Daya Jelajah Hikayat Sumatra

Hikayat Sumatra (c) Fatris MF



Seketika saya merasa seperti berada di tengah sesak keramaian Pariaman. Kota kecil di pesisir utara Sumatra Barat itu dipenuhi ribuan manusia yang hendak mengikuti prosesi tahunan Tabuik merayakan 10 Muharram. Anak-anak menabuh genderang dengan irama yang menegakkan bulu roma. Berdentam memekakkan telinga, memicu degup jantung, menghantarkan aura magis ke teling pendengar.

Saya sedang membaca Hikayat Sumatra yang ditulis Fatris MF. Buku inilah yang membawa minggu pagi saya melintas ke seberang. Menemui keriuhan yang dialami sang penulis di Pariaman dalam perayaan Tabuik. Manusia berdesakan di jalanan. Tabuh menggelegar bertalu-talu. "Biar mereka tahu, seperti inilah ketukan jantung orang-orang di medan Karbala ketika itu," demikian penjelasan yang dikutip penulis dari seorang tetua kaum Tuangku Pariaman.

Hari-hari ini pun tengah menjelang 10 Muharram. Saya membayangkan Pariaman yang kecil itu tengah sesak dengan keramaian ribuan manusia. Tapi tidak, kata adik saya yang bermukim di sana. Tahun ini tak ada tabuik di Pariaman, tak mungkin pula menggantinya dengan perayaan virtual. Tak ada perayaan sudah dua tahun ini, tapi di halaman-halaman buku ini kita dapat melihatnya dari dekat, merasakan degupnya dari dalam.

Sajian cerita berlanjut hingga hari terakhir, ketika Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang telah bertemu, lalu dilontarkan ke laut, ditelan gelombang, dan keramaian kota pelan-pelan surut. Tapi cerita yang tersaji bukan sekadar soal peristiwa dan keramaian. Di beberapa tempat penulis memetikkan catatan sejarah, dan kita memperoleh gambaran tentang orang-orang Tamil tentara bayaran Inggris yang lari dari penjara Bengkulu ke Pariaman, lalu menghidupkan tradisi ini di sana.

Hikayat Sumatra (c) Fatris MF

Buku kecil ini adalah mosaik perjalanan penuh tekstur, membawa kita menyusuri tempat-tempat jauh di pedalaman Sumatra, menjejaki kota-kota kecil yang semrawut, menemui orang-orang yang tinggal di lipatan rimba Bukit Barisan dan pulau-pulau kecil lepas pantai barat Sumatra. Penulis membawa kita merasakan kegetiran hidup mereka dalam tradisi yang pelan-pelan digerus deru pembangunan, terdesak modernisasi, keserakahan manusia dan ketidakmampuan mengelola sumber daya dengan adil.

Ada delapan kisah tersaji dalam buku ini. Semacam catatan perjalanan bergaya jurnalistik yang dibubuhi cuplikan latar sejarah, disertai foto-foto. Masing-masing memperjalankan kita ke dalam kehidupan orang-orang di tempat yang tak mudah ditemui dan diminta bercerita. 

Pada kisah pertama yang menelusuri riwayat tradisi silat Minangkabau, Fatris mendatangi guru-guru pewaris perguruan silat di Padang, yang pernah terkenal sebagai pusat pendekar Nusantara, lalu ke Bukittinggi dan Payakumbuh. Beberapa tempat yang disebutnya cukup saya kenal sebagai mantan warga kota Padang seperti Pauh, Kuranji, Koto Tangah, Kampung Jawa, tapi saya tak pernah tahu sejarah dan legenda hidup yang berselimut mistis dan misteri tersimpan di sana, misalnya tentang Kasirun, lelaki uzur yang menyimpan tujuh peluru di balik kulitnya yang renta.

Jelajah ke masa lalu pun hadir di antara narasinya, mempertautkan apa yang ada hari ini dengan cerita dari zaman pendudukan Belanda yang menggerakkan pembangunan jalur rel Sumatra terkait pertambangan di Sawahlunto, Jambi, Bangko, bahkan lebih jauh ke abad pertengahan seperti ketika mengikuti kisah perjalanannya di Siberut, Nias, dan Mentawai yang masih erat dengan tradisi animisme. Cuplikan dari buku sejarah dan kutipan perbincangan dengan narasumber muncul di sana-sini untuk menguatkan daya jelajah Hikayat Sumatra sebagai jurnalisme yang menjaga kredibilitas.


Hikayat Sumatra (c) Fatris MF


Tema pengikat seluruh perjalanan itu adalah kegetiran mempertahankan tradisi di tengah derasnya modernitas yang mendesakkan perubahan.  Kita simak keluhan tetua Mentawai yang mendapati anak-anak mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi sikerei tapi lebih memilih profesi modern, tentang pelompat batu di Nias yang tinggal sebagai pertunjukan untuk wisatawan tanpa mampu menjadi sumber penghidupan, kota Sawahlunto yang mentereng zaman kolonial yang kini lesu dan bertabur lubang sisa tambang, masyarakat adat Suku Anak Dalam yang kehilangan hutan asli dan sumber air yang rusak menimbulkan penyakit baru di tengah mereka.

Kita baca pula di sini betapa sesungguhnya tidak semua perubahan itu tidak terelakkan. Tapi jika mesin penggerak perubahan adalah keserakahan dan sikap tidak mau tahu, maka kita akan kehilangan banyak kearifan yang telah dibangun sepanjang waktu oleh kelompok-kelompok manusia yang pernah ada di tengah kita. 

Catatan perjalanan seperti ini menjadi rekaman penting untuk mengingatkan tentang kekayaan tradisi dan apa yang akan hilang dari kita jika irama perubahan bergerak terus dengan cara yang sama. 

Dari segi editorial, saya hanya ingin menambahkan harapan agar buku ini ditambahi kelengkapan pernak-pernik standar buku seperti indeks untuk memudahkan penelusuran dan perujukan topik, keterangan foto, dan berharap editornya sedikit lebih ketat dalam penyuntingan naskah dan bahasa. Selebihnya, saya senang menemukan karya penulis perjalanan yang bernas seperti ini.


Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya