Siti di Teras Rumah Mang Toha




Mang Toha seorang petani dan peternak sapi di Kampung Waas, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Di kalangan pengurus Odesa, Mang Toha dikenal sebagai petani yang cepat belajar dan mudah beradaptasi dengan gagasan-gagasan baru. Dia memiliki kepedulian tinggi pada tetangga-tetangganya yang juga kebanyakan buruh-tani yang tergolongan keluarga pra-sejahtera.

Di teras rumahnya yang terletak di pinggir jalur off-road menuju kawasan Wisata Oray Tapa, Mang Toha menyediakan ruangan untuk kelas dan perpustakaan anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya. Ide membuat perpustakaan itu datang dari inisiatifnya. Dia menamainya "Perpustakaan Hotani."

Kemarin, perpustakaan kecil itu diresmikan oleh pengurus Odesa. Selain ruang pustaka, Mang Toha juga menyediakan teras rumahnya untuk kegiatan belajar Sekolah Samin (sabtu minggu) yang dikelola oleh para mahasiswa relawan dan fasilitator Odesa. Kelas diikuti oleh sekitar dua puluhan peserta anak usia SD dari kelas 1 hingga kelas 5.





Mang Toha tak tamat sekolah dasar, tapi dia bisa baca-tulis-berhitung, terutama kalau sudah berurusan dengan menghitung laba usaha taninya. Mang Toha yang mengaku "bodoh", tak ingin anak-anak di lingkungan sekitar tempat tinggalnya mengalami kesusahan yang sama dengan dirinya.

Dalam poster yang terpampang di dinding depan perpustakaan, Mang Toha mencanangkan visi perpustakaannya dengan jargon yang tak kalah mentereng dibanding para mahasiswa dari kota. Saya bertekad untuk menggerakkan lingkungan saya demi mencetak generasi cerdas, ceria, kreatif, dan mandiri, tulisnya. Untuk itu, lanjutnya dalam uraian misi, saya ingin membuat wadah untuk anak bisa berkreasi dan menggali kemampuan diri dalam lingkungan yang kondusif. Keren. Salut dengan semangat Mang Toha.




Salah satu anak peserta Sekolah Samin di Kampung Waas bernama Siti. Sudah duduk di kelas 5 SD tapi masih belum bisa baca tulis. Ajaib, tapi cukup lazim di desa-desa di atas bukit sana. Walaupun tak bisa mengerjakan tugas dan ujian sekolah, anak-anak yang kesulitan belajar tetap diluluskan dan dibiarkan naik kelas.

Kasihan Siti, dia bilang dia ingin membaca buku tapi tak bisa. Dia bercita-cita ingin jadi guru, tapi masih terkurung dalam ketidakmampuan mengeja. Jangankan membaca, mengenal huruf pun masih setengah buta. Tangannya kaku menggerakkan pena. Membentuk huruf kapital A masih terpatah-patah. Masih bingung bagaimana membunyikan gabungan dua huruf sederhana.

Tampaknya semangat belajar Siti tidak terbangun. Usia sudah lewat sepuluh tapi cepat putus asa tiap berhadapan dengan sedikit tantangan. Belum juga mencoba menggerakkan pena, dia sudah berkata "tidak bisa". Jelas Siti perlu bimbingan seorang pengajar yang gigih dan sabar untuk meruntuhkan tembok kemalasannya. Barangkali guru-guru di sekolahnya sudah angkat tangan, tak punya cukup energi sabar dan waktu untuk membimbing dia yang tertinggal sendirian dari gerbong anak-anak sekelasnya.




Bukan kali pertama relawan Odesa menemukan kasus serupa. Setiap tahun selalu ada saja. Dulu di Cisanggarung, ada juga anak kelas tiga SMP yang masih belum lancar membaca, berhitung hanya bisa sampai perkalian lima.

Konon negara lain tidak lagi memusingkan apakah murid bisa membaca dan berhitung. Guru dan orangtua lebih khawatir jika mereka tidak bisa mengantre. Negara lain lebih menekankan pendidikan karakter, agaknya karena kemampuan dasar baca tulis hitung sudah jelas standarnya dan sekolah tidak akan bersikap mendiamkan jika ada anak yang tertinggal sendirian di gerbong angkatan kelasnya. 

Yang seperti Siti di sana barangkali sudah mengerti adab mengantre, walau belum bisa tulis baca dan tak pintar matematika.






Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya