Postingan

Menampilkan postingan dengan label review

Tergegas Diisap Langit

Gambar
  Segala yang Diisap Langit (c) Pinto Anugrah Konflik yang sengit tercium sejak kalimat pertama membuka buku ini. Kita diisap ke dalam cerita dengan cepat dan penulis bergegas hendak menuntaskannya.  Latar cerita adalah kehidupan kaum adat Minangkabau di tenggara gunung Marapi. Bisa dibilang versi fiktif dari Istana Basa Pagaruyung di Batu Sangkar pada masa Perang Padri awal abad ke-19. 

Kisah Perjalanan Samiam dari Lisboa

Gambar
Dalam salah satu babak sejarah kerajaan Sunda, kita dapati kisah kunjungan Prabu Surawisesa, putra Raja Sri Baduga, ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque pada 1512. Prabu Sriwasesa diutus ayahnya ke Malaka dalam upaya menjajaki kerjasama dan hubungan dagang dengan Portugis pada masa ketika kerajaan Sunda sedang menghadapi ancaman dari kerajaan Demak dan Cirebon.  Prabu Surawisesa ini memiliki gelar Sanghyang, tapi karena beda pelafalan, lidah orang Portugis menyebutnya “Samiam”.

Puisi Visual Dua Webb

Gambar
Apakah mungkin foto-foto bisa saling berima, bersahut-sahutan dalam rentang nada-warna-rupa layaknya seuntai puisi? Seperti apakah persajakan yang mungkin dihasilkan jika dua foto disandingkan?  Itulah yang dicoba dilakukan pasangan fotografer-penyair Alex Webb dan Rebecca Norris Webb dalam buku Slant Rhyme . Delapan puluh foto dari duo Webb saling disandingkan dalam buku ini, diseliing teks puisi dan prosa ringan, menghasilkan sebuah perbincangan fotografis yang manis.

Daya Jelajah Hikayat Sumatra

Gambar
Seketika saya merasa seperti berada di tengah sesak keramaian Pariaman. Kota kecil di pesisir utara Sumatra Barat itu dipenuhi ribuan manusia yang hendak mengikuti prosesi tahunan Tabuik merayakan 10 Muharram. Anak-anak menabuh genderang dengan irama yang menegakkan bulu roma. Berdentam memekakkan telinga, memicu degup jantung, menghantarkan aura magis ke teling pendengar.

"Jurnal Banda": Dokumenter Tanah Pala

Gambar
Banda adalah nama yang kerap muncul dalam pelajaran sejarah Indonesia. Bicara sejarah Indonesia pasti tidak bisa lepas dari membicarakan tentang Banda, karena gugus kepulauan di bagian timur Indonesia ini merupakan alasan bagi kedatangan para penjelajah laut dari negeri-negeri Barat yang kemudian menjadi penjajah. Di kepulauan inilah tempat asal rempah yang pada abad pertengahan dihargai setara emas dan menjadi komoditas penting perdagangan dunia masa itu: Pala. Banda pada abad ketujuh belas menjadi perebutan antara negara-negara adidaya di zaman pelayaran samudra: Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris. Belanda berhasil menguasai Banda pada tahun 1621, membantai ribuan penduduk asli. Mereka memonopoli perdagangan rempah dan mendirikan tak kurang dari dua belas benteng di kepulauan Banda, menunjukkan pentingnya posisi gugusan pulau kecil ini  sebagai penopang kekuatan ekonomi kerajaan Belanda. 

Mencicipi Tepi Barat Lewat Film "The Present"

Gambar
"The Present". (c)Native Liberty Production Perjalanan membeli hadiah untuk merayakan ulang tahun perkawinan mestinya mengembirakan hati. Mestinya demikian, jika itu terjadi dalam kehidupan di dunia normal. Tapi tidak bagi warga Tepi Barat, seperti Yusef dalam film pendek The Present . Perjalanan sederhana itu menjadi pengalaman yang sulit, diwarnai perlakuan yang menghinakan dan meruntuhkan harga diri.

