Jelajah Uzbekistan: Petualangan Sejarah, Budaya, dan Rasa


"Travel makes one modest, you see what a tiny place you occupy in the world." 
- Gustave Flaubert


Registan di malam hari

Roda pesawat Uzbekistan Airways menyentuh landasan pada pukul tiga pagi di bandara internasional Islam Karimov. Tujuh jam penerbangan dari Jakarta ke Tashkent telah terlalui. Perjalanan jelajah Uzbekistan menanti di hadapan. Antusiasme saya perlahan meningkat begitu menginjakkan kaki di negeri yang penuh daya tarik ini, tempat sejarah dan budaya berpadu seperti jalinan benang dalam karpet yang indah.

Uzbekistan, negeri berpenduduk terbesar di Asia Tengah dengan sejarah yang membentang ribuan tahun. Perjalanan ini akan menjelajahi warisan sejarah dan budaya di tiga kota utamanya: Tashkent, Bukhara, dan Samarkand. Ketika informasi tentang paket trip dari Sadunya ini muncul di linimasa media sosial, tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar. Uzbekistan adalah negara yang sejak lama ingin saya kunjungi. Negara ini menjadi destinasi impian bagi para pecinta sejarah, seni, dan keindahan arsitektur kuno. Kesempatan ini tak boleh dilewatkan, dan barangkali hanya akan datang satu kali dalam kombinasi situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi saya.

Dua belas orang peserta dalam rombongan trip ini berasal dari kota-kota berbeda di Indonesia. Dengan latar belakang dan minat beragam, kami bersatu dalam keinginan untuk menjelajahi Uzbekistan. Bagi kami semua, ini adalah kali pertama menjejakkan kaki di sini. 

Ikut serta dalam rombongan kami sebagai pemandu adalah penulis perjalanan mumpuni yang pernah tinggal di Uzbekistan dan sudah akrab dengan sejarah, budaya dan bahasa negara ini, Agustinus Wibowo. Kehadirannya menjadi magnet bagi peserta trip. Semua peserta bilang telah membaca karya Agustinus dan tertarik ikut trip ini lantaran cerita di buku-buku tersebut. Kami tahu perjalanan ini akan menjadi pengalaman tak terlupakan. Selain Agustinus, ada Azizbek Abdullayev sebagai pemandu wisata lokal. 





Aziz yang fasih berbahasa Indonesia mengarahkan kami menaiki bus yang menjemput di bandara. Lelah perjalanan terkalahkan oleh rasa ingin tahu kami yang tak terbendung. Kami mengawali pagi dengan mencicipi cita rasa Uzbekistan di sebuah kafe lokal yang menawarkan hidangan sarapan berbaur dengan warga lokal.

Cahaya pagi musim panas menembus jendela, menerangi beragam pilihan hidangan sarapan yang berjejer di atas rak prasmanan. Lidah kami menari menikmati lapisan-lapisan empuk samsa, yang berisi daging lembut dan bawang, serta tekstur lembut dari roti nan. Setiap gigitan menjadi bukti keahlian kuliner yang telah terjaga selama berabad-abad.

Setelah sarapan, bus membawa kami menuju stasiun kereta untuk berangkat ke Bukhara menggunakan kereta cepat Afrasiyab pukul 9 pagi. Perjalanan dengan kereta menawarkan pemandangan perubahan lanskap Uzbekistan yang didominasi lahan kering dan datar. Bukit-bukit batu terlihat sepanjang perjalanan, diselingi perdesaan dengan kebun jagung dan kapas. Bunyi roda kereta beradu dengan rel dan guncangan lembut gerbong menambahkan irama menenangkan bagi perjalanan ini, menciptakan rasa persaudaraan di antara para anggota rombongan ketika kami berbagi cerita dan tawa.


Afrasiyab





Lewat tengah hari kami tiba di Bukhara. Suasana kota tua ini seolah-olah membawa  hanyut ke masa lalu. Terik menyengat bulan Juli terasa kental dengan sejarah lewat bangunan-bangunan tua yang tampak di tepi jalan. Siang itu petualangan kuliner berlanjut dengan menikmati makan siang di restoran Chinor. Berbagai jenis salad terhidang, bersama roti dan yogurt. Aroma olahan daging domba dengan ramuan bumbu yang menggoda menyambut kami dengan hangat. Di sini saya mencicipi manti, sejenis dumpling besar yang terbuat dari adonan lembut berisi daging cincang dan sayuran, dan dholma, campuran daging dan beras dalam lilitan daun anggur. Hidangan ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan menjadi salah satu favorit di Uzbekistan.

Di tengah-tengah Bukhara, Lyabi Hauz menyambut kami dengan segarnya oasis. Lyabi Hauz adalah sebuah kompleks danau buatan diapit oleh bangunan tua madrasah Kulkadosh dan perkampungan Yahudi Bukhara. Desir air berpadu dengan riuh rendah percakapan warga setempat, menciptakan simfoni ketenangan.  

Bolohovuz mosque


Jelajah kota Bukhara kami dimulai dengan mengunjungi Bolohovuz. Masjid yang dibangun pada 1712 ini memiliki arsitektur menakjubkan. Kayu-kayu penopang di terasnya masih asli dari tiga abad lalu. Masjid ini masih menjadi tempat beribadah bagi masyarakat setempat meski sempat mengalami vandalisme di bawah kekuasaan Uni Sovyet. Dari sana, kami menyeberang jalan menuju Ark of Bukhara, benteng megah yang dibangun pada abad ke 5-M. Benteng ini dulu merupakan kediaman emir-emir Bukhara dan pernah menjadi pusat kekuasaan dan pemerintahannya.

Dari Ark of Bukhara, kami berjalan ke kompleks Poi Kalon, salah satu landmark yang sangat menarik di kota ini. Istilah "Poi Kalon" secara harfiah berarti "Tempat Besar" dalam bahasa Uzbek, kompleks arsitektur ini mencakup tiga bangunan penting: Masjid Kalon, Menara Kalan, dan Madrasah Mir-i-Arab. Menara Kalan begitu indah, sehingga Gengis Khan pun tak berani menghancurkannya ketika Bukhara jatuh ke tangannya pada abad ke-13. 

Warna-warna cerah dari ubin-ubin biru dan turquoise yang menghiasi masjid dan menara membuat  kita terpesona pada keahlian pengrajin seni rupa yang indah. Di pintu masjid inilah foto sampul edisi pertama buku Garis Batas diambil oleh Agustinus. Di belakang kompleks Poi Kalon terdapat pasar suvenir yang menawarkan kerajinan tangan dan benda-benda seni yang menggambarkan kekayaan budaya Uzbekistan. Pemandangan guci-guci perunggu berjejer di teras toko seolah membekukan waktu dari masa berabad-abad silam.



Kompleks Poi Kalon

Gerbang Masjid Kalon



Mengunjungi Bolohovuz, Benteng Bukhara, dan Poi Kalon adalah pengalaman luar biasa. Menyaksikan langsung keindahan arsitektur klasik dan megah yang telah bertahan selama berabad-abad itu membuat takjub. Tapi yang paling istimewa adalah saat makan malam di kediaman Mr. Davlat, seorang seniman pelukis miniaturis terkenal. Dalam suasana yang akrab, kami menikmati hidangan plov buatan rumahan yang lezat dan mendengarkan cerita Sang Pelukis tentang makna dari lukisan-lukisan miniaturis gaya Persia yang dibuatnya.

Hari kedua di Bukhara, kami mengunjungi kompleks Rumah Yahudi yang menjadi saksi warisan budaya multikultural di Uzbekistan. Rumah ini menampilkan galeri foto dan barang-barang peninggalan keluarga Yahudi, beberapa ornamen tua yang menghiasi dinding kamar tampak orisinal dengan simbol-simbol khas Yahudi seperti Bintang Daud dan Menorah tersembunyi di dalamnya.

