Next (Michael Crichton)




Buku ini tak ubahnya selembar kain yang ditenun dengan benang banyak warna. Crichton menjalin ceritanya dengan begitu banyak plot dan subplot, saling berkelindan membentuk pola-pola yang rumit, namun tidak semuanya membuhul dengan kesudahan yang jelas sampai akhir. 

Dari belasan alur cerita, hanya sekitar tiga yang bertemu di bagian akhir untuk mengantarkan cerita ke titik penghujungnya. Tapi semuanya berkaitan dengan tema inti buku ini, tentang sains--dan aspek bisnis, hukum, politik--genetika. 

Cerita bergulir dengan cepat melalui bab-bab pendek dan selingan potongan berita dari media yang mungkin sebagiannya tidak nyata. Ada sejumlah plot yang berakhir jauh sebelum novel selesai, misalnya sub-plot tentang pencuri kuburan yang menjual tulang manusia di pasar gelap. 

Ada pula sejumlah sub-plot yang dibiarkan tanpa penyelesaian, seperti sub-plot tentang anak-anak gadis yang menyuntikkan hormon penyubur tubuh ke mereka sendiri dan menjual sel indung telur mereka untuk mendapatkan uang. 

Agaknya tujuan Crichton menampilkan kasus-kasus itu dalam sub-plot sekadar untuk menyajikan mosaik berbagai tantangan yang mungkin muncul dengan perkembangan dunia genetika masa depan. Maka, bertemulah kita dengan anjing perliharaan yang takkan pernah dewasa yang dinamai Perma-Pet, kelinci transgenik bernama Alba yang berkilau kehijauan, gen pendewasaan yang bisa menyembuhkan kecanduan narkoba, pengacara yang mensyaratkan uji genetik untuk memengaruhi hasil keputusan soal hak asuh atas anak, dan serombongan kasus mencengangkan lainnya. 

Skenario. Itulah yang ditawarkannya. Ekstrapolasi dari keadaan sekarang, implikasinya dalam kehidupan sosial dan hukum, sekaligus untuk membukakan mata orang awam seperti saya. Narasinya padat, tak ada deskripsi panjang-lebar tentang tokoh atau latar. Memang, orang membaca novel techno-thriller Crichton bukan untuk mendapatkan hiburan dari segi prosa. 

Pencerahan, mungkin, tentang ancaman dan harapan yang akan hadir dari perkembangan teknologi manusia yang lepas kendali. Namun saya merasa, gerak narasi itu agak sulit untuk diikuti karena Next hampir tak pernah berhenti menambah tokoh baru di setiap bab, hingga yang terakhir. 

Setiap bab berpindah dari satu alur ke alur lain, dan satu alur kadang didiamkan cukup lama sehingga ketika bertemu lagi dengan tokoh itu kadang kita sudah lupa siapa dia, dalam plot mana dia berada, dan perlu melihat kembali ke bab terakhir kemunculannya untuk membantu ingatan. 

Oleh karena itu, kalau Anda tertarik membaca buku ini, saya ingin menyarankan sebaiknya itu dilakukan dengan sesedikit mungkin jeda agar tidak merusak kenikmatan Anda membacanya.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya