Sekadar Catatan Minggu Pagi
Pagi tadi kami pergi ke sebuah taman tak jauh dari rumah. Taman itu sejatinya bagian dari halaman luas sebuah rumah sakit milik angkatan darat. Setengahnya digunakan untuk lapangan parkir, selebihnya lapangan rumput terbuka yang sering digunakan anak-anak untuk bermain bola sepulang sekolah. Pada hari minggu lapangan parkirnya nyaris kosong.
Betapa cuaca cerah di akhir pekan adalah sumber kegembiraan. Pagi ini taman itu penuh dengan keluarga dan kelompok-kelompok orang yang bersukacita, piknik, bermain bola, badminton, bersepeda, dan berbelanja. Kami duduk di pinggir lapangan. Beberapa orang lanjut usia duduk di bawah pohon, melayangkan matanya ke sana kemari menyaksikan keramaian, mengobrol dan berdiskusi di tengah riuh rendahnya orang bergembira.
Sementara anak-anak berlarian tak mau diam, berebutan bola, memukul teman dan membuatnya menangis. Mereka mungkin heran melihat orang dewasa yang hanya melakukan hal yang begitu membosankan di tengah udara yang begitu bagus. Duduk dan mengobrol bisa dilakukan di mana pun, taman yang begini luas dan ramai adalah tempat untuk bermain dan bergembira.
Kegembiraan itu sesekali pecah oleh suara bentakan seorang bapak yang sedang mengajar anaknya bersepeda. Anak laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Belum bisa bersepeda di usia itu barangkali bisa memalukan, buat si anak maupun si bapak. Tapi bisa jadi penyebab dia masih belum bisa bersepeda karena orangtua yang abai mengajarkannya. Kini ketika dia berusia sepuluh tahun, si ayah rupanya tidak sabar ingin anaknya segera mampu melaju sendiri dengan sepedanya dalam kesempatan latihan yang pertama. Anak itu dimarahi, didorong sampai jatuh, diteriaki dengan suara keras yang membuat semua orang yang mendengarnya menoleh dan geleng kepala, atau melirik ingin pura-pura tidak dengar.
Kasihan anak itu. Wajahnya memerah karena tegang campur malu. Belajar dalam suasana itu benar-benar tidak membuat dia yakin bahwa dia bisa. Bapak itu akan menghadapi kerja yang lebih keras dan anak itu berhadapan dengan rasa mustahil. Tidak heran jika ketika dewasa anak yang dibesarkan seperti itu akan lemah ketika berhadapan dengan kegagalan. Dia dibesarkan dalam suasana tak-terima- gagal, ketika dewasa dia pikir dia harus menghukum diri sendiri dengan keras jika kegagalan tak urung pasti terjadi sesekali. Jalan pintas bunuh diri barangkali bakal sering hinggap dalam pikirannya.
Oh, semoga tidak. Minggu pagi ini terlalu cerah untuk berpikiran suram begitu.
Betapa cuaca cerah di akhir pekan adalah sumber kegembiraan. Pagi ini taman itu penuh dengan keluarga dan kelompok-kelompok orang yang bersukacita, piknik, bermain bola, badminton, bersepeda, dan berbelanja. Kami duduk di pinggir lapangan. Beberapa orang lanjut usia duduk di bawah pohon, melayangkan matanya ke sana kemari menyaksikan keramaian, mengobrol dan berdiskusi di tengah riuh rendahnya orang bergembira.
Sementara anak-anak berlarian tak mau diam, berebutan bola, memukul teman dan membuatnya menangis. Mereka mungkin heran melihat orang dewasa yang hanya melakukan hal yang begitu membosankan di tengah udara yang begitu bagus. Duduk dan mengobrol bisa dilakukan di mana pun, taman yang begini luas dan ramai adalah tempat untuk bermain dan bergembira.
Kegembiraan itu sesekali pecah oleh suara bentakan seorang bapak yang sedang mengajar anaknya bersepeda. Anak laki-laki itu berusia sekitar sepuluh tahun. Belum bisa bersepeda di usia itu barangkali bisa memalukan, buat si anak maupun si bapak. Tapi bisa jadi penyebab dia masih belum bisa bersepeda karena orangtua yang abai mengajarkannya. Kini ketika dia berusia sepuluh tahun, si ayah rupanya tidak sabar ingin anaknya segera mampu melaju sendiri dengan sepedanya dalam kesempatan latihan yang pertama. Anak itu dimarahi, didorong sampai jatuh, diteriaki dengan suara keras yang membuat semua orang yang mendengarnya menoleh dan geleng kepala, atau melirik ingin pura-pura tidak dengar.
Kasihan anak itu. Wajahnya memerah karena tegang campur malu. Belajar dalam suasana itu benar-benar tidak membuat dia yakin bahwa dia bisa. Bapak itu akan menghadapi kerja yang lebih keras dan anak itu berhadapan dengan rasa mustahil. Tidak heran jika ketika dewasa anak yang dibesarkan seperti itu akan lemah ketika berhadapan dengan kegagalan. Dia dibesarkan dalam suasana tak-terima- gagal, ketika dewasa dia pikir dia harus menghukum diri sendiri dengan keras jika kegagalan tak urung pasti terjadi sesekali. Jalan pintas bunuh diri barangkali bakal sering hinggap dalam pikirannya.
Oh, semoga tidak. Minggu pagi ini terlalu cerah untuk berpikiran suram begitu.
Komentar
Posting Komentar