Pagi Peripatetik
Hanya berjalan kaki.
Kita akan nikmati jalan kaki kita
tanpa berpikir akan tiba di mana.
(Thich Nhat Hanh)
Bandung, 28 Sept 2019 |
Pagi datang. Matahari masih rendah di ufuk.
Jalanan tampak redup dan sepi. Bayangan panjang jatuh di depan saat saya mulai
berjalan. Lintasan pikiran acak muncul dalam kepala seiring saya mengambil
langkah pertama.
Mungkin sudah ribuan kali saya melewati jalan
ini, tapi pagi tak pernah gagal membuat semua tampak baru. Hari ini meneruskan
jejak hari kemarin, sekaligus menyuguhkan kebaruan, spontanitas dan kebetulan
yang tak pernah kita tahu. Saya menghirup napas dalam-dalam, siap menyaksikan
semua yang akan terorkestrasi sepanjang jalan dari saat ke saat.
Sebentar lagi aktivitas mulai menggeliat.
Dimulai dari warung-warung tenda di tepi jalan itu. Sudah bertahun-tahun mereka
menempati lokasi yang sama, buka pada jam yang sama dengan urutan kegiatan yang
tak berbeda setiap hari. Pelanggan satu per satu datang, mengantri, menunggu
sarapan pagi.
Di seberang jalan, dinding bertaburan grafiti
meneriakkan 'aku rindu' dalam goretan samar pylox hitam. Seorang remaja melintas
di depannya, telinga disumpal peranti dengar, berjalan lunglai seolah dibebani
rindu tak berbalas.
Melewati sebuah lorong, saya harus menepi
membiarkan seorang anak memelesat berlari. Kemarin sore anak yang sama menangis
tersedu di pojok rumah. Tak mau bicara saat ditanya kenapa menangis. Hanya
tangisannya makin keras. Kini dia sudah lupa, senyum lebar menghiasi wajahnya
berpupur bedak wangi. Pagi telah membasuh jejak kesedihan kemarin.
Rombongan
pesepeda melaju pelan di tepi jalan. Seorang pelari lewat mendahului,
punggungnya basah berpeluh. Di pinggir lapangan, seorang ibu menggendong anak
perempuan sambil menyuapinya, seekor kucing hitam mengeong minta jatah di dekat
kakinya. Di kejauhan tampak berjalan seorang ibu tua berbaju merah, kerudung
merah, masker merah, rok hijau tosca. Warna-warni pakaian yang melekat padanya
begitu kontras tajam.
Momen-momen sesaat terbekukan dalam bingkai,
kemudian berlalu tanpa pernah terulang lagi. Peristiwa terus mengalir. Mata
mengamati. Kaki melangkah. Pikiran terus sibuk berceloteh tanpa suara.
Padang, 25 Dec 2019 |
Peripatetik berasal dari bahasa Yunani, peripatein, yang berarti berjalan-jalan, berkeliling. Istilah ini sering diasosiasikan dengan mazhab filsafat Aristotelian karena konon Aristoteles punya kebiasaan memberikan kuliah sambil berjalan-jalan. Mungkin karena ketika berjalan kaki, pikiran kita cenderung masuk ke dalam suasana meditatif, yang kondusif untuk berpikir filosofis.
Langkah kaki yang seirama tarikan napas menghadirkan irama monoton seperti mantra dan zikir yang diulang-ulang. Karena itu, jalan kaki menjadi semacam terapi meredakan ketegangan. Dalam pikiran yang rileks, ide-ide setengah matang muncul ke permukaan, mendapatkan penguatan yang mendorong kita untuk meninjaunya kembali nanti.
Saya suka
berjalan kaki untuk mendapatkan suasana ini. Jalan kaki yang bukan untuk
mencapai suatu tujuan, bukan semata-mata untuk berpindah dari satu titik ke
titik lain. Tapi menikmati gerakan tenang kaki menyentuh bumi dengan setiap
langkahnya.
Thich Nhat Hanh, seorang Buddhis kontemporer
dari Vietnam, menyarankan untuk membayangkan gerak berjalan sebagai mencium
bumi. Ide ini telah membawa beberapa orang ke titik ekstrem berjalan ke
mana-mana tanpa alas kaki, tetapi bagi saya, saya masih perlu memakai sepatu
yang nyaman untuk menikmati jalan kaki.
Berjalan kaki melepaskan kita sejenak dari ruang
yang membatasi dan waktu yang menyempit. Sejenak menjadi bagian dari massa yang
anonim, menjadi pengamat atas apa-apa yang melintas di depan mata.
Pasar Kiaracondong, 18 Juli 2019 |
Ada bermacam
alasan yang mendorong orang pergi jalan kaki keluar tanpa destinasi. Barangkali
kejemuan bergumul dengan ide yang buntu, bertemu dengan rintangan yang
menyumbat kemajuan pekerjaan, kemalasan yang membisikkan untuk lagi-lagi
menunda pekerjaan. Atau sebuah kebiasaan yang dilakukan pada selang waktu
tertentu.
