Postingan

Menampilkan postingan dengan label travel

Jelajah Uzbekistan: Petualangan Sejarah, Budaya, dan Rasa

Gambar
"Travel makes one modest, you see what a tiny place you occupy in the world."  - Gustave Flaubert Registan di malam hari Roda pesawat Uzbekistan Airways menyentuh landasan pada pukul tiga pagi di bandara internasional Islam Karimov. Tujuh jam penerbangan dari Jakarta ke Tashkent telah terlalui. Perjalanan jelajah Uzbekistan menanti di hadapan. Antusiasme saya perlahan meningkat begitu menginjakkan kaki di negeri yang penuh daya tarik ini, tempat sejarah dan budaya berpadu seperti jalinan benang dalam karpet yang indah.

Menemukan Jalan Pulang

Gambar
Jalan Panjang untuk Pulang Penulis: Agustinus Wibowo Halaman: 464 Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Januari 2021) ISBN: 139786020647579  

Agra

Gambar
Saya teringat lawatan ke Agra. Tersimpan jauh dalam lipatan waktu, seketika tampil utuh dalam ingatan. Singkat namun membekas dalam. Masih subuh ketika kami mengawali perjalanan. Beranjak dari New Delhi kala langit timur mulai merona merah muda. Udara Januari dingin berdebu. Kabut bercampur butiran jelaga, sejak pagi melekatkan daki di kulit memedihkan mata.

Mengunjungi Isfahan dari Bandung

Gambar
Saya baru kembali dari kunjungan ke Naqsh-e Jahan di Isfahan, Iran. Tadi malam. Saya mengunjungi bangunan megah yang didirikan pada abad keenam belas itu, bersama seorang pemandu wisata lokal yang ramah. Ya, di masa lockdown ini, ketika perjalanan ke luar negara nyaris tak bisa dilakukan disebabkan pandemi Covid-19 yang membuat banyak perjalanan dibatalkan dan usaha perjalanan gulung tikar.

Izmailovo Kremlin

Gambar
Suhu minus satu derajat di Moskwa ketika Tanya membawa kami berkeliling Izmailovo Kremlin kemarin. Hamparan salju tipis menutupi seluruh permukaan, tetesan air beku menjuntai dari tepi-tepi atap. Untunglah saya tak harus merasakan dingin menggigilkan itu untuk mengikuti perjalanan ini. 

Momen Serendipitas

Gambar
Kadang-kadang ketika memotret di jalan atau dalam perjalanan, saya merasa beruntung mendapatkan momen yang membuat foto jadi menarik. Saya tidak menyebut diri pemotret yang baik, karena belum cukup banyak melakukannya untuk mendapatkan hasil yang konsisten dalam kualitas. Tapi beberapa foto benar-benar saya suka sebab momen yang terbekukan di dalam bingkai, karena berbagai alasan, jadi menarik untuk dilihat. Salah satu yang saya suka adalah foto ini. Dipotret di pelataran Piazza del Duomo, Milan, tempat yang sangat ramai dengan pengunjung pada suatu sore di akhir bulan Maret 2018. Cuaca menjelang awal musim semi masih cukup dingin. Orang-orang berjalan sambil mencoba menghangatkan badan. Saya memotret random moment , tanpa berhenti untuk melihat apa yang terekam dalam kamera. Dua peristiwa ini kebetulan terekam di dalam satu bingkai. Saya menjudulinya “Dua Cara Mengusir Dingin”.  Milan, 29 Maret 2018 Pada kesempatan lain, warna-warna secara tak sengaja hadir bersamaan dalam satu bingka

Lelaki Bertelapak Kaki Angin

Gambar
Arthur Rimbaud, September-Oktober 1871. Foto: Etienne Carjat Catatan perjalanan adalah salah satu genre favorit saya. Membaca catatan perjalanan membawa saya membayangkan serunya menempuh perjalanan jauh dengan Trans Siberia, ketegangan melewati Khayber Pass, berjumpa orang-orang yang saya tidak pahami bahasanya namun tetap dapat  berkomunikasi. Barangkali karena aspirasi eksotik muda yang tak terwujud, dan semakin sedikit kesempatan dan waktu untuk menjelajah dalam arti yang sebenarnya ke tempat-tempat yang jauh, buku catatan perjalanan menjadi pilihan saya untuk menggenapinya. Di antara para penulis favorit saya di genre ini adalah Jon Krakauer dan Paul Theroux. Dari dalam negeri, tentu saja Agustinus Wibowo dan Sigit Susanto. Dari mereka saya mendapatkan kepuasan menjelajah negeri asing, mencicipi budaya dan tradisi yang sama sekali berbeda, tanpa harus bepergian. “ Armchair traveling” , begitu istilahnya. Dan belum lama ini saya menikmati pula buku perjalanan yang tidak biasa dar

Kota Buku Kanda Jimbocho

Gambar
MENYUSURI Yasukuni-dori di Kanda-Jimbocho bagaikan masuk ke masa silam Tokyo. Meski berada di tengah kota, wilayah itu jauh dari suasana metropolitan. Bangunan-bangunan tua dari masa sebelum Perang Dunia II berjejer di kiri kanan jalan. Di beberapa tempat tampak warung sake gaya lama dengan kendi-kendi putih besar bertumpuk di depan pintunya. Inilah bagian kota lama Tokyo, wilayah yang pernah terselamatkan dari pengeboman tentara sekutu pada Perang Pasifik 1941 lantaran aset buku-buku berharga di atasnya. Di sinilah terletak kota buku Jimbocho--pusat perdagangan buku Jepang yang sudah aktif semenjak abad kesembilan belas. Sisi selatan jalan itu adalah rumah bagi sekitar 136 toko buku tua, buku langka dan buku bekas, 30 toko buku baru, 25 agen distribusi, dan sejumlah besar perusahaan penerbitan dan editing. Buku adalah mesin waktu. Buku bekas dan buku antik dijual di sepanjang jalan wilayah Kanda-Jimbocho. Foto (c) Nick D. Wikimedia Commons  Tumpukan dan pajangan buku tampak

Tokyo: Ariake ke Koganei

Gambar
Tokyo Big Sight Juli 2013, melipir dari pameran buku Tokyo yang berlangsung di Tokyo Big Sight, bangunan  ultramodern di distrik Ariake dekat Teluk Tokyo, saya mengambil kesempatan untuk napak tilas ke Koganei, tempat saya bersama keluarga tinggal pada periode 2000-2004. Rainbow Bridge Ariake adalah sebuah distrik baru dengan bangunan-bangunan besar modern, jalan-jalan layang berlapis, dengan ikon terkenalnya Rainbow Bridge. Sedangkan Koganei adalah sebuah kota kecil di sisi barat Tokyo, daerah pemukiman lama dengan banyak rumah masih bergaya  tradisional. Tempat-tempat yang paling saya kangeni di sini pertama tentu saja apato tempat tinggal kami selama 4,5 tahun, Koganei Koen yang berdekatan dengan rumah sakit Sakuramachi tempat saya melahirkan kedua anak saya, dan Nukui Jinja kuil kecil dengan jembatan merah dan kolam koi di halamannya. Taman bermain di dalam Koganei Koen Kantor Koganei Koen Koganei Koen yang sepi di bulan Juli Menggunakan bus dari Ariake me

Frankfurt yang Pertama Kali

Gambar
Stasiun sentral Frankfurt, Hauptbahnhof Bagi pekerja di bidang penerbitan buku, Frankfurt adalah "ibukota dunia", tempat berlangsungnya pameran buku internasional terbesar di muka bumi. Kunjungan pertama saya ke pameran ini adalah pada tahun 2012. Saya membuat kesalahan yang saya syukuri, karena kehabisan hotel dengan harga yang berterima di sekitar lokasi pameran, saya memesan kamar hotel yang berjarak agak jauh di wilayah Hoechst. Beruntung, karena distrik ini terbilang kota tua di Frankfurt, tempat yang masih mengandung suasana desa asli Jerman, dibandingkan pusat kota Frankfurt yang modern dan sibuk. Kastil tua terlihat dari taman di dekat hotel Hoechst, Frankfurt Suatu pagi yang sepi di distrik Hoechst Meski harus menempuh perjalanan yang panjang menuju tempat pameran, hampir satu jam dan dua kali ganti trem/bus, saya tidak merasa keberatan karena mendapatkan pemandangan yang bagus di sekitar tempat menginap. Hoechst juga dilewati oleh Sungai Main

Pintu dan Jendela

Gambar
“I feel very adventurous. There are so many doors to be opened, and I'm not afraid to look behind them.” ― Elizabeth Taylor Pintu dan jendela menyiratkan keterbukaan. Masuklah. Lihatlah ke dalam. Dengan pintu, garis batas bisa dilewati. Kau bisa melihat apa yang ada di balik dinding. Kau masuk dan menjadi bagian dari kami. Tak perlu ragu. Pintu kami terbuka. Dari balik jendela, kau bisa tahu kami ada. Seoul, Korea Selatan Abu Dhabi, UAE Frankfurt, Jerman Frankfurt, Jerman “Be an opener of doors” ― Ralph Waldo Emerson Heiderberg, Jerman Bologna. Italia San Marino “A very little key will open a very heavy door.”  ― Charles Dickens Bandung Beijing, China Bandung “Avoid those who seek friends in order to maintain a certain social status or to open doors they would not otherwise be able to approach.” ― Paulo Coelho Sukabumi Sukabumi Beijing Melaka, Malaysia “What broke your heart so ba

Satu Hari di Palermo

Gambar
Mendung seharian di Palermo ketika kami mengunjunginya. Padahal kami di sana hanya sehari. Musim dingin belum benar-benar selesai dan musim semi masih belum datang di penghujung bulan Maret itu. Jadi Palermo saya adalah dingin, basah, kelabu. Keluar pagi-pagi setelah subuh dalam hujan gerimis. Berjalan kaki dari hotel, pertama-tama ke Church of San Cataldo. Gereja berkubah merah di pagi basah yang masih gelap. Di pojok jalan ada deretan delman menunggu, kudanya dilindungi mantel plastik. Beberapa pesepeda dan pejalan kaki melintas. Jarang terlihat kendaraan bermotor. Menyusuri jalan itu, bertemu dengan Palazzo Pretorio, kantor walikota Palermo, dengan patung-patung seukuran manusia mengelilingi airmancur ikonik yang terkenal Fontana Pretoria di halamannya. Perempatan yang tak jauh setelah Balai Kota ini dikenal sebagai Quattro Canti, di keempat pojok jalannya terdapat empat pancuran simetrik. Belok kiri dari Via Maqueda, ternyata adalah jalan yang melintas di depan Cattedrale di