Seperempat Detik yang Berharga


Catatan Kedua dari buku Dan Baker, What Happy People Know

Kunci untuk menghindari penyanderaan itu ternyata sebuah momen sesingkat seperempat detik!

Seperempat detik itu adalah jarak antara dorongan untuk melakukan sebuah tindakan dengan tindakan itu sendiri. Momen singkat ini pertama kali dibuktikan oleh ahli bedah saraf, Dr. Benjamin Libet. Dia melakukan percobaan neurologis terhadap beberapa pasien yang tengah menjalani prosedur bedah otak. Dia menyuruh mereka menggerakkan salah satu jari sembari memantau kegiatan otak mereka secara elektronis. Saat itulah dia menemukannya: ada penundaan selama seperempat detik antara dorongan untuk menggerakkan jari dan gerakan sebenarnya. Artinya, setiap dorongan untuk bertindak yang kita rasakan—termasuk dorongan rasa takut dan amarah—memiliki jendela kesempatan selama seperempat detik yang memungkinkan kita menolak dorongan itu.

Makna penemuan ini luar biasa. Seperempat detik mungkin kedengaran tidak terlalu lama, tetapi itu waktu yang lebih dari cukup bagi kita untuk memiih persepsi yang berbeda. Seperempat detik adalah waktu yang cukup untuk menyadari bahwa suara yang sangat keras itu bukan bom, bahwa sebatang kayu di antara rerumputan itu bukanlah ular, bahwa sebuah ucapan sarkastis tidak dimaksudkan untuk menyakiti, atau bahwa terpeleset menginjak kulit pisang adalah sebuah kelucuan alih-alih kesialan. Pada setiap momen kita punya pilihan untuk menjadi reaktif secara otomatis atau memanfaatkan seperempat detik yang mengubah hidup ini untuk menentukan pilihan.

Jika kita terus menyia-nyiakan seperempat detik ini, dan bertahan dengan pilihan otomatis dan tindakan reaktif, kita bisa diperbudak oleh rasa takut dan amarah sendiri. Ketika amygdala dibiarkan menyandera otak secara berulang-ulang, dia akan semakin terampil melakukan hal itu, dan menjadi apa yang disebut oleh beberapa neurolog “amygdala yang panas”: terlalu reaktif dan kelewat sensitif. Hal ini karena jalur-jalur antara sel-sel otak yang saling terhubung dalam beberapa aspek agak mirip jalan setapak di dalam hutan: semakin sering dilewati, semakin mudah ditempuh.

Setelah emosi meledak, kita kerap berucap, “Aku tidak tahu apa yang telah merasukiku,” atau “Tiba-tiba saja aku tak dapat mengendalikan diri.” “Itu tadi yang bicara adalah amarah, bukan aku” atau “Aku tidak sungguh-sungguh bermaksud seperti itu.” Pernyataan itu benar dalam satu hal—ledakan emosi yang berlebihan itu tidak datang dari diri kita yang sebenarnya. Diri kita sebenarnya, yang berpusat di neokorteks, mungkin juga tidak menyukai ledakan itu, sebagaimana halnya orang lain.

Di sini terlihat titik temu neurologi dengan apa yang sudah diketahui “orang-orang bijak dari Timur sejak 4000 tahun yang lalu.” Orang-orang bijak itu menyarankan kita untuk menjadi pengamat atas pikiran kita sendiri, menarik napas sejenak sebelum mengikuti dorongan untuk meledak dalam amarah. Mereka mengajarkan meditasi untuk meraih apa yang bisa disebut “penglihatan yang lebih jernih.” Sungguh menakjubkan melihat adanya titik temu ilmu modern dengan kearifan kuno ini.

Penangkal lain penyanderaan itu adalah bahasa. Ketika kekuatan neokorteks berkurang—karena kelelahan atau kadar gula darah yang sangat rendah—kita mungkin sulit menenangkan diri agar tidak meledak dalam amarah atau rasa takut. Pikiran kita seperti emosi dan bayangan yang bercampur aduk. Pada saat-saat seperti ini Dan Baker menganjurkan kita menggunakan kekuatan bahasa untuk meredakan kebingungan dan memaknai situasi. Kita bisa mencoba untuk berbicara pada diri sendiri.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahasa secara ajaib berpengaruh besar pada otak kita. Kita berpikir dalam kata-kata dan jika kita tidak punya kata-kata, proses berpikir menjadi kacau balau, tak ada struktur, tak ada kerangka, bahkan kadang tidak mencerminkan hukum sebab-akibat. Ketika proses berpikir kacau balau, emosilah yang menguasai logika, menjadi tak terkendali.

Tak ada yang bisa membangunkan neokorteks secara lebih dahsyat daripada kata-kata. Berbicara pada diri sendiri membantu kita menempatkan masalah dalam perspektif yang tepat, dan menemukan kebahagiaan dalam kejadian-kejadian biasa, termasuk dalam kemalangan. Kata-kata dapat membawa cinta melampaui tahap biokimiawi yang menimbulkan rasa melayang sesaat, lantaran banjir hormon oksitosin dan feniletilamin di dalam otak—memberinya definisi dan keabadian seperti gumpalan awan yang bisa berwujud sesuatu atau bukan apa-apa sampai ada orang yang menamainya.

Dengan memanfaatkan dua jendela kesempatan ini—jeda seperempat detik dan kekuatan bahasa—kita bisa terhindar dari stres dan rasa tak berdaya yang dapat melanggengkan siklus pikiran negatif tiada akhir.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"