Virginia Woolf dalam esainya "Street Haunting" menceritakan
pengalamannya berjalan melintasi kota London. Mendapatkan sebatang pensil
menjadi alasannya untuk pergi keluar. “Ada suatu keadaan di mana kita menjadi
sangat ingin untuk memiliki sesuatu; momen ketika kita bertekad untuk
mendapatkannya, menjadi alasan untuk berjalan-jalan melintasi London antara
waktu minum teh sore dan makan malam.”
Esai itu dengan
sangat lincah menunjukkan bagaimana pikirannya melompat dari satu pengamatan ke
pengamatan lain ketika berjalan kaki. Berada di jalan, mata kita memperhatikan simetri
jendela dan pintu di jalan yang lurus, lampu-lampu jalanan masih menyala ketika
hari berganti terang, semua mengalir di permukaan; pandangan mata kita
mengambang mengikuti arus; berhenti, terpaku, otak mungkin tertidur sembari
kita melihat.
Bandung, 15 Dec 2019 |
Menjadi pengamat anonim adalah
kesenangan lain yang membuat saya suka berjalan kaki. Momen-momen sepanjang jalan terjadi tanpa terprediksi, tanpa kita tahu
ke arah mana mata kita akan memandang berikutnya. “Melintas, menengok sepintas,
segala sesuatu tampak kebetulan, tapi secara ajaib bertabur keindahan...
Pemandangan yang kita lihat dan suara yang kita dengan sama sekali berbeda dari
yang sebelumnya.”
Cara yang sama dianut oleh para
pemotret jalanan. Fotografi jalanan adalah cara dengan terus menerus sadar akan
perubahan adegan dan cahaya dari saat ke saat, soal keterbukaan pada tak
terbatasnya kemungkinan hal menarik untuk dipotret di jalanan.
Maka berjalan kaki sebanyak-banyaknya disarankan sebagai cara terbaik untuk mengasah kemahiran dalam foto jalanan. Fotografer Alex Webb, dalam Street Photography and the Poetic Image, menyatakan, “Saya jauh lebih sering melakukan pendekatan pada suatu tempat dengan cara berjalan kaki. Apalagi yang dilakukan seorang fotografer jalanan selain berjalan dan memperhatikan dan menunggu dan berbincang, dan kemudian memperhatikan dan menunggu lagi sambil mencoba untuk tetap yakin bahwa sesuatu yang tak terduga, yang tak diketahui, atau sebuah rahasia menunggu di ujung tikungan.”
Berjalan, mengamati, memberikan
perhatian penuh pada apa yang berlangsung di depan mata, dengan begitulah kita
dapat mengenali hal menarik yang terjadi di sekitar dan menemukan cerita yang
layak untuk direkam.
Pasar Binong, 1 April 2017 |
Rute jalan kaki
saya biasanya berujung di pasar. Dari sana saya akan berbalik mengambil jalan
yang sama. Lewati jalan yang kausukai dua kali dalam arah yang berbeda, saran
Daido Moriyama, seorang fotografer jalan asal Jepang. “Cahaya akan selalu jatuh
dengan cara tertentu ketika kita berjalan ke satu arah, dan cara lain saat kita
berjalan ke arah lain, jadi hal-hal yang berbeda akan muncul dengan sendirinya
kepada Anda ... Itulah mengapa saya suka memperhatikan jalanan yang saya suka dari
dua arah berbeda."
Saat saya
melangkah pulang, Matahari sudah sedikit lebih tinggi. Bayangan yang lebih pendek
kini berada di belakang saya. Pikiran lebih ringan, tas yang tadinya kosong
kini lebih berat. Kembali membawa barang-barang belanjaan yang barangkali
diniatkan atau pun tidak. Sejam atau tiga puluh menit menghilang dari
ruangan, tak seorang pun merasa kehilangan.
Kembali ke
rumah membawa merasakan kesegaran pikiran dan testimoni dari apa yang terekam
dalam ruang pandang mata dan kamera. Siap untuk kembali masuk ke dalam arus rutinitas
sehari-hari, bergumul kembali dengan rintangan dan kesenangan apa pun yang datang.
Menunggu panggilan berikutnya untuk kembali menapaki rute yang sama dengan
orkestrasi pertunjukan yang berbeda.
Bogor, 6 August 2018 |
Bagus sekali. Berjalan sambil merakamkan persekitaran dengan pengamatan. Berjalan bukan hanya kaki, tetapi juga mata dan fikiran berjalan serentak, yang nantinya teradun dalam sebuah penulisan esei. Saya suka ide ini. Terima kasih🌹🥰
BalasHapusYa, mari berjalan kaki.. 😊
Hapus