Hidup Susah Akibat Pernikahan Dini


Hari minggu, cuaca panas di atas 30 derajat, di Curug Batu Templek, Cimenyan, Ibu Nengsih (25 tahun) bersama 2 anaknya, Desi (10 tahun), kelas 4 SD dan Gunawan (6 tahun), berteduh di bawah pohon, menghindari terik matahari. Ibu Nengsih baru beres menyabit ilalang untuk kebutuhan acara Saba Desa yang akan diadakan oleh Odesa pada 30 September 2018 di Tebing Cosmo, Pasir Impun. 

Ibu Nengsih sudah dua bulan ditinggal pergi suaminya dengan status tidak jelas. Dia harus menghidupi kedua anaknya. Usaha sehari-hari Ibu Nengsih mengarit rumput dengan upah secukupnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya sudah 7 tahun Ibu Nengsih membanting tulang, sementara suaminya tidak bekerja. 

Saat ini, Ibu Nengsih tinggal bersama kedua anaknya di Cikored. Anak pertamanya, Desi, pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki, menempuh jarak kurang lebih 2 kilometer. 

Ibu Nengsih adalah korban pernikahan dini. Dia dikawinkan oleh orangtuanya pada saat dia berusia 14 tahun. Ada ketakutan bahwa jika anak perempuan tidak cepat-cepat dikawinkan, maka dia akan kehilangan kesempatan dan menjadi perawan tua. Selain itu, orangtua juga ingin segera lepas dari kewajibannya menanggung biaya membesarkan anak perempuan, sehingga memilih jalan mudah memberikannya ke tangan orang lain yang mau menjadi suaminya.

Nengsih tidak ingin anak perempuan mengalami nasib yang sama. Dia berkeinginan anaknya bisa sekolah lebih tinggi, agar jangan sampai seperti dirinya yang hanya sekolah sampai sekolah dasar dan hanya bisa kerja menyabit rumput. 

Pendidikan adalah jalan untuk memutus rantai warisan kemiskinan. Dukungan dan bantuan pendidikan untuk anak-anak ini adalah tali penyelamat bagi sebuah generasi.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"