Di Sebuah Persimpangan




Aku harus keluar pagi-pagi. Tidak seperti biasa. Ada janji pertemuan yang tak bisa diubah. Buru-buru menyalakan mesin lalu melesat pergi. Aku tahu lalu lintas akan seperti neraka pagi ini, tapi aku hampir terlambat. Memasuki jalan utama, benar saja: macet!

Aku berbelok dan mengambil jalan kecil. Jalan itu membawaku masuk ke perkampungan dan melewati ladang-ladang subur. Jagung mulai matang dengan untaian rambut keemasan, beberapa pekerja sedang memanen. 

Sambil menyetir, aku menyantap sarapan--tak sempat melakukannya tadi di rumah. Kebiasaan buruk. 

Jalanan berlubang-lubang, tapi aku menikmatinya hingga akhirnya kembali masuk ke jalan utama. Lampu lalu lintas di depan menyala hijau, kuning, lantas merah. 
Menunggu di belakang lintasan penyeberangan, aku memperhatikan sekelompok orang di pojok perempatan.  Para pekerja penggali tanah. Duduk di samping peralatan kerja mereka. Linggis, cangkul, pangkur. 

Ada sekitar sepuluhan lelaki setengah baya. Wajah cokelat kehitaman terbakar matahari. Sebagiannya berpakaian bersih, kemeja dan celana panjang, bertopi dengan pinggiran lebar. Sebagian tampak lusuh, lelah bekerja berhari-hari dengan pakaian tak diganti.

Sebuah truk berhenti di dekat mereka. Seseorang melompat turun. Dia menunjuk mereka satu-satu bergiliran. Satu, dua, tiga. Hanya perlu tiga orang.

Seseorang yang tak terpilih, yang bertampang paling lusuh di antara kumpulan itu, maju ke depan. Dia ingin masuk hitungan, matanya mengharap. 

Menghela napas, petugas dari truk tadi mengangguk, dan menggerakkan jempolnya ke arah truk. 

Mereka yang terpilih lantas naik ke bak belakang truk, dibawa pergi. 

Aku membayangkan tentang upah harian mereka. Nilai tukar tenaga dan waktu para pekerja kasar. Seberapa yang mereka dapatkan untuk kerja keras harfiah membanting tulang. Apakah mencukupi kebutuhan keluarga, untuk berapa lama. Teringat mata lelaki paling lusuh tadi. Sesisa tenaga yang ada, ingin tetap bekerja. 

Lampu merah berganti hijau. Ketika kembali melaju, untuk alasan tertentu aku tak lagi merasa perlu bergegas.


Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"