Aleph (Paulo Coelho)

Gambar
Buku ini berisi omong kosong tentang Aleph, yaitu sesuatu yang terjadi ketika dua orang atau lebih merasakan ketertarikan yang sangat kuat lantaran mereka pernah terhubung di masa lalu. Coelho sepertinya terobsesi dengan hal seperti ini, reinkarnasi, akashic energy , dan yang semacamnya.

Tiga Matra Perjalanan dalam Satu Buku

Gambar
Dalam masa ketika bepergian sangat dibatasi seperti sekarang ini, perjalanan bukan berarti tak dapat dilakukan sama sekali. Karena sesungguhnya, perjalanan bukan hanya terbatas pada perjalanan fisik, yang berupa perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Perjalanan juga dapat dilakukan di dalam memori — melintasi waktu untuk melihat kembali hal-hal penting yang pernah kita alami, dan perjalanan di dalam batin — menjelajah ke dalam jiwa untuk menemukan kesejatian dan identitas diri.

Kafka di Tengah Hujan Badai

Gambar
Wajah orang atau kucing? Gambar di sampul dengan cermat mewakili aspek cerita novel ini. Setelah membaca beberapa novel Murakami, saya bisa mengatakan saya lebih tertarik pada ekspresi artistiknya, metafora segar, makna tersembunyi, dan dialog-dialog cerdasnya daripada plot cerita, drama dan romansanya.  Dunia surrealisme yang digambarkan Murakami tentu saja masih menarik, penuh kejutan. Realisme magisnya selalu berhasil membuat kita terlontar ke dunia  lain, terbawa ke dalam imajinasi yang lepas. Tokoh-tokohnya mengalami banyak penderitaan, kesepian, petualangan seks, krisis, dan kebahagiaan. Namun beberapa hal terasa mengulang dari novel ke novel, Murakami terasa mendaur ulang beberapa trik bercerita dalam novelnya. Dalam Kafka on the Shore , Murakami menggambarkan dua perjalanan paralel melintasi ruang dan waktu. Alur pertama dari sudut pandang Kafka Tamura, remaja lima belas tahun yang pergi meninggalkan rumahnya. Bertekad menghindari kutukan Oedipus yang diramalkan ayahnya. Namu

Pesan dari Capernaum

Gambar
Capernaum. Sony Pictures (2018) Penderitaan orang-orang tak berdosa, apalagi anak-anak, sungguh menyakitkan untuk disaksikan. Bagi Ivan, sang ateis yang sangat logis dalam novel The Brothers Karamazov , itu menjadi alasan untuk menggugat kerahiman Tuhan, karena membiarkan anak-anak yang “belum lagi menggigit apel kehidupan” mengalami kebrutalan, diabaikan, disiksa, diperbudak, diperkosa, dibunuh. “Sungguh di luar jangkauan nalarku bahwa mereka harus menderita,” ujarnya pada Alyosha. Bagi kita kebanyakan keadaan itu mungkin menjadi pengasah kelembutan hati, pengingat untuk selalu memihak mereka yang lemah dan tertindas. Karena kita tak bisa diam saja di hadapan penindasan, ketidakadilan, penderitaan. Ada peduli yang menjalar. “Yang tertusuk padamu, berdarah padaku,” kata Sutardji sang presiden penyair. Senada yang disuarakan William Blake dalam “Songs of Innocence and of Experience”: “Tak mungkin bisa aku melihatmu sengsara, Tanpa ikut merasa susah. Tak mungkin bisa aku melihatmu b

Camera Lucida: Apa yang Membuatmu Terpukau?

Gambar
Tengah berduka atas kematian ibunda, Roland Barthes mencari foto sang ibu. Peristiwa ini mendorongnya untuk menuliskan salah satu buku yang paling berpengaruh dalam wacana kajian fotografi, Camera Lucida , yang juga merupakan karya terakhirnya. Suatu malam di bulan November, tak lama setelah kematian ibuku, aku membongkar koleksi foto. Aku tak berharap "bertemu" ibuku lewat foto itu, aku tidak mengharapkan apa-apa dari "foto tentang sesuatu yang di hadapannya kita tak mampu mengingat dengan lebih jelas daripada sekadar memikirkan sesuatu itu." Ada apa dengan sebuah foto. Apa yang kau harap dari melihatnya. Apa yang membuatmu tertegun memperhatikannya. Pesan apa yang disampaikannya, khusus untukmu? Roland Barthes tidak tertarik dengan apa kata orang. Foto yang kebetulan menarik perhatiannya mungkin tidak tampak istimewa. Tetapi dia tertarik pada selintas perasaan yang dibangkitkan oleh foto itu di dalam dirinya. Dia ingin menggali apa yang terjadi di dalam dirinya se

Mengumpulkan Receh a la Ivan Lanin

Gambar
Bahasa itu hidup. Dari waktu ke waktu, ada saja istilah dan kata baru yang muncul dari para penggunanya. Anak muda berkomunikasi dengan kosakata dan gaya yang berbeda dari orangtua mereka. Bahasa menjadi penanda zaman dan generasi.  Tapi, tidak semua orang bisa mengikuti dengan baik perkembangan itu. Sering kita bertemu istilah baru yang tiba-tiba sudah populer dan menyebar tanpa tahu akar, asal-usul, dan cerita di balik kemunculannya. Kamus pun bahkan bungkam. Kita tidak bisa menggunakan kamus untuk mencari arti dan definisinya karena kata-kata baru itu masih belum masuk kamus. Beruntung, di tengah kita ada seorang penjaga dan perawat gigih bahasa Indonesia. Seorang yang kian populer lantaran renajanya yang sangat besar pada bahasa. Ivan Lanin namanya, lulusan Teknik Kimia ITB yang kariernya kini meluncur di jalur yang sama sekali berbeda.  Ivan Lanin bermain di media sosial yang mudah diakses orang banyak. Twitter, instagram, facebook, dan Wikipedia. Menempatkan diri sebagai tempat

Dua Bulan di Langit 1Q84

Gambar
1Q84, The Year of Two Moons, photo by Claude Rieth Berbagai hal fantastis terjadi di dalam novel-novel Murakami. Laki-laki yang bisa bicara dengan kucing dalam Kafka on the Shore ; dunia paralel dalam cermin dalam After Dark ; Orang Kecil yang seperti tentara mungil berkemampuan magis dan ada dua bulan di langit pada suatu tahun fiktif dalam 1Q84 . Mungkin itu yang membuat penggemarnya ketagihan. Murakami tahu persis, orang membaca novel untuk jeda sejenak dari kejenuhan dunia nyata, berkelana ke ranah yang bisa menguapkan jenuh menjadi kesegaran baru, memberimu sejenak rasa menjadi orang lain dengan pengalaman lain. Namun sesungguhnya dunia yang dibangun Murakami dalam novelnya tidak pernah sederhana. Bahkan ketika premis cerita pada intinya sesuatu yang klasik semacam pertautan kasih yang kembali tumbuh di antara dua teman lama yang telah terpisah puluhan tahun. Demikianlah yang kita temukan dalam novel babonnya 1Q84. Dua tokoh utama dalam novel ini, Aomame dan Tengo Kawana, pada awa

Atonement (Novel)

Gambar
Menulis novel ternyata bisa dipilih sebagai jalan penebusan dosa bagi pengarangnya. Caranya, dengan memberikan akhir bahagia bagi dua kekasih yang tak dapat menggenapkan cinta mereka dalam kehidupan nyata lantaran kesalahan yang dibuat oleh si pengarang. Itulah yang dilakukan Briony, tokoh novelis dalam Atonement, karya Ian McEwan. Ian McEwan barangkali tidak terlalu dikenal di Indonesia, karena sepertinya belum ada satu pun karyanya yang diterjemahkan di sini. Di Inggris dia bereputasi sebagai penulis fiksi yang gemar menampilkan kisah roman berbumbu kekerasan dengan orang-orang yang punya kelainan psikis dan paranoid (dalam novel pertamanya The Cement Garden (1978), misalnya, tokoh utamanya mengubur ibu kandungnya sendiri di bawah lantai kamar yang kemudian dilapisi semen). Atonement (2001) adalah novelnya yang kesembilan, mengeksplorasi tema keluarga, cinta, dan permaafan. Novel ini dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama berlangsung pada suatu hari di musim panas

Gypsies (Josef Koudelka)

Gambar
Buku ini menampilkan foto-foto yang diambil Josef Koudelka antara 1962-1971 di tanah kelahirannya Czechoslovakia dan di pedesaan Romania, Hungaria, Prancis dan Spanyol. Subjek utamanya adalah orang-orang Gypsi Romani. Disebut sebagai adikarya fotografer terhebat abad ini, perlu waktu lama bagi saya untuk "berani" menulis ulasannya di sini. Jadi agak naif untuk mengklaim ulasan ini memberi analisis mendalam atas karya tersebut. Ini sekadar apresiasi personal seorang pembelajar. ^_^ Yang menarik tentang kaum Gypsi Roma bagi Koudelka adalah gaya hidup mereka yang nomadik, wajah mereka yang dramatik. Dia juga tertarik pada musik dan budaya orang Gypsi. Setiap musim panas sepanjang hampir sepuluh tahun tersebut, Koudelka mendatangi mereka, hidup di tengah mereka, berbaur dan menjadi bagian dari komunitas ini. Gypsies dibuka dengan menampilkan foto seorang pria sedang bersandar di dinding luar sebuah bangunan. Posenya terbaca seolah sedang mempersilakan seorang yang tak d

Children (Sebastião Salgado)

Gambar
Saya terhenti lama di halaman 46. Tatapan anak itu seperti mengalirkan energi, lembut sekaligus kuat, menghangatkan. Lengan kanannya putus. Baju kusamnya terpasang miring di bahu, terlalu longgar untuk ukuran tubuhnya. Tanpa kata-kata, seluruh kisah hidupnya tersirat lewat sorot mata. Keadaannya memang menyedihkan, tapi wajahnya menunjukkan keikhlasan luar biasa. Dari caption kita tahu dia berada di sebuah sekolah untuk anak-anak pengungsi di Sudan. Foto diambil tahun 1995. Sejujurnya, setiap potret dalam buku ini dapat membuat kita tertegun. Diterbitkan Taschen pada 2016, buku foto karya Sebastião Salgado ini menampilkan 90 potret anak-anak migran dan pengungsi dari berbagai belahan dunia. Semua berusia di bawah 15 tahun. Dari jalanan di Angola dan Burundi, sudut-sudut kota kumuh di Brazil, hingga kamp-kamp yang terserak di Afghanistan, Sudan, Lebanon, dan Irak. Setiap kali Salgado datang ke suatu tempat, anak-anak adalah kelompok yang menyambutnya paling antusias. Digerakk

Vivian Maier: Street Photographer (John Maloof)

Gambar
Penemuan anumerta koleksi foto jalanan milik Vivian Maier adalah sebuah cerita penting dalam sejarah fotografi. Terbilang istimewa bukan hanya karena foto-fotonya baru terungkap setelah pemotretnya wafat, namun juga karena sosok unik sang fotografer. Vivian Maier (1926-2009) bekerja sebagai pengasuh anak di Chicago. Dia memanfaatkan waktu senggangnya untuk memotret. Objek yang menarik perhatiannya adalah adegan-adegan keseharian yang ditemukannya di jalanan barat daya kota Chicago. Bukan hanya orang, Vivian Maier juga menaruh perhatian pada detail-detail tak bergerak sepanjang pelataran kota. Dia memotret dari tahun 1950-an sampai akhir 1990-an. Tapi sepanjang hidupnya, dia tak pernah mencuci film jepretan kameranya. Dia tak pernah melihat (dan memperlihatkan) hasil jepretannya kepada siapa pun. DIa memotret hanya untuk kesenangan sendiri. Semua gulungan filmnya hanya disimpan. Jumlah film negatif yang dihasilkannya mencapai lebih dari 100,000 lembar. Tumpukan koleksi  film i

Exodus (Sebastiao Salgado)

Gambar
Kata-kata lumpuh saat melihat foto-foto di dalam buku ini. Gambaran apa yang dialami orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka, entah karena perang, kelaparan, atau bencana alam, begitu keras menyentak. Foto-foto yang langsung menyentuh emosi, dan pada beberapa potret yang secara dekat menyoroti gurat wajah, mata kita pun basah. Buku ini pertama kali terbit 16 tahun lalu dengan judul Migration , diterbitkan ulang oleh Tashcen Maret tahun lalu. Untuk mengerjakan buku ini, Sebastian Salgado, fotografer Brazilia yang hari ini berulang tahun ke-73, menghabiskan waktu enam tahun mengunjungi lebih dari 35 negara, demi mendokumentasikan kesusahan, kepedihan dan pergerakan massal orang-orang yang terusir di muka bumi ini. Dari ekonom beralih menjadi fotografer, Sebastiao Salgado ingin memperlihatkan apa yang ada di balik angka-angka statistik melalui foto-fotonya. Secara konsisten dia merekam efek industrialisasi dan globalisme pada orang-orang dalam masyaraka

Seeing Things

Gambar
Aperture Foundation biasanya menerbitkan buku foto serius, namun belakangan mulai menerbitkan buku-buku yang menyasar usia lebih muda dengan tema lebih ringan. Di antara terbitannya adalah This Equals That (Jason Fulford & Tamara Shopsin), Go Photo! An Activity Book for Kids (Alice Proujansky) dan Seeing Things (Joel Meyerowitz). Saya beruntung mendapatkan buku yang disebutkan terakhir di stand Aperture Foundation pada pameran buku Frankfurt tahun lalu. Buku ini menampilkan 30 foto pilihan Joel Meyerowitz, masing-masing digunakan sebagai basis tutorial dengan tema-tema seperti: frame within frame, shadow play, new perspectives, mirror image, dst. Tema-tema ini disajikan dalam bahasa simpel seolah berbicara kepada anak sekolah dasar namun cukup mendalam untuk membukakan wawasan. Joel Meyerowitz, fotografer kelahiran New York  1938 yang telah tampil dalam lebih dari 350 pameran di museum-museum dan galeri seluruh dunia dan telah menulis lebih dari 15 buku, adalah orang yang tep

Manuskrip yang Ditemukan di Accra (Paulo Coelho)

Gambar
Harapan saya terlalu berlebihan untuk buku ini. Melihat judulnya, saya berharap mendapatkan kisah fiksi historis seputar penemuan naskah kuno itu. Tapi rupanya harapan saya salah tempat. Coelho tentu saja bukan penulis genre fiksi historis. Dia adalah penulis roman spiritualis abstrak, seperti yang ditunjukkannya dalam novel Zahir, atau kisah kontemporer simbolis seperti yang kita temukan dalam The Winner Stands Alone. Novel tipis ini ternyata berisikan kristal-kristal permenungan Coelho, kalimat-kalimat manis siap-kutip tentang kekalahan kesendirian arah tujuan ketakutan, dan tentu saja cinta. Setiap bab dibuka dengan pertanyaan seseorang kepada Sang Guru yang barangkali adalah Yesus sendiri. Isi bab adalah jawaban yang diberikan Sang Guru.  Seluruh buku diposisikan sebagai salinan apa adanya dari naskah kuno yang ditemukan dua bersaudara di dalam gua di wilayah Hamra Don pada Desember 1945.  Penemuan naskah ini hanya menjadi bingkai. Tidak ada satu alur cerita yang menya