Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2020

Dari Camus untuk Corona

Gambar
Albert Camus,1957. Foto (c) Robert Edwards. Wikimedia Commons Pandemi global telah berulang kali melanda umat manusia sepanjang sejarah. Pada masa-masa pandemik, kita terdorong untuk melakukan pengorbanan dan perenungan tentang cinta, kematian, dan takdir. Tak terkecuali kini, ketika pandemik coronavirus melanda seluruh dunia. Sampul depan majalah The Economist minggu ini menggambarkan Bumi dinyatakan tutup, seperti kebanyakan toko saat ini. Hari-hari ini ini, novel klasik karya Albert Camus sering disebut sebagai kisah yang sangat relevan. Bahkan di beberapa negara, buku ini kembali masuk ke dalam daftar terlaris. La Peste , yang terbitan Indonesianya diterjemahkan dengan judul Sampar oleh N.H. Dini, menceritakan tentang wabah kolera yang terjadi di Oran, sebuah kota di Algeria yang terletak di pinggiran Laut Tengah. Terbit pertama kali pada 1947, kisah wabah itu diceritakan terjadi pada pertengahan tahun 1800-an. Di bawah ini ditampilkan beberapa kutipan dari novel S

Kota Buku Kanda Jimbocho

Gambar
MENYUSURI Yasukuni-dori di Kanda-Jimbocho bagaikan masuk ke masa silam Tokyo. Meski berada di tengah kota, wilayah itu jauh dari suasana metropolitan. Bangunan-bangunan tua dari masa sebelum Perang Dunia II berjejer di kiri kanan jalan. Di beberapa tempat tampak warung sake gaya lama dengan kendi-kendi putih besar bertumpuk di depan pintunya. Inilah bagian kota lama Tokyo, wilayah yang pernah terselamatkan dari pengeboman tentara sekutu pada Perang Pasifik 1941 lantaran aset buku-buku berharga di atasnya. Di sinilah terletak kota buku Jimbocho--pusat perdagangan buku Jepang yang sudah aktif semenjak abad kesembilan belas. Sisi selatan jalan itu adalah rumah bagi sekitar 136 toko buku tua, buku langka dan buku bekas, 30 toko buku baru, 25 agen distribusi, dan sejumlah besar perusahaan penerbitan dan editing. Buku adalah mesin waktu. Buku bekas dan buku antik dijual di sepanjang jalan wilayah Kanda-Jimbocho. Foto (c) Nick D. Wikimedia Commons  Tumpukan dan pajangan buku tampak

Bekerja dari Rumah

Gambar
Pandemik global. Kita barangkali tak pernah membayangkan kondisi seperti ini akan terjadi di dalam masa hidup kita. Yang lazimnya kita temui dalam kisah sejarah, kini menjadi kenyataan yang kita hadapi sehari-hari. Dengan jumlah pengidap virus corona yang terus bertambah, gelombang pandemik global telah menggulung 188 negara. Pada saat menuliskan ini, jumlah total kasus positif  307.610 orang dan jumlah kematian lebih dari 13.000 jiwa di seluruh dunia. Ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa, pemerintah meminta kita untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah di rumah. Sekolah-sekolah tutup, pergerakan penduduk dibatasi. Keadaan ini telah mendorong, bahkan memaksa, banyak kantor juga memberlakukan sistem kantor-jarak-jauh: bekerja dari rumah. Kantor tempat saya bekerja memberlakukan aturan  work from home (WFH) atau kerja dari rumah sejak Rabu, 18 Maret 2020. Awalnya para karyawan masih dijadwalkan untuk hadir di kantor seperti biasa mengikuti secara bergilir. Tapi ini d

Tokyo: Ariake ke Koganei

Gambar
Tokyo Big Sight Juli 2013, melipir dari pameran buku Tokyo yang berlangsung di Tokyo Big Sight, bangunan  ultramodern di distrik Ariake dekat Teluk Tokyo, saya mengambil kesempatan untuk napak tilas ke Koganei, tempat saya bersama keluarga tinggal pada periode 2000-2004. Rainbow Bridge Ariake adalah sebuah distrik baru dengan bangunan-bangunan besar modern, jalan-jalan layang berlapis, dengan ikon terkenalnya Rainbow Bridge. Sedangkan Koganei adalah sebuah kota kecil di sisi barat Tokyo, daerah pemukiman lama dengan banyak rumah masih bergaya  tradisional. Tempat-tempat yang paling saya kangeni di sini pertama tentu saja apato tempat tinggal kami selama 4,5 tahun, Koganei Koen yang berdekatan dengan rumah sakit Sakuramachi tempat saya melahirkan kedua anak saya, dan Nukui Jinja kuil kecil dengan jembatan merah dan kolam koi di halamannya. Taman bermain di dalam Koganei Koen Kantor Koganei Koen Koganei Koen yang sepi di bulan Juli Menggunakan bus dari Ariake me

Frankfurt yang Pertama Kali

Gambar
Stasiun sentral Frankfurt, Hauptbahnhof Bagi pekerja di bidang penerbitan buku, Frankfurt adalah "ibukota dunia", tempat berlangsungnya pameran buku internasional terbesar di muka bumi. Kunjungan pertama saya ke pameran ini adalah pada tahun 2012. Saya membuat kesalahan yang saya syukuri, karena kehabisan hotel dengan harga yang berterima di sekitar lokasi pameran, saya memesan kamar hotel yang berjarak agak jauh di wilayah Hoechst. Beruntung, karena distrik ini terbilang kota tua di Frankfurt, tempat yang masih mengandung suasana desa asli Jerman, dibandingkan pusat kota Frankfurt yang modern dan sibuk. Kastil tua terlihat dari taman di dekat hotel Hoechst, Frankfurt Suatu pagi yang sepi di distrik Hoechst Meski harus menempuh perjalanan yang panjang menuju tempat pameran, hampir satu jam dan dua kali ganti trem/bus, saya tidak merasa keberatan karena mendapatkan pemandangan yang bagus di sekitar tempat menginap. Hoechst juga dilewati oleh Sungai Main

Hujan Pagi Hari

Gambar
Hujan pagi menahan laju langkah kita hari ini. Semua ingin lebih bergegas, tapi sadar mereka justru harus lebih bersabar. Langit kelabu mengundang cemas akan bahaya. Rintik di kaca jendela menetes seperti airmata. Tapi lihatlah, warna-warni payung dan jas hujan meriah memikat mata. Dan cangkir minuman terasa lebih hangat dalam rengkuh genggaman. Ya, kita semua sama-sama tertahan di sini.  Tak ada yang ingin semangatnya terusik basahnya pagi. Lokasi foto: Jalan Soekarno Hatta, Bandung