Lima Sastra Klasik Indonesia Pilihan Saya

"Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta!" (Najwa Shihab)


Picture credit: Boggy/Canva


Klasik mungkin berarti tua, tapi klasik tidak hanya soal usia. Novel klasik bisa jadi novel tua, tapi bukan usia belaka penentunya. Meski tua, ia diingat sepanjang masa. Karena ada juga novel sezamannya yang tak berbekas dalam ingatan kita. Novel-novel yang lenyap ditelan waktu. Tapi novel klasik tidak begitu. 

Ada banyak alasan sebuah novel disebut klasik. Buat saya yang utama, tokohnya mudah diingat, ceritanya mudah melekat. Nama-nama mereka menghuni pikiran kita, apa yang mereka alami ikut memperkaya pengalaman kita. 

Begitu rasanya ketika selesai baca To Kill a Mockingbird, misalnya. Saya ingat Scout, Jem, Atticus Finch dan Boo Radley, seolah-olah mereka orang sekampung saya. Juga setelah beres baca Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil dan Rasus terasa sama dekatnya dengan anak-anak tetangga. 


Kisah-kisah mereka menyingkapkan bagi saya sesuatu yang barangkali tidak akan pernah saya alami sendiri, tapi membuat saya memahami apa yang mungkin terjadi di tempat-tempat lain,  bagaimana orang-orang bereaksi dan perasaan apa yang dibangkitkan dalam diri mereka, dalam kehidupan yang jauh berbeda dari yang saya hadapi. 

Begitulah yang diberikan pengalaman membaca: melontarkan kita ke tempat dan waktu yang berbeda, lalu mengembalikan kita ke tempat semula dengan perspektif yang lebih kaya.  

Saya tidak menyebutnya daftar "wajib baca". Ini pilihan personal saja. Jadi, siapa pun boleh membuat sendiri daftar yang berbeda, karena dalam khazanah sastra kita masih banyak karya klasik bagus lainnya.



Sitti Nurbaya
Marah Rusli
Novel terbitan Balai Pustaka 1922 ini barangkali masuk dalam daftar pilihan setiap pembaca novel Indonesia, karena merupakan tonggak dalam sejarah sastra negeri ini. Sebuah novel penggebrak kekakuan aturan adat seputar soal perkawinan di suku Minangkabau, terilhami oleh pengalaman pribadi sang penulis. Sitti Nubaya, Samsulbahri, Datuk Maringgi sudah menjadi nama-nama yang masuk dalam kosakata umum, ceritanya tak perlu lagi diulas dan dijelaskan. 




Robohnya Surau Kami
AA Navis
Pertama kali membacanya waktu kelas tiga SMP, bagian dari tugas bahasa Indonesia, membuat rangkuman buku cerita yang dipilih sendiri. Saya tak begitu menikmati membacanya waktu itu. Tapi membacanya lagi sekarang terasa berbeda. Saya jauh lebih bisa menikmatinya, mungkin karena sekarang bukan lagi sebagai bagian dari tugas sekolah dan pikiran sudah lebih terbuka. Tapi memang begitulah salah satu ciri sastra klasik, memberikan hal baru dan yang berbeda ketika dibaca ulang.

Cerita ini menyampaikan kritik yang bagus untuk masyarakat kita yang mencandu kesalehan pribadi, tapi lupa untuk memperhatikan kemaslahatan orang banyak. Menghabiskan waktu untuk beribadah, tapi kurang perhatian pada kesejahteraan sosial tidak peduli kesusahan tetangga. 





Bumi Manusia
Pramoedya AT
Minke, Nyai Ontosoroh. Seperti juga Sitti Nurbaya, tokoh-tokoh dalam novel ini sudah jadi nama-nama yang tak asing dalam kosakata kita sehari-hari. Novel ini menyampaikan kisah perjuangan pribumi melawan diskriminasi dan intoleransi di masa penjajahan. Minke digambarkan dalam novel ini memiliki kemampuan menulis. Dia pintar mengungkapkan pikirannya dalam tulisan, dan membuktikan bahwa tulisan mampu menggiring opini banyak orang, mampu mengubah keadaan. Bumi Manusia bicara tentang kegigihan perjuangan lewat tulisan, meskipun akhirnya kalah. 



Ronggeng Dukuh Paruk
Ahmad Tohari 
Saya suka gaya tulis Ahmad Tohari di buku ini. Dia suka menyelipkan narasi dari kehidupan makhluk-makhluk kecil dalam deskripsikan tentang situasi dan suasana di suatu tempat. Kita merasakan denyut pagi dari aktivitas burung-burung dan kumbang di pepohonan Dukuh Paruk, sepinya kampung dari desau angin dan gemericik air di sungai. Dan pelan-pelan kita dibawa masuk ke dalam kegelisahan remaja tanggung yang takut kehilangan citra ibu dalam ronggeng muda yang dikaguminya.




Anak Bajang Menggiring Angin
Sindhunata
Novel fantasi pewayangan yang diangkat dari Kisah Ramayana. Kisah klasik dunia wayang ini diramu ulang dengan gaya tulis yang mencengangkan. Lihai betul Sindhunata memainkan kisahnya. Metafora, alegori, imajinasi simbolik bertabur dengan lincah. Ini buku yang sangat mengasyikkan untuk dibaca, dan dibaca ulang. 

***

Novel-novel klasik mungkin sudah sulit untuk didapatkan di pasaran. Beberapa ada yang masih dicetak ulang, tapi tidak mudah dijumpai di toko karena jumlah cetakan yang barangkali membatasi penyebaran. Tapi tak perlu berkecil hati, masih ada cara lain untuk mendapatkannya. Datanglah ke perpustakaan, atau coba manfaatkan layanan iPusnas untuk meminjam edisi digitalnya. 

  

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya