Menjumpai yang Sublim

“Storm in the Mountains,” by Albert Bierstadt, c. 1870



Musim hujan tiba. Ada saat-saat mendebarkan dalam musim hujan, yang saya tunggu dengan cemas-harap. Ketika awan gelap menggantung di langit, diiringi suara petir menggelegar, kemudian tiba-tiba udara dingin dan gelap, lalu turun hujan lebat disertai angin kencang. Jendela kaca bergetar, butiran hujan jatuh deras menghantam atap dan kaca jendela.

Untuk beberapa saat pertama rasanya tak ada hal yang lebih penting untuk dilakukan. Kita terdiam, menatap keluar jendela. Muncul rasa syukur jika kita saat itu berada di tempat aman. Sambil mencemaskan mereka yang terancam banjir, tersambar petir, terjebak dalam perjalanan yang terpaksa terhenti oleh hujan.

Hidup di dalam kota, jauh dari bentang alam terbuka, sehari-hari berada di tengah jejeran bangunan dan kendaraan di jalanan, hujan badai membuat kita sejenak berjumpa dengan keliaran alam. Sebagaimana melihat langit malam membuat kita merasakan keagungan semesta, di hadapan hal-hal semacam itu, kita serasa menciut, mengecil, tak berdaya. Di tengah hujan badai kita hanya bisa menunggu hingga alam menyelesaikan amuknya, pasrah menyaksikan kekuatannya yang tak terkira. Terpaku antara takjub dan takut.





Ada suatu istilah untuk pengalaman semacam itu: sublim. Perasaan sublim muncul saat kita berhadapan dengan sesuatu yang tak berhingga, sesuatu yang jauh dari jangkauan kita. Ruang angkasa, samudra, puncak gunung, air terjun, tebing dan jurang yang dalam, hamparan Bumi di lihat dari dalam pesawat. Di hadapan yang sublim, kita merasa remeh dan sepele, tak penting.

Istilah sublim berasal dari kata bahasa Latin, subliminis, yang dapat bermakna “ditinggikan hingga mencapai batas”. Kajian pertama tentang yang sublim adalah karya Longinus dari abad pertama masehi. Bagi Longinus, sublim adalah kata sifat yang mendeskripsikan sesuatu yang hebat, ditinggikan, atau pemikiran yang luhur dalam konteks bahasa dan retorika. Retorika yang sublim mengilhami rasa kagum dan penghormatan, dengan kekuatan persuasif yang besar.

Konsep sublim juga menjadi kajian dalam karya Edmund Burke, filsuf abad ke-18 dari Anglo-Irlandia, di dalam bukunya Philosophical Enquiry yang pertama kali terbit di Inggris pada 1757. Definisi Burke tentang yang sublim berfokus pada sesuatu yang gelap, samar, tersembunyi, luas, nyaring dan tiba-tiba. Yang sublim dikaitkan secara khusus dengan keluasan dan keganasan alam dan tanggapan manusia terhadapnya. 

Gambarannya dalam seni di masa itu sering kali berupa lukisan pegunungan yang menjulang tinggi, jurang yang dalam, badai dan lautan yang dahsyat, letusan gunung berapi atau longsor yang, jika benar-benar terjadi, dapat mengancam kehidupan. Perjumpaan dengan yang sublim bukan hanya di alam dan tempat-tempat tertentu. Seni, sastra, puisi, lukisan, musik, dan arsitektur juga dapat memberikan perasaan serupa. Tentu saja termasuk hal sublim adalah konsep tentang Tuhan dan kematian.

Kita biasanya tidak suka merasa diremehkan, dianggap kecil dan tak signifikan. Namun, menurut Edmund Burke, rasa kecil dan tak berdaya di hadapan sesuatu yang sublim justru memberi efek positif yang mengangkat kesadaran ke tingkatan lebih tinggi. Kita mendapatkan kesan betapa tak berartinya diri kita di dalam skema yang lebih besar. Perasaan ini membebaskan kita dari tekanan berbagai ambisi dan hasrat kita. Semua yang kita anggap penting, masalah-masalah mendesak dan serius, bisa ditangguhkan dan menjadi tidak sepenting itu lagi, jika dibandingkan dengan keluasan dan keagungan yang kita saksikan dalam sesuatu yang sublim. 




Perjumpaan dengan yang sublim memberi jeda yang melegakan pada ritme hidup yang cepat dan menekan. Barangkali itulah yang sebenarnya kita cari ketika kita berwisata ke gunung, laut, gurun, mengunjungi bangunan besar peninggalan masa lalu, tempat-tempat ibadah yang agung, katedral tua yang megah di negeri-negeri asing dan jauh. Itu yang membuat kita rela melakukan perjalanan panjang melelahkan ke tempat-tempat itu: kita ingin bertemu yang sublim. Rasa sublim ini menyelinap tak tertahankan, misalnya ketika berada di depan Ka’bah dan menyaksikan pergerakan rombongan manusia bertawaf mengelilinginya.

Kita mendatanginya bukan untuk menambah panjang daftar nama tempat yang pernah dikunjungi, tapi karena kita menyimpan kerinduan untuk terhubung dengan sesuatu yang agung, yang membuat kita bisa melihat betapa remehnya kecemasan-kecemasan sehari-hari kita, betapa tak berartinya label dan jabatan, betapa sepelenya ego yang kita bela habis-habisan di depan perselisihan pendapat dengan orang dari kubu yang berbeda. Tapi niat kita sering kali cemar oleh keinginan-keinginan yang membuatnya samar, dan kita menjadi abai dengan kebutuhan untuk sepenuhnya hadir dan menikmati keberadaan di sana, berhadapan dengan yang sublim.

Karena itu, mungkin ada baiknya jika kita menyengaja menjumpai yang sublim pada saat kita terkurung dalam kecemasan dan tekanan yang memuncak. Pergilah ke puncak bukit, tepi samudra, berjalan di hutan, ke museum, masjid, gereja atau kuil, menonton pertunjukan seni, atau berdoa. Biarkan ego dan kecemasan kita untuk sesaat terlihat tak penting, remeh dan kecil, dan pulihkan penglihatan untuk mengembalikan semuanya pada proporsi yang layak. 

Jika itu tak bisa dilakukan, rasakan kehadirannya saat hujan badai tiba, saat yang sublim datang mendekat. Mungkin itu sebabnya kita disarankan banyak berdoa saat hujan turun. Setelah badai berlalu, langit biasanya luar biasa cerah.



Komentar

  1. Arianti11:40 AM

    Suka bacanya, makasih :)

    BalasHapus
  2. Wah....dalem juga perenungannya mba ! kalo bisa, dibikin versi ringkas di Youtube beserta beberapa ilustrasi cuaca & suasa batin manusia + narasi puitis.....terus di link kembali ke artikel ini. Top deh !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih usulannya, Mas.. Boleh juga dicoba, tapi mesti belajar dulu cara bikin videonya.

      Hapus

Posting Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya