Olenka dan "Karya Tulis sebagai Barang Koden"



Saya ditemani Olenka dalam sebuah perjalanan. Novel lawas karya Budi Darma itu terbit pertama kali tahun 1983, kemudian dirilis ulang oleh Balai Pustaka pada 2009. Lalu, diperbarui lagi oleh Noura Books pada 2016.*

Belum jauh mencebur ke dalam novel, saya menjumpai kalimat yang menggelitik. Kalimat itu keluar dari benak salah satu tokoh cerita, Wayne, ketika menanggapi cerpen karyanya sendiri dengan judul “Olenka” juga:

“Inilah kesulitan pengarang,” katanya. Karena pengarang tidak dapat saling membunuh, mereka menulis terus. Dengan demikian tulisan mereka yang baik dianggap sebagai produksi massal. Kalau produksi massal ini dimonopoli satu dua orang, khalayak tidak akan gegabah menganggap hasil produksi satu dua orang ini sebagai barang koden. Sebaliknya, kalau produksi massal dihasilkan oleh massa, produksi mereka dianggap sebagai barang koden. (h. 17)


Pernyataan yang mirip diulanginya lagi di tempat lain”:

Semua tulisan yang baik dapat menjadi koden, kalau jumlah yang sanggup menulis sebaik itu bukan hanya satu dua orang. (h. 30)


Apa yang dimaksud kalimat ini? Kebetulan, saya membaca buku ini dalam perjalanan ke pameran buku. Saya membawa pertanyaan itu masuk ke ruangan pameran. Ruangan yang memperlihatkan betapa usaha penerbitan buku Indonesia semakin bertumbuh, membesar, menghasilkan buku melimpah-limpah. Dalam ruangan yang luas itu karya dari berbagai penulis bertimbun-timbun di segenap penjuru, disusun menarik minat dalam dekorasi yang semarak.

Pengunjung ramai berdesakan, memilih dan memilih buku yang sesuai dengan kebutuhannya, yang memancing rasa ingin tahunya, atau barangkali yang dia lihat dibaca rekan kerjanya, direkomendasikan guru atau atasan, yang dia pikir dapat menjawab persoalan yang sedang dihadapinya, yang dapat menghiburnya, menjadikannya lebih pintar atau yang cocok dijadikan hadiah bagi orang terkasih. Ya, ada beribu alasan orang memilih buku.

Saya melihat judul-judul buku yang saling mirip, kemasan buku yang tak jauh berbeda satu sama lain, atau nama penulis yang sama terpampang pada puluhan karya berbeda. Buku demi buku beribu-ribu memang adalah produksi massal. Barang kodian—koden

Segera saya teringat kalimat Wayne dari novel Olenka itu. Pertanyaan saya masih belum terjawab dan pikiran saya terus mencari-cari penjelasan tentang apa artinya.

Barangkali apa yang sedang saya saksikan dalam ruang pameran inilah yang dimaksudnya: Begitu banyak penulis yang mampu menggelontorkan begitu banyak karya dengan waktu singkat sehingga hasil tulisan mereka seolah-olah menjadi produksi massal yang membanjiri khalayak.

Tapi, saya pikir, buku bukanlah seperti sabun atau shampo. Buku bukan barang kodian dalam pengertian yang sama dengan barang-barang konsumsi itu. Sekali pakai, habis, selesai. Betapa pun banyaknya buku membanjiri khalayak, buku akan menjadi sesuatu yang khas dan memiliki nilai pribadi setelah dibaca. Buku yang baik, jika dibaca dengan benar-benar, akan mengendapkan sesuatu di dalam jiwa.

Betapa banyak orang yang menjadi berubah lantaran membaca sebuah buku, menjadi tergerak, merasa tidak sendirian dalam deritanya, ditopang dan diteguhkan semangatnya, dicerahi dengan ide, mendapat jalan keluar dan kesegaran pikiran setelah menikmati buku yang dipilihnya untuk dibaca. 

Saya pikir, mustahil karya tulis menjadi sekadar barang produksi massal--barang koden--bagi seorang pembaca.


Dalam perjalanan pulang dari pameran, saya cermati lagi kalimat Wayne dalam Olenka, menghubungkannya dengan pengalaman di pameran tadi. “Semua tulisan yang baik dapat menjadi koden, kalau jumlah yang sanggup menulis sebaik itu bukan hanya satu dua orang.” Dan “kalau produksi massal dihasilkan oleh massa, produksi mereka dianggap sebagai barang koden.”

Jelaslah, Wayne memaksudkan kalimat itu untuk khalayak, atau barangkali untuk makelar penjual buku, bukan untuk seorang pembaca. Bagi khalayak—orang banyak—buku atau karya tulis apa pun tentu tidak ada bedanya dengan barang, tapi begitu khalayak berubah menjadi sosok pembaca sebuah buku atau karya tulis, karya tulis itu menjadi sesuatu yang punya nilai dan kekhasan—bukan lagi barang koden.

Atau mungkin juga Wayne berada dalam benak seorang redaktur koran yang setiap minggunya menerima sekian puluh cerpen untuk memilih satu yang akan dimuatnya di edisi minggu. Tentu baginya karya tulis itu tak ubahnya barang produksi massal, membanjiri mejanya setiap pekan, tanpa banyak meninggalkan kesan. Ya, barangkali demikian. Setidaknya saya bisa puas dengan jawaban ini, dan bisa meneruskan pembacaan saya tanpa terganggu.

* ditambahkan pada 7/1/19

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"