Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Kafka di Tengah Hujan Badai

Gambar
Wajah orang atau kucing? Gambar di sampul dengan cermat mewakili aspek cerita novel ini. Setelah membaca beberapa novel Murakami, saya bisa mengatakan saya lebih tertarik pada ekspresi artistiknya, metafora segar, makna tersembunyi, dan dialog-dialog cerdasnya daripada plot cerita, drama dan romansanya.  Dunia surrealisme yang digambarkan Murakami tentu saja masih menarik, penuh kejutan. Realisme magisnya selalu berhasil membuat kita terlontar ke dunia  lain, terbawa ke dalam imajinasi yang lepas. Tokoh-tokohnya mengalami banyak penderitaan, kesepian, petualangan seks, krisis, dan kebahagiaan. Namun beberapa hal terasa mengulang dari novel ke novel, Murakami terasa mendaur ulang beberapa trik bercerita dalam novelnya. Dalam Kafka on the Shore , Murakami menggambarkan dua perjalanan paralel melintasi ruang dan waktu. Alur pertama dari sudut pandang Kafka Tamura, remaja lima belas tahun yang pergi meninggalkan rumahnya. Bertekad menghindari kutukan Oedipus yang diramalkan ayahnya. Namu

Pagi Peripatetik

Gambar
Kita akan berjalan kaki. Hanya berjalan kaki. Kita akan nikmati jalan kaki kita  tanpa berpikir akan tiba di mana. (Thich Nhat Hanh)  Bandung, 28 Sept 2019 Pagi datang. Matahari masih rendah di ufuk. Jalanan tampak redup dan sepi. Bayangan panjang jatuh di depan saat saya mulai berjalan. Lintasan pikiran acak muncul dalam kepala seiring saya mengambil langkah pertama. Mungkin sudah ribuan kali saya melewati jalan ini, tapi pagi tak pernah gagal membuat semua tampak baru. Hari ini meneruskan jejak hari kemarin, sekaligus menyuguhkan kebaruan, spontanitas dan kebetulan yang tak pernah kita tahu. Saya menghirup napas dalam-dalam, siap menyaksikan semua yang akan terorkestrasi sepanjang jalan dari saat ke saat. Sebentar lagi aktivitas mulai menggeliat. Dimulai dari warung-warung tenda di tepi jalan itu. Sudah bertahun-tahun mereka menempati lokasi yang sama, buka pada jam yang sama dengan urutan kegiatan yang tak berbeda setiap hari. Pelanggan satu per satu datang, mengantri, menun

Im-perfeksionisme a la Kintsugi

Gambar
Sumber foto:  http://tsugi.de Jujur saja. Kadang saya melewati hari-hari dengan rasa jengah pada kapasitas saya yang serba tanggung, medioker. Pada hari-hari buruk, saya secara bawah sadar memojokkan diri sendiri dengan memperbandingkan diri dengan orang lain, diam-diam iri pada kesuksesan mereka. Saya berbicara dengan diri kecil saya dengan gemas, mencela karena tidak mengambil lebih banyak risiko ketika peluang muncul, tidak cukup berani untuk mengatakan dengan lantang apa yang sebenarnya saya inginkan, menyesali jalan yang telah saya ambil dan meninggalkan yang lain tak dijelajahi. Kepada orang-orang yang menghujani saya dengan pujian dan perhatian, saya diam-diam ingin mereka berhenti menyanjung dan mengatakan kebenaran yang pahit tentang saya yang sebenarnya. Untungnya hal ini tidak terjadi setiap hari. Pada hari-hari baik, saya berdamai dengan semua suara jahat itu, berjalan ringan dengan penerimaan sepenuh hati atas momen saat ini. Pada hari-hari baik, pikiran saya piawai meramu

Pembaca dan Peminum Teh

Gambar
  Kassian Cephas. Yogyakarta, 1880.  Tak ada sebiji perabot pun di ruangan itu. Hanya selembar tikar tergelar di lantai. Di atasnya terhidang teko berisi teh hangat. Beberapa buku di rak sudut. Aku pernah ke sini lima tahun silam. Keadaannya tak jauh beda dengan sekarang. Hanya tambahan tirai pembatas ke ruang dalam. Pastilah Amir lebih butuh privasi kini, setelah dia punya istri dan di desa ini terkenal sebagai guru yang sering didatangi orang. Istrinya, Hafsah, konon adalah anak pertama kepala kampung tetangga. Aku belum pernah bertemu dengannya setelah dia menikah. Tuan rumah sedang ke luar. Kami menunggu, duduk bersila di atas tikar. Tak ada yang bisa dilakukan. Perjalanan ke sini telah membuat kami lelah. Lima jam berjalan kaki, berganti becak, lalu berjalan kaki lagi. Hampir menghabiskan waktu seharian. Kalau bukan undangan yang tampaknya penting ini, takkan kami bersusah payah datang. Kami menyilakan diri sendiri. Membuka bekal perjalanan dari rumah yang tinggal sedikit. Rasanya

Pesan dari Capernaum

Gambar
Capernaum. Sony Pictures (2018) Penderitaan orang-orang tak berdosa, apalagi anak-anak, sungguh menyakitkan untuk disaksikan. Bagi Ivan, sang ateis yang sangat logis dalam novel The Brothers Karamazov , itu menjadi alasan untuk menggugat kerahiman Tuhan, karena membiarkan anak-anak yang “belum lagi menggigit apel kehidupan” mengalami kebrutalan, diabaikan, disiksa, diperbudak, diperkosa, dibunuh. “Sungguh di luar jangkauan nalarku bahwa mereka harus menderita,” ujarnya pada Alyosha. Bagi kita kebanyakan keadaan itu mungkin menjadi pengasah kelembutan hati, pengingat untuk selalu memihak mereka yang lemah dan tertindas. Karena kita tak bisa diam saja di hadapan penindasan, ketidakadilan, penderitaan. Ada peduli yang menjalar. “Yang tertusuk padamu, berdarah padaku,” kata Sutardji sang presiden penyair. Senada yang disuarakan William Blake dalam “Songs of Innocence and of Experience”: “Tak mungkin bisa aku melihatmu sengsara, Tanpa ikut merasa susah. Tak mungkin bisa aku melihatmu b