Postingan

Menampilkan postingan dengan label jepang

Buku Anak Jepang Favorit

Gambar
Beberapa waktu lalu saya menerima sebuah katalog dari Japan Foundation. Bekerja sama dengan Japanese Board on Books for Young People (JBBY), Japan Foundation menerbitkan katalog tahunan yang berisikan buku-buku anak Jepang yang paling disukai sepanjang masa.  Buku-buku yang masuk ke dalam katalog ini terutama yang ditujukan untuk anak usia antara 5 hingga 12 tahun. Mereka memilih buku-buku yang paling banyak dibaca di Jepang, yang mudah ditemukan di perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah di negara tersebut. 

Angsa Liar (Mori Ogai)

Gambar
Novel ini adalah sebuah cerita yang dikisahkan narator kepada kita 35 tahun setelah kejadiannya. Tentang apa yang dialami teman satu kosnya saat mereka masih mahasiswa di Universitas Tokyo. Peristiwa terjadi satu tahun sebelum kebakaran besar menghanguskan rumah kos mereka. Tahun 13 Meiji, atau 1880 Masehi.

Kafka di Tengah Hujan Badai

Gambar
Wajah orang atau kucing? Gambar di sampul dengan cermat mewakili aspek cerita novel ini. Setelah membaca beberapa novel Murakami, saya bisa mengatakan saya lebih tertarik pada ekspresi artistiknya, metafora segar, makna tersembunyi, dan dialog-dialog cerdasnya daripada plot cerita, drama dan romansanya.  Dunia surrealisme yang digambarkan Murakami tentu saja masih menarik, penuh kejutan. Realisme magisnya selalu berhasil membuat kita terlontar ke dunia  lain, terbawa ke dalam imajinasi yang lepas. Tokoh-tokohnya mengalami banyak penderitaan, kesepian, petualangan seks, krisis, dan kebahagiaan. Namun beberapa hal terasa mengulang dari novel ke novel, Murakami terasa mendaur ulang beberapa trik bercerita dalam novelnya. Dalam Kafka on the Shore , Murakami menggambarkan dua perjalanan paralel melintasi ruang dan waktu. Alur pertama dari sudut pandang Kafka Tamura, remaja lima belas tahun yang pergi meninggalkan rumahnya. Bertekad menghindari kutukan Oedipus yang diramalkan ayahnya. Namu

Im-perfeksionisme a la Kintsugi

Gambar
Sumber foto:  http://tsugi.de Jujur saja. Kadang saya melewati hari-hari dengan rasa jengah pada kapasitas saya yang serba tanggung, medioker. Pada hari-hari buruk, saya secara bawah sadar memojokkan diri sendiri dengan memperbandingkan diri dengan orang lain, diam-diam iri pada kesuksesan mereka. Saya berbicara dengan diri kecil saya dengan gemas, mencela karena tidak mengambil lebih banyak risiko ketika peluang muncul, tidak cukup berani untuk mengatakan dengan lantang apa yang sebenarnya saya inginkan, menyesali jalan yang telah saya ambil dan meninggalkan yang lain tak dijelajahi. Kepada orang-orang yang menghujani saya dengan pujian dan perhatian, saya diam-diam ingin mereka berhenti menyanjung dan mengatakan kebenaran yang pahit tentang saya yang sebenarnya. Untungnya hal ini tidak terjadi setiap hari. Pada hari-hari baik, saya berdamai dengan semua suara jahat itu, berjalan ringan dengan penerimaan sepenuh hati atas momen saat ini. Pada hari-hari baik, pikiran saya piawai meramu

Menghargai Pengarang

Gambar
RyÅ«nosuke Akutagawa (1892-1927), penulis prolifik Jepang yang dikenal terutama dengan cerita-cerita hitorisnya. Namanya diabadikan dalam Akutagawa Award, salah satu penghargaan paling bergengsi untuk para penulis Jepang.  (Foto: National Diet Library) Dalam novel 1Q84 kita melihat bagaimana peran editor mempersiapkan seorang penulis muda bernama Fuka-Eri. Naskah Air Chrysalis karya Fuka-Eri dinilainya layak untuk mendapatkan penghargaan untuk penulis muda di Jepang. Komatsu, sang editor, mencarikan ghost writer yang dapat melakukan revisi total atas karya asli Fuka-Eri. Mungkin saja dalam realita, ada upaya revisi anonim semacam itu demi mendapatkan penghargaan sastra di Jepang. Meskipun jika dibandingkan dengan negara lain, Jepang termasuk negara yang memiliki sangat banyak penghargaan untuk pengarang. Haruki Murakami suatu kali pernah menyebut Pinbal 1973 , novelnya yang kedua, sebagai sebuah novel yang lemah, padahal novel ini meraih penghargaan Shinjin Bungaku Prize (pengharg

Shikibu Murasaki

Gambar
Kehidupan dalam istana kerajaan Jepang zaman Heian (794-1192) sungguh tak menguntungkan bagi kaum wanita. Seperti di banyak kerajaan lainnya, para wanita keluarga raja sangat dijaga. Hidup mereka penuh aturan dan batasan. Dunia di luar istana nyaris tak mereka kenali. Mereka hanya boleh keluar ketika ada acara pesta rakyat. Pendidikan yang mereka dapatkan pun terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis.  Dalam suasana seperti inilah lahir novelis wanita pertama dunia, Shikibu Murasaki. Dialah penulis Genji Monogatari (Kisah Genji) , karya novel pertama dalam sejarah.   Shikibu Murasaki menyelesaikan novel ini pada 1011. Ceritanya berlatarkan kehidupan istana Heian Kyoto pada masa itu. Murasaki bukanlah nama asli penulisnya, tetapi diambil dari nama tokoh wanita di dalam novel itu. Tak banyak yang diketahui tentang dirinya kecuali bahwa dia adalah istri Fujiwara Nobutaka, anggota keluarga aristokrat Kyoto yang wafat pada 1001. Murasaki rajin menulis catatan h

