Dua Bulan di Langit 1Q84

1Q84, The Year of Two Moons, photo by Claude Rieth


Berbagai hal fantastis terjadi di dalam novel-novel Murakami. Laki-laki yang bisa bicara dengan kucing dalam Kafka on the Shore; dunia paralel dalam cermin dalam After Dark; Orang Kecil yang seperti tentara mungil berkemampuan magis dan ada dua bulan di langit pada suatu tahun fiktif dalam 1Q84.


Mungkin itu yang membuat penggemarnya ketagihan. Murakami tahu persis, orang membaca novel untuk jeda sejenak dari kejenuhan dunia nyata, berkelana ke ranah yang bisa menguapkan jenuh menjadi kesegaran baru, memberimu sejenak rasa menjadi orang lain dengan pengalaman lain.

Namun sesungguhnya dunia yang dibangun Murakami dalam novelnya tidak pernah sederhana. Bahkan ketika premis cerita pada intinya sesuatu yang klasik semacam pertautan kasih yang kembali tumbuh di antara dua teman lama yang telah terpisah puluhan tahun.

Demikianlah yang kita temukan dalam novel babonnya 1Q84. Dua tokoh utama dalam novel ini, Aomame dan Tengo Kawana, pada awalnya muncul dalam plot yang terpisah jauh. Kita mengikuti kisah mereka, dan menanti pada titik mana mereka akan bersilangan. Jauh, ternyata. Harus sabar meniti cerita hingga nyaris dua pertiga dari novel tiga jilid yang tebal totalnya seribuan halaman ini.

Kisah dibuka dengan perjalanan Aomame di dalam taksi melewati jalan tol yang tumben macet di distrik Shibuya. Tak bisa menunggu, Aomame memilih untuk turun dari taksi. Dia keluar dari tol melalui tangga darurat yang ternyata merupakan portal yang memindahkan Aomame ke dunia alternatif yang dinamainya tahun 1Q84, paralel dengan tahun asli 1984.

Cerita berlangsung dari April hingga Desember di tahun itu. Di dunia alternatif itu, ada dua bulan yang terlihat di langit. Tak perlu bertanya kenapa, mungkin itu sekadar penanda bagi orang-orang yang bisa melihatnya bahwa mereka sedang berada di tahun berbeda dari orang kebanyakan.

Berikutnya kita bertemu dengan Tengo Kawana, guru matematika di sebuah bimbel yang juga penulis berbakat, namun belum satu pun novelnya berhasil diterbitkan. Tengo diminta untuk merevisi naskah Air Chrysalis karya penulis muda Fuka-Eri, yang dinilai seorang editor kawakan Komatsu sebagai sangat potensial.

Tengo on the slide, 1Q84 - (submitted by Giuseppe Gerbino)

Murakami memberi porsi besar pada tokoh Komatsu, sehingga saya sempat menduga Komatsu akan menjadi penentu dalam novel ini. Tapi tidak. Komatsu menghilang dan menjadi kurang penting di tengah jalan cerita. Ada banyak hal lainnya dalam novel ini yang dibiarkan tak terjawab, dan juga beberapa pembunuhan dan kematian yang tak dijelaskan.

Novel ini dipadati banyak tokoh. Beberapa di antaranya dikarakterisasi dengan cukup mendalam sehingga sosoknya cukup tergambarkan di benak kita, meskipun perannya tidak terlalu signifikan. Inilah yang membuat novel ini jadi panjang. Karakterisasi yang mendetail, bahkan untuk tokoh minor.

Di seputar Aomame ada tokoh teman masa kecil yang bunuh diri, seorang janda kaya raya Shizue Ogata, Tamaru bodyguard sang janda yang karakterisasinya mengingatkan saya pada "The Rock" Dyawne Johnson, polisi wanita Ayumi yang menemaninya mencari pria untuk one night stand di bar-bar Tokyo pada Jumat malam dan dibunuh secara mengenaskan tanpa penjelasan.

Tengo Kawana, seperti kebanyakan tokoh utama novel Murakami, seorang lelaki yang hidup sendiri--meski bukan berarti penyendiri, tak kunjung meraih apa yang menjadi impiannya, seorang pekerja keras yang hidupnya teratur dan dapat dipercaya. Tokoh yang mudah kita sukai, dan mendapat simpati kita. Tak banyak orang tokoh sekitarnya, hanya ayahnya yang berperan menggambarkan masa lalu Tengo, Fuka-Eri penulis muda yang juga anak pemimpin kultus Sakigake, dan Komatsu, sang editor yang berperan menguhubungkannya dengan Fuka-Eri.

Cerita disampaikan dengan sudut pandang yang berpindah-pindah antara Aomame dan Tengo. Baru pada jilid ketiga ada tambahan satu sudut pandang lain yakni Ushikawa, seorang detektif amatir dengan bentuk tubuh aneh yang disewa Sakigake untuk menelusuri kaitan antara Aomame dan Tengo.

Bagaimana struktur cerita yang tidak sederhana ini mampu bikin betah dan menyedot perhatian kita, saya kira karena Murakami membuat kita dekat dengan isi pikiran tokoh-tokoh utamanya. Kisah cinta yang tidak melodramatis, dalam balutan misteri dan fantasi dengan bumbu adegan kekerasan, taburan petualangan seks tokoh-tokoh utamanya. Tentu saja, diselingi penggalan komentar yang dalam tentang musik, seperti lazim ditemui dalam novel-novel Murakami.

Novel ini sangat panjang. Memasuki jilid ketiga kita mulai merasa ada beberapa pengulangan yang tak perlu. Seperti ingin menunda ketegangan, Murakami memuat penggalan cuplikan panjang dari novel lain: Shakalin Island dari Anton Chekov, Out of Africa dari Isak Dinesen.

Setelah tamat, masih ada beberapa pertanyaan tersisa tentang nasib beberapa orang di dalam cerita yang sepertinya dipinggirkan begitu saja. Mungkin itulah yang membuat novel ini bertahan dalam pikiran kita, lama setelah selesai membacanya. Setidaknya itulah yang membuat saya merasa waktu yang diperlukan untuk membacanya bukan habis begitu saja.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya