Postingan

Menampilkan postingan dengan label free writing

Mentalitas Berkebun

Gambar
  Photo by  Sandie Clarke  on  Unsplash Berkebun sesungguhnya hal yang menyenangkan. Saya selalu mendapatkan kegembiraan kecil menyaksikan daun dan putik baru menyembul di antara rerimbunan, tunas-tunas kecil menyapa merekahkan tanah.

Kehilangan dan Kebaruan

Gambar
Setelah tiba pada usia tertentu, hidup berubah menjadi serangkaian kehilangan demi kehilangan. Sebuah kutipan dari Haruki Murakami melintas di linimasa pagi ini. Diambil dari 1Q84. 

Dilema Schadenfreude

Gambar
Di masa pandemik ini, sering kita dengar ada orang-orang yang tidak percaya keberadaan virus Corona. Mereka mengatakan Covid-19 itu hoax , konspirasi dunia kesehatan untuk mengambil keuntungan, dan pemerintah bereaksi berlebihan. Orang-orang ini tak mau mengikuti protokol kesehatan untuk selalu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Tapi tak jarang begitu dites usap, di antara mereka ada yang terbukti positif. Setelah itu pun sebagian mereka masih tetap bersikeras, itu bukan karena virus corona. Warganet menyikapi kabar semacam ini dengan bersikap "syukurin, rasain". Pemuncak dari kelompok penyangkal ini tak lain adalah presiden AS sendiri, Donald Trump yang beberapa hari lalu baru dinyatakan positif Covid-19. Berita itu seperti ledakan bom yang mengejutkan seluruh dunia dan menimbulkan berbagai macam reaksi dari simpati hingga rasa puas, lantaran begitu bombastisnya selama ini penyangkalan Trump. Sebagian orang terang-terangan mengatakan Trump tak pantas mend

Pembaca dan Peminum Teh

Gambar
  Kassian Cephas. Yogyakarta, 1880.  Tak ada sebiji perabot pun di ruangan itu. Hanya selembar tikar tergelar di lantai. Di atasnya terhidang teko berisi teh hangat. Beberapa buku di rak sudut. Aku pernah ke sini lima tahun silam. Keadaannya tak jauh beda dengan sekarang. Hanya tambahan tirai pembatas ke ruang dalam. Pastilah Amir lebih butuh privasi kini, setelah dia punya istri dan di desa ini terkenal sebagai guru yang sering didatangi orang. Istrinya, Hafsah, konon adalah anak pertama kepala kampung tetangga. Aku belum pernah bertemu dengannya setelah dia menikah. Tuan rumah sedang ke luar. Kami menunggu, duduk bersila di atas tikar. Tak ada yang bisa dilakukan. Perjalanan ke sini telah membuat kami lelah. Lima jam berjalan kaki, berganti becak, lalu berjalan kaki lagi. Hampir menghabiskan waktu seharian. Kalau bukan undangan yang tampaknya penting ini, takkan kami bersusah payah datang. Kami menyilakan diri sendiri. Membuka bekal perjalanan dari rumah yang tinggal sedikit. Rasanya

Mari Melambat

Gambar
    “Apakah kaupunya kesabaran untuk menunggu hingga lumpurmu mengendap dan air menjadi        jernih? Bisakah kau diam hingga tindakan yang benar muncul dengan sendirinya”—Lao Tzu  Saat berjalan kaki pagi ini, tiba-tiba saya teringat, betapa sudah lama saya tidak berjalan kaki hanya untuk menikmatinya. Berjalan kaki yang bukan untuk mengantarkan ke sebuah tujuan. Tak ada yang perlu dikejar. Tak perlu melihat jam. Kesempatan seperti ini semakin langka saja. Entah karena tak ada waktu atau karena kebiasaan.  Dengan berlambat-lambat seperti ini, banyak hal jadi terasa lebih dekat, lebih menarik. Udara sejuk menerpa wajah, gemericik air, selokan butek, kicau burung, sampah yang menumpuk di pinggir jalan. Apa-apa yang terabaikan ketika dilewati dalam kecepatan tinggi jadi tersentuh dan membekas di segenap indera.  Dalam buku War of the Worlds , Mark Sluoka memberi ilustrasi tentang ketidaknyataan yang meningkat seiring dengan bertambahnya kecepatan: “Saat berjalan kaki dengan kecepatan 1

Manusia Malam

Di malam hari, jalanan dipenuhi oleh jenis manusia yang berbeda.  Pulang dari makan malam waktu itu di depan Nagasakiya saya bertemu dua orang perempuan dengan dandanan seronok.  Karena masih agak dingin, mereka mengenakan jaket jins hitam, rambut dicat warna coklat emas, rok pendek sebatas panggul. Tidak banyak berbeda dengan dandanan anak sekolahan, memang, tapi mereka ini wanita penghibur profesional. Wajah filipino. Tempat kerja mereka di deretan bar dan restoran di belakang Nagasakiya, tempat-tempat yang selalu tutup ketika saya lewati di siang hari. Tempat kerja mereka baru buka pukul lima sore.  Hari minggu kami hadir di salah satu kuliah dalam sanlat di srit. Rachmat Kurniadi dari Saitama menyampaikan bahan tentang kendala amar makruf nahi mungkar.  Saya takjub betapa di antara mahasiswa yang sedang belajar di sini tetap bisa ditemukan seorang yang mampu melakukan dakwah dengan baik.  Pada pameran buku lalu saya membeli tiga majalah Time , salah satunya edisi Person's of th