Kota Buku Kanda Jimbocho

Gambar
MENYUSURI Yasukuni-dori di Kanda-Jimbocho bagaikan masuk ke masa silam Tokyo. Meski berada di tengah kota, wilayah itu jauh dari suasana metropolitan. Bangunan-bangunan tua dari masa sebelum Perang Dunia II berjejer di kiri kanan jalan. Di beberapa tempat tampak warung sake gaya lama dengan kendi-kendi putih besar bertumpuk di depan pintunya. Inilah bagian kota lama Tokyo, wilayah yang pernah terselamatkan dari pengeboman tentara sekutu pada Perang Pasifik 1941 lantaran aset buku-buku berharga di atasnya. Di sinilah terletak kota buku Jimbocho--pusat perdagangan buku Jepang yang sudah aktif semenjak abad kesembilan belas. Sisi selatan jalan itu adalah rumah bagi sekitar 136 toko buku tua, buku langka dan buku bekas, 30 toko buku baru, 25 agen distribusi, dan sejumlah besar perusahaan penerbitan dan editing. Buku adalah mesin waktu. Buku bekas dan buku antik dijual di sepanjang jalan wilayah Kanda-Jimbocho. Foto (c) Nick D. Wikimedia Commons  Tumpukan dan pajangan buku tampak

Perpustakaan

Gambar
Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta. 23 September 2017 BERKUNJUNG ke perpustakaan adalah sebuah kegiatan yang gemar saya lakukan bersama anak saya sejak dia berusia satu tahun. Dia senang bermain dengan buku, membolak-balik halamannya yang penuh gambar berwarna atau sekadar menggigit-gigit kertasnya yang tebal. Ketika kami tinggal di Koganei, Tokyo, lokasi perpustakaan itu  dapat ditempuh dengan lima belas menit bersepeda dari rumah. Setibanya di sana saya biasanya langsung naik ke lantai dua yang dikhususkan untuk anak-anak, tanpa keharusan menitipkan tas di pintu masuk. Di lantai dua itu terdapat panggung kayu setinggi kira-kira dua puluh centimeter untuk tempat bermain dan membacakan buku bagi anak-anak balita. Panggung seluas empat meter persegi itu terletak di salah satu pojok ruangan. Sepanjang dua sisi panggung yang menempel ke dinding berjejer rak pendek penuh buku cerita bergambar. Di depannya terdapat beberapa kotak kayu berisi buku-buku untuk anak di atas satu tahun, sepert

Haiku

Gambar
Jepang memiliki tradisi puitis yang panjang dan mengakar. Seorang yang hidup di lingkungan kerajaan Jepang klasik harus cakap menggubah syair untuk setiap kesempatan. Orang-orang pada saat itu senantiasa menyelipkan puisi dalam percakapan dan surat menyurat. Jika dia tidak bisa menyusun puisi dengan seketika, posisinya terancam. Bisa-bisa dia dipandang sebagai seorang tidak cakap dan kasar. Salah satu varian puisi Jepang yang terus digemari hingga sekarang dan mulai menyebar ke seluruh penjuru adalah haiku. Kepiawaian menyelipkan haiku dalam percakapan bahasa Jepang barangkali merupakan ukuran kehalusan berbahasa, sebagaimana kepiawaian orang Melayu berpantun. Haiku disebut sebagai salah satu ekspor budaya Jepang yang paling sukses. Haiku adalah puisi singkat terdiri atas tiga baris dengan rima suku kata 5-7-5. Isi haiku biasanya mengungkap pergantian musim dan perasaan yang terkait dengannya. Setiap haiku memuat setidaknya satu kata yang merujuk pada musim atau alam. Keunika

Shiba Ryotaro

Gambar
JEPANG di masa Edo Tokugawa (1603-1867) bagaikan sebuah telaga di pegunungan, stabil dan menyendiri. Gejolak politik diredam melalui sistem kelas yang ketat, pengaruh asing dibendung dengan kebijakan menutup diri dari dunia luar. Namun dua setengah abad yang tenteram ini akhirnya koyak oleh kedatangan empat kapal perang Amerika yang merapat di Teluk Tokyo pada 1853. Lewat kekuatan militernya, komandan Perry menuntut Jepang membuka pintu bagi Amerika. Dua dekade kemudian berakhirlah masa keshogunan yang telah berlangsung dua ratus tahun lebih itu.

Sado

Gambar
Sado (Traditional Japanese Tea Ceremony). Photo Credit: oluolu3 Hampir empat tahun berada di Tokyo, belum sekali pun saya mendapat kesempatan mengikuti sebuah upacara minum teh Jepang secara lengkap. Satu-satunya yang mendekati itu adalah ketika menutup jamuan makan siang di rumah Nakamura-sensei, profesor pembimbing suami saya. Tuan rumah menyajikan teh hijau dengan rangkaian ritual singkat yang dicomot dari bagian-bagian upacara Sado. Maka, ketika sebuah organisasi persahabatan internasional di Koganei, distrik tempat kami tinggal di barat Tokyo, mengadakannya untuk orang asing, saya langsung mendaftar ikut serta, tidak ingin melewatkan kesempatan itu.  Mengikuti upacara minum teh ini seperti menyingkapkan satu lagi rahasia sisi dalam Jepang yang selama ini tidak terjangkau bagi saya. Sudah lama saya mendengar bahwa upacara yang satu ini begitu penuh simbol dan ritual, seolah hanya kalangan ningrat atau terpilih saja yang dapat mengikutinya. Barangkali begitulah keadaannya di zaman d