Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2003
Jika begitu terbangun dari tidur engkau merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu, bersegeralah. Menangguhkannya hanya akan melemahkan semangat dan memadamkan nyala daya cipta. Tapi tidak jarang keadaan murni antara bangun dan tidur itu terbukti sebuah aspirasi yang amat jauh untuk dijangkau. Butuh sebuah kerja keras untuk meraihnya. Ada waktu dan tenaga yang mesti ditanamkan, atau sebutlah itu dikorbankan, karena jalannya tidak selalu mudah dan mulus. Kenapa saya selalu bernada negatif ketika berdiri di hadapan sebuah keniscayaan kerja keras? Apakah ini pertanda ketidaksiapan saya untuk menunaikannya? Barangkali saya mesti memaksa diri untuk melihat ini dengan lebih ringan. Bukan sebuah kerja, hanya sebuah jalan. Tak bisa mengelakkannya kalau ingin melangkah dari sini. Ada seorang peserta milis madia yang setiap hari mengirimkan berbagai artikel tentang perang Irak dari sebuah situs alternatif. Di antara penulisnya adalah Robert Fisk yang tulisannya sering saya temukan di koran IHT
Begitu terbangun pagi ini pikiran tentang perang sinting ini langsung membanjir dalam benak saya. Saya teringat rekaman kamera seorang ibu tua dengan mata putih berteriak geram, Bush makhluk paling hina di muka bumi, kira-kira begitulah bunyinya. Dia berdiri di depan reruntuhan bangunan yang barangkali adalah puing tempat tinggalnya. Orang-orang berkerumun di sekitar bangunan itu, si ibu membelakanginya menghadap kamera seperti ingin benar-benar yakin pesannya sampai ke si pencabut nyawa itu. Footage yang lain memperlihatkan seorang ibu menyekop tanah dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik. Barangkali dia ingin menyimpan kenangan tentang tempat tinggalnya yang telah hancur menjadi debu. Di tengah itu semua rakyat Irak meneriakkan yel-yel, jiwa dan darah kami untuk Saddam Hussein. Hati mereka takkan pernah terbujuk kata-kata manis Bush bahwa perang ini untuk membebaskan mereka dan menuju dunia yang lebih damai. Perang memang selalu memilukan. Sulit dimengerti alasannya.

Membaca Operating Instructions

Gambar
Membaca Operating Instruction membuat saya ingin menulis jurnal untuk Hanifa dengan cara yang humoris dan penuh perhatian seperti Anne Lamott di buku itu. Pengalaman Anne dengan anaknya mengabadi dengan buku itu, seperti kembali berlangsung di saat ini.  Timbul sebersit sesal saya telah melewatkan kesempatan itu, tidak mencatat perkembangan yang begitu cepat dalam tahun pertama Hanifa. Saya sempat membuat catatan yang berserakan tentang kebisaan terbaru yang diraihnya dari waktu ke waktu. Kapan dia pertama kali makan makanan tambahan, kapan pertama kali duduk, berdiri, berjalan. Tapi catatan itu terasa sambil lalu dan tidak sungguh-sungguh.  Catatan dibuat bukan karena ada peristiwa yang menarik, tapi tindakan mencatat itulah yang menciptakan peristiwa menarik. Menulis jurnal harian mendorong untuk mempertajam pandangan menemukan keajaiban dan kebaruan setiap hari dalam hal-hal yang sederhana.   Saya ingin merasakan religiusitas sehari-hari seperti yang dialami Anne Lamott dengan anak
Mengikuti perkembangan perang irak ini saya teringat sejarah Islam. teringat ceramah-ceramah pak jalal, kisah-kisah sufi dan buku-buku filsafat Islam. Berulang kali berita menyebutkan nama-nama kota penting itu, Basra, Najaf, Mosul, Karbala. Bagaimana nasib bangunan-bangunan indah bersejarah yang ada di kota-kota itu, apakah sungai Efrat dan Tigris akan berubah sungai darah korban perang ini. Melihat tentara Amerika masuk ke Karbala, saya setengah berharap jiwa-jiwa suci yang pernah bermukim di sana merasuki mereka, melumpuhkan mereka dengan sebuah peristiwa gaib yang mencengangkan. Bagi mereka tentu nama-nama kota itu sama sekali tidak memuat kenangan apa pun, hanya sebuah titik di atas bumi yang perlu mereka taklukkan dan kuasai.

Perang Irak, Pak Halim, Chen

Anak-anak adalah korban yang paling memilukan. Keluarga yang kehilangan anggotanya. Pulang kerja menemukan rumahnya telah dihancurkan bom dan keluarganya lenyap. Seumur hidup mereka akan membenci pelaku perang ini. Rasa tak berdaya paling mudah menguasai kita di saat ini. Rasa apatis bahwa hal kecil yang kita lakukan takkan ada artinya, takkan mampu mengubah keadaan dan hanya sia-sia.  Tapi demi menyahut dorongan nurani kita, agar kita tidak merasa terus berada di pihak yang tidak peduli di hadapan masalah kemanusiaan dan pelanggaran yang begitu nyata, kita perlu untuk menunjukkan keberatan kita, mengutuk perbuatan ini, menyeru pada penguasa alam dan manusia untuk menghentikan kekejaman dan ketidakadilan ini. Demi kejernihan nurani kita sendiri, kita harus menunjukkan sikap. Melihat demo antiperang di seluruh dunia memberi peneguhan betapa rasa kemanusiaan kita sama. Sama-sama pilu, sama-sama pedih melihat pameran kesombongan dan kerakusan ini.   **  Keluarga Pak Halim pulang ke Mala
Menyaksikan korban sipil dalam perang Irak ini, saya merasa pilu. Anak-anak, perempuan, orang tua. Rudal tidak bisa memilih sasarannya. Amerika menyebut sasaran mereka hanyalah sasaran militer. Tapi orang-orang itu sudah membutakan matanya sendiri. Yang hanya bisa mereka lihat adalah kebenaran nafsunya sendiri. Menonton perang itu seperti memenuhi nafsu juga. Ingin melihat sebuah peristiwa besar setiap saat, sambil berharap segeralah perang ini berhenti. Kita bosan jika berita tidak berkembang, Tidak terjadi apa-apa. Gambar yang sama lagi diulang-ulang. Kita memperlakukannya sebagai tontonan yang sensasional. Ini juga bisa mengikis rasa kemanusiaan, rasa peduli yang sebenarnya.
Melihat tentara Irak yang sudah menyerah duduk di tanah dikawal senjata oleh tentara Amerika, saya berulang kali mengingatkan diri bahwa yang saya saksikan ini bukan penggal adegan sebuah film. Seluruh perang ini bukan film. Setelah kamera merekam gambar, mereka tidak bisa bubar, pulang ke rumah masing-masing. Mereka akan tetap duduk di situ, kelaparan, kehausan, dengan kecemasan yang terus bertambah dan ketakutan akan nasib keluarganya. Ledakan-ledakan yang menghancurkan rumah-rumah penduduk itu juga bukan film. Korban-korban sipil yang masuk rumah sakit dan berteriak mengutuk Bush itu akan merasakan penderitaan ini seumur hidup mereka. Saya tidak mampu untuk mengerti sudut pandang pemerintah Amerika. Ketika perang belum pecah saya pernah berusaha membujuk diri untuk melihat dari cara pandang mereka. Barangkali benar Saddam adalah pemimpin zalim yang harus diganti, senjata biologis yang dikembangkannya mungkin benar-benar ada dan mengancam keselamatan dunia. Tapi semua usaha saya u
Saya benci mendengar bunyi ledakan bom. Bunyi itu meledakkan kepiluan. Saya akhirnya menyaksikan perang ini pecah, tidak percaya, tidak berdaya, hanya bisa ikut merasakan luka dan ketakutan yang mencekam warga di sana. Perang ini akhirnya betul-betul terjadi. Ketika mengikuti perkembangannya dari hari ke hari, diam-diam saya berharap ini tidak akan berakhir dengan perang. Suatu saat ada sebuah kekuatan yang dapat menahannya. Ancaman-ancaman yang dilontarkan Bush itu semoga sekadar kata-kata, persiapan militer itu akan segera ditarik dan mereka akan kembali ke akal sehat. Tapi tampaknya akal sehat itu tidak menyentuh mereka. Mereka hanya melihat kebenaran ada di dalam pilihan mereka. Perang akan selalu ada di muka bumi ini. Di masa hidup saya, saya belum pernah berada di tengah sebuah perang. Perang antarsuku cukup sering terjadi di Indonesia, maluku lawan dayak, perang ambon, perang di aceh. Hidup di daerah itu ketika kerusuhan berlangsung tentu tidak jauh bedanya dengan perang
Pohon-pohon bertunas seperti janji. Jalan di depan Gakugei beberapa hari lagi akan semarak dengan sakura. Udara seolah berwarna pink. Pohon besar di samping jalan kereta api dekat rumah ini juga sedang dipenuhi tunas bunga. Bukan pohon sakura. Bunganya putih besar. Cantik. Saya selalu lupa membawa kamera waktu ke koen koganei. Padahal saya ingin memotret pohon plum yang sedang semarak di sana. merah, pink, kuning. Hari ini saya bertemu nenek-nenek tua yang didorong di kursi rodanya menyaksikan pemandangan itu. Mungkinkah mereka berpikir ini kesempatan terakhir mereka menikmati keindahan itu. Mungkin mereka ingat suatu hari di masa kecil ketika mereka berlarian bersama teman-teman di bawah mekar pohon itu di halaman rumah mereka.
Pagi tadi saya memutuskan untuk berjalan-jalan di Nogawa. Masih terlalu pagi. pukul sepuluh. matahari masih tertutup mendung tipis, udara dingin masih tersisa dari hujan semalam. Saya tidak tahu akan melakukan apa di rumah. Ingin berhenti membaca sejenak. Ingin menjauhkan diri dari berita terakhir tentang Irak, ingin jauh dari internet. Kalau berada di rumah, saya pasti akan tergerak untuk membaca atau membuka internet. Bermain dengan Hanifa sebentar, kemudian perhatian saya akan terpecah kembali kedua hal itu. Untungnya saya tidak terlalu tertarik pada televisi. Kadang saya mencoba menulis, tapi saya selalu tertegun lama sebelum menciptakan sesuatu dan itu membuat saya enggan memulainya. Saya bisa membayangkan bentuk latihan yang saya inginkan. Saya ingin berlatih dengan bebas. Saya tidak ingin tampak buruk di mata saya sendiri, tapi mustahil untuk meraih kesempurnaan tanpa melalui proses.

Kobayashi-sensei

Wajah Kobayashi-sensei itu sangat teatrikal. Dia suka memainkan mimik untuk menyampaikan maksud yang lebih dalam dari yang diucapkannya. Entah maksud itu sampai atau tidak, sama dengan yang ada di benaknya atau tidak, dia tidak terlalu peduli. Dia sering melakukan itu, menelengkan kepala, bibir bawahnya mengembang dan mengatup, matanya memejam, dan ketika kembali membuka, arah sorot matanya berbeda dari yang sebelumnya.

Manusia Malam

Di malam hari, jalanan dipenuhi oleh jenis manusia yang berbeda.  Pulang dari makan malam waktu itu di depan Nagasakiya saya bertemu dua orang perempuan dengan dandanan seronok.  Karena masih agak dingin, mereka mengenakan jaket jins hitam, rambut dicat warna coklat emas, rok pendek sebatas panggul. Tidak banyak berbeda dengan dandanan anak sekolahan, memang, tapi mereka ini wanita penghibur profesional. Wajah filipino. Tempat kerja mereka di deretan bar dan restoran di belakang Nagasakiya, tempat-tempat yang selalu tutup ketika saya lewati di siang hari. Tempat kerja mereka baru buka pukul lima sore.  Hari minggu kami hadir di salah satu kuliah dalam sanlat di srit. Rachmat Kurniadi dari Saitama menyampaikan bahan tentang kendala amar makruf nahi mungkar.  Saya takjub betapa di antara mahasiswa yang sedang belajar di sini tetap bisa ditemukan seorang yang mampu melakukan dakwah dengan baik.  Pada pameran buku lalu saya membeli tiga majalah Time , salah satunya edisi Person's of th
Sunshine city, Ikebukuro, tempat pameran kaligrafi itu adalah sebuah kompleks perbelanjaan dan hiburan yang besar. Di dalam gedung yang sama terdapat planetarium, aquarium besar, hotel, dan toko-toko barang bermerek. Ruang pameran itu bernama Bunkakaikan di lantai dua. Karya kaligrafi yang dipamerkan dipajang di dinding ruang-ruang bersekat. Ada sekitar tujuh puluh satu ruang bersekat. kaligrafinya mencakup kanji dan kana. Saya tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada begitu banyak gaya penulisan kanji dan kana. Kaligrafinya bukan untuk satu dua karakter, tapi berupa bait puisi atau teks yang lebih panjang. Untuk kana ada yang ditulis dalam gulungan kertas atau kain, persis surat-surat di zaman dulu yang terlihat di film-film Jepang lama. Melihat kaligrafi yang begitu banyak, saya sulit utk memusatkan perhatian. Pada akhirnya saya hanya melihatnya dalam keseragaman. Tapi begitu bertemu karyanya Teraishi Yumik, hasil kerja seseorang yang saya kenali, barulah saya menyadari keindahannya