saya untuk menggenapinya. Di antara para penulis favorit saya di genre ini adalah Jon Krakauer dan Paul Theroux. Dari dalam negeri, tentu saja Agustinus Wibowo dan Sigit Susanto. Dari mereka saya mendapatkan kepuasan menjelajah negeri asing, mencicipi budaya dan tradisi yang sama sekali berbeda, tanpa harus bepergian. “ Armchair traveling” , begitu istilahnya. Dan belum lama ini saya menikmati pula buku perjalanan yang tidak biasa dar

Selamat Jalan, Pujangga

Gambar
Fotó: Marc Riboud: France, 2006. Ketika seorang penyair pergi Pepohonan merundukkan dahan Ombak-ombak beriak pelan Angin senyap Surya lindap Dia milik kita semua Pada bait-bait sajaknya kita temukan  apa yang tak mampu diungkap Karena pena kita lumpuh tertatih  Lidah kelu mengeja satu satu apa yang sejatinya ingin diucap Ujung pena lelah menunggu titah yang tak kunjung tiba Jejak tinta hanya menjadi satu titik gelap melebar Ketika seorang penyair pergi Kita menyimak lagi puisi-puisi lamanya  Meraba kembali jejak makna Sebuah koma yang jatuh tepat Sebelum kata-kata tercekat Selamat jalan, Pujangga Kautahu hati kami berlapis duka hari ini Ketika kami kembali membuka lembaran buku puisimu Ketika jasadmu tak lagi di sini Bandung, 19 Juli 2020  Diiringi doa, untuk Eyang Sapardi

Putri, Azmi, dan Anna Karenina

Gambar
Namanya Putri Aulia. Saya melihat namanya di pojok kanan atas selembar kertas. Putri Aulia menuliskan pohon keluarga Anna Karenina karya Leo Tolstoy setelah selesai membaca buku tersebut. Bikin saya tercengang. Anak 12 tahun yang sekarang duduk di kelas 7 Mts Sukamiskin, Bandung, itu sudah mampu melahap novel berat dan menuliskan rangkumannya. Setelah Anna Karenina, sekarang Putri mulai membaca Pramudya dan Alkemis dari Paulo Coelho. Putri Aulia adalah salah satu siswa yang mengikuti sekolah samin yang diselenggarakan Yayasan Odesa. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Setiap minggu dia meminjam buku di Perpusatakaan Odesa Indonesia, menamatkannya dalam seminggu atau kurang, lalu meminjam lagi buku baru. Setelah banyak membaca dia mulai juga rajin menulis dibimbing para mahasiswa relawan. Semangat ini semakin meningkat pada masa pandemik ketika kegiatan belajar di sekolah dipindah ke rumah. Anak-anak jadi lebih sering datang ke Odesa karena mereka jadi punya waktu seperti masa libu

Camera Lucida: Apa yang Membuatmu Terpukau?

Gambar
Tengah berduka atas kematian ibunda, Roland Barthes mencari foto sang ibu. Peristiwa ini mendorongnya untuk menuliskan salah satu buku yang paling berpengaruh dalam wacana kajian fotografi, Camera Lucida , yang juga merupakan karya terakhirnya. Suatu malam di bulan November, tak lama setelah kematian ibuku, aku membongkar koleksi foto. Aku tak berharap "bertemu" ibuku lewat foto itu, aku tidak mengharapkan apa-apa dari "foto tentang sesuatu yang di hadapannya kita tak mampu mengingat dengan lebih jelas daripada sekadar memikirkan sesuatu itu." Ada apa dengan sebuah foto. Apa yang kau harap dari melihatnya. Apa yang membuatmu tertegun memperhatikannya. Pesan apa yang disampaikannya, khusus untukmu? Roland Barthes tidak tertarik dengan apa kata orang. Foto yang kebetulan menarik perhatiannya mungkin tidak tampak istimewa. Tetapi dia tertarik pada selintas perasaan yang dibangkitkan oleh foto itu di dalam dirinya. Dia ingin menggali apa yang terjadi di dalam dirinya se

Mengumpulkan Receh a la Ivan Lanin

Gambar
Bahasa itu hidup. Dari waktu ke waktu, ada saja istilah dan kata baru yang muncul dari para penggunanya. Anak muda berkomunikasi dengan kosakata dan gaya yang berbeda dari orangtua mereka. Bahasa menjadi penanda zaman dan generasi.  Tapi, tidak semua orang bisa mengikuti dengan baik perkembangan itu. Sering kita bertemu istilah baru yang tiba-tiba sudah populer dan menyebar tanpa tahu akar, asal-usul, dan cerita di balik kemunculannya. Kamus pun bahkan bungkam. Kita tidak bisa menggunakan kamus untuk mencari arti dan definisinya karena kata-kata baru itu masih belum masuk kamus. Beruntung, di tengah kita ada seorang penjaga dan perawat gigih bahasa Indonesia. Seorang yang kian populer lantaran renajanya yang sangat besar pada bahasa. Ivan Lanin namanya, lulusan Teknik Kimia ITB yang kariernya kini meluncur di jalur yang sama sekali berbeda.  Ivan Lanin bermain di media sosial yang mudah diakses orang banyak. Twitter, instagram, facebook, dan Wikipedia. Menempatkan diri sebagai tempat