Selanjutnya kami sejenak mampir ke masjid dengan empat menara Chor Minor sebelum menuju Sitorai Mokhikhosa, istana musim panas raja Bukhara terakhir yang indah dengan tamannya yang rimbun. Burung merak tampak berkeliaran di halaman dalam istana. Aroma kayu tua dan desain elegan di permukaan dinding hingga lengkungan langit-langit menceritakan kisah masa lalu ketika para emir mencari ketenangan dari terik musim panas. Interior istana yang sejuk memberi kelegaan sejenak dari sengatan matahari di luar, dan dinding-dinding seakan membisikkan rahasia dari berabad-abad silam.


Chor Minor




Setelah makan siang di Dilkor dengan hidangan beragam jenis salad dan laghman (mi dengan saus daging khas Uzbekistan), kami bergegas menuju stasiun kereta untuk perjalanan menuju Samarkand. Samarkand adalah kota terbesar kedua di Uzbekistan. Tempat pertama yang kami tuju adalah Boqiy Sahar, sebuah taman etnosentris unik yang menampilkan semacam replika bangunan berarsitektur Islam klasik. Sore hari para pengunjung tua dan muda larut dalam joget spontan mengiringi musik yang diputar keras dari salah satu toko suvenir. Suasana riang memancar dari wajah-wajah ramah mereka.

Malam itu petualangan kuliner berlanjut di restoran Mansur Shashlik, sebuah restoran yang menyajikan hidangan daging panggang yang lezat. Mansur adalah seorang koki terkenal di masa lalu yang menghidangkan hidangan lezat bagi para tamu terhormat. Kami menikmati hidangan shashlik dan samsa, pastri bundar berisi daging cincang dan rempah-rempah yang gurih.

Registan, Mausoleum Amir Temur, dan Necropolis Shakhi Zinda adalah tiga tempat utama yang kami singgahi di Samarkand. Kompleks madrasah Registan di tengah kota Samarkand malam itu menyuguhkan permainan video mapping. Cahaya warna-warni menyinari permukaan dinding bangunan kuno yang megah, menari mengikuti irama musik Timur Tengah menggelegar. Tak puas-puas memandang keindahan yang tersaji di hadapan mata.



Registan mencakup tiga bangunan madrasah indah yang mengesankan. Bangunan-bangunan tua itu seolah mengeluarkan aura sejarah yang nyata, dan gema langkah kaki kami di halaman luas mengingatkan pada jejak-jejak para peziarah yang datang dari zaman yang jauh. Dulu Registan berfungsi sebagai caravansarai, tempat menginap rombongan khafilah pedagang Jalur Sutra. Kini ruang-ruang di Registan, seperti banyak bangunan madrasah tua lainnya di Uzbekistan, difungsikan sebagai toko-toko suvenir atau kafe. 

Gur-i-Amir adalah mausoleum megah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi pahlawan bangsa Uzbek yang berhasil mengusir pasukan Mongol dari negeri mereka, Amir Temur. Detail artistik dan ornamen yang dipahat dengan indah di mausoleum itu sungguh mencengangkan. Bukan hanya makam Amir Temur, di sini juga terdapat makam beberapa anggota keluarga kerajaan dan tokoh-tokoh sufi. Makam Amir Temur diliputi mitos dan legenda yang dengan fasih dikisahkan oleh Aziz, antara lain terkait dengan pemindahan makamnya ke Moscow oleh peneliti Rusia, yang dikaitkan dengan kalah-menangnya Uni Sovyet dalam kancah perang dunia.



Gur-i-Amri


Setelah makan siang, kami mengunjungi Necropolis Shah-i-Zinda, sebuah kompleks makam dan mausoleum yang megah. Tempat ini menjadi tempat peristirahatan abadi bagi keluarga kerajaan dan orang-orang terhormat di Uzbekistan, dan desain mozaik yang indah menambah kesan mewah pada tempat ini. Di sini terdapat makam Qatsam ibn Abbas, salah satu sepupu Nabi Muhammad Saw. yang membawa Islam ke Uzbekistan.  Selanjutnya, kami berbelanja di Siab Bazaar, sebuah pasar tradisional yang sibuk di Samarqand. Di sini, kami menemukan berbagai produk lokal, seperti kerajinan tangan, tekstil, rempah-rempah, dan produk makanan. Kami juga mengunjungi Masjid Bibi Hanum yang merupakan salah satu monumen sejarah penting di kota ini.


Necropolis Shah-i-Zinda



Kembali ke Tashkent, ibu kota Uzbekistan yang modern, saya merasakan deru energi dan suasana kosmopolitan yang berbeda dari kota-kota sebelumnya. Tashkent adalah sebuah kota modern dengan jalan-jalan mulus enam jalur, bangunan-bangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan seperti lazimnya ibukota, namun tetap menyimpan pesona sejarah dan budaya peradaban silam. 

Di Tashkent, kami menyinggahi kompleks Hazrati Imam yang menyambut dengan lembaran-lembaran kenangan, koleksi naskah-naskah Alquran kuno berbisik cerita-cerita kebijaksanaan dan pengabdian. Kami juga mengeksplorasi kehidupan sehari-hari di Tashkent dengan mengunjungi Chorsu Bazaar, pasar yang meriah dengan beragam wewangian dan warna. Di sini, melimpah produk-produk lokal Uzbekistan, seperti rempah-rempah, buah-buahan, kain-kain khas dan keramik yang menarik perhatian. Berbagai percakapan, gemerincing gelas teh, dan tawa anak-anak bergema melalui gang-gang bazar, menjadi simfoni keseharian di Tashkent.


Hazrati Imam


Saat berada di stasiun Metro Tashkent, kami terpesona oleh arsitektur dan seni megah yang ada di dalamnya. Setiap stasiun memiliki tema unik, menampilkan cerita tentang sejarah dan budaya Uzbekistan yang semakin memperdalam pengalaman tentang kota ini. 

Singkatnya waktu hanya memungkinkan kami untuk melintasi Amir Temur Square dengan bus, melihat patung megah sang penakluk terkenal duduk di atas kuda, yang menjadi simbol kebanggaan sejarah Uzbekistan dan kepemimpinan yang kuat. Tak jauh dari sana, kami mampir di Katedral Kristen Ortodoks, sebuah gereja yang mencerminkan dijaganya toleransi dan keberagaman agama di negara ini, meskipun semua agama pernah mendapat kekangan pada masa Uzbekistan berada di bawah kekuasaan Uni Sovyet.


Stasiun metro Tashkent 


Gereja Kristen Ortodoks




Perjalanan ke Uzbekistan adalah sebuah ekstravaganza sensori, setiap pemandangan, suara, sentuhan, rasa, dan aroma meninggalkan jejak yang tak terlupakan di dalam hati. Dari keajaiban arsitektur kuno hingga keanekaragaman budaya yang hidup di tengah masyarakat modern, Uzbekistan telah memberi pelajaran berharga tentang nilai-nilai warisan, toleransi, dan keindahan perbedaan. Setiap kota yang kami kunjungi - Bukhara, Samarkand, dan Tashkent - memiliki cerita uniknya sendiri yang telah menempatkan negara ini di peta dunia sebagai destinasi yang tak terlupakan.

Keindahan perjalanan terletak bukan pada apa yang dilihat dan dirasakan, melainkan pada ikatan tak kasat mata yang terbentuk, pengalaman mendalam yang kita dapatkan, dan bagaimana semuanya bertaut seperti benang-benang karpet yang rumit. Uzbekistan telah menenun pesonanya ke dalam jiwa kami. Ketika pergi meninggalkannya, kami membawa pulang sehelai tenunan indah dari pengalaman mengunjunginya, mendapatkan esensi perjalanan yang lebih dari sekadar kemegahan. 

Saya merasa beruntung telah berkesempatan menyaksikan pesona peradaban kuno dan keanekaragaman budaya Uzbekistan yang menakjubkan. Perjalanan ini menginspirasi untuk menjelajah keindahan warisan sejarah dan budaya dunia lebih jauh lagi. 

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya