Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2009

Kamus Khazar: Sebuah Novel Leksikon

Gambar
Bayangkan Milorad Pavic sebagai pelawak berwajah serius. Dia terus saja ngocol dengan wajah bersungguh-sungguh ketika kita pendengarnya sudah tertawa berguling-guling. Dan mimiknya tak berubah sedikit pun ketika semua orang menatapnya dengan sorot mata tak percaya, menunggu sentakan lelucon berikutnya. Begitulah gayanya dalam menulis Kamus Khazar, buku tentang sebuah bangsa nomad yang sejak abad ketujuh hingga kesepuluh mendiami wilayah antara dua laut, Laut Kaspia dan Laut Hitam. Bangsa Khazar masuk ke dalam catatan sejarah ketika bergabung dengan Byzantium pada 627 M untuk memerangi bangsa Arab, lalu lenyap dari panggung sejarah karena peristiwa yang menjadi bahasan utama dalam buku ini: perpindahan mereka dari keyakinan asli ke salah satu dari tiga agama monoteis, Yahudi, Islam dan Kristen. Tapi tak penting benar soal ketepatan sejarah itu, karena novel ini mengandung banyak unsur rekaan dan tidak terlalu berkaitan dengan sejarah bangsa Khazar yang sebenarnya. Kamus ini send

i-Quote

Dalam The Myth of Sisyphus (1942), Camus menunjukkan bahwa peniadaan Tuhan memerlukan perjuangan seumur hidup dan tanpa harapan yang mustahil untuk dirasionalisasi. Dalam kegairahannya pada kehidupan dan kebenciannya pada kematian, Sisifus, raja Korintus kuno, telah menantang para dewa, dan hukumannya adalah keterlibatan kekal dalam tugas yang sia-sia: setiap hari ia harus mendorong sebuah batu menaiki punggung gunung, tetapi ketika mencapai puncaknya, batu itu menggelinding turun, sehingga keesokan harinya ia harus mulai dari awal lagi. Inilah gambaran absurditas kehidupan manusia, yang bahkan kematian tidak menawarkan pembebasan darinya. Dapatkah kita bahagia jika mengetahui bahwa kita sudah kalah sebelum memulai? Jika kita membuat upaya heroik untuk menciptakan makna kita sendiri dalam menghadapi kematian dan absurditas, Camus menyimpulkan, kebahagiaan itu mungkin. (Karen Armstrong, The Case for God ) Keindahan lahiriah bagi manusia biasa adalah pemberian Tuhan, terutama ketika sese

Perahu Kertas (Dee)

Gambar
Novel ini menampilkan kisah cinta dan persahabatan yang ringan dan cukup menghibur, dengan plot apik, terkendali, agak mudah ditebak, dan too good to be true (siapa bilang ini kisah nyata, emang fiksi, kok!). Berpotensi menguras emosi pembaca yang seusia dengan tokoh-tokoh utama ceritanya (mahasiswa usia awal dua puluhan), tapi mungkin tidak mempan untuk orang-orang yang sudah kenyang diayun roller-coaster kehidupan (tentu saja, pernyataan ini boleh dibantah). Dee, saat menulis cerita ini, apparently has the film in mind . Sudut pandang penceritaannya bersifat camera view . Multiple third person point of view, istilah teknisnya. Berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya, bahkan di dalam satu adegan yang sama. Hal itu tidak terlalu mengganggu, karena ceritanya mengalir dengan lancar dan mudah diikuti. Dialog-dialognya segar, sangat menghidupkan suasana. Dee punya kepiawaian menulis dialog yang renyah, dengan bahasa khas pergaulan anak sekarang, meski ada beberapa yang sebaikny

Next (Michael Crichton)

Gambar
Buku ini tak ubahnya selembar kain yang ditenun dengan benang banyak warna. Crichton menjalin ceritanya dengan begitu banyak plot dan subplot, saling berkelindan membentuk pola-pola yang rumit, namun tidak semuanya membuhul dengan kesudahan yang jelas sampai akhir.  Dari belasan alur cerita, hanya sekitar tiga yang bertemu di bagian akhir untuk mengantarkan cerita ke titik penghujungnya. Tapi semuanya berkaitan dengan tema inti buku ini, tentang sains--dan aspek bisnis, hukum, politik--genetika.  Cerita bergulir dengan cepat melalui bab-bab pendek dan selingan potongan berita dari media yang mungkin sebagiannya tidak nyata. Ada sejumlah plot yang berakhir jauh sebelum novel selesai, misalnya sub-plot tentang pencuri kuburan yang menjual tulang manusia di pasar gelap.  Ada pula sejumlah sub-plot yang dibiarkan tanpa penyelesaian, seperti sub-plot tentang anak-anak gadis yang menyuntikkan hormon penyubur tubuh ke mereka sendiri dan menjual sel indung telur mereka untuk mendapatkan uang.