Postingan

Anne Quindlen seorang liberal. Dia mendukung aborsi, mendukung hak gay dan lesbian, penyebaran kondom di sekolah-sekolah. Sisi lainnya, dia kritis pada rasisme, tidak setuju perang Teluk dan tidak sepihak dengan Republikan. Dia seorang ibu tiga anak yang suka berjalan-jalan bersama dan mengajak anaknya bicara tentang apa-apa yang tidak mereka mengerti. Tapi saya bertanya, dengan semua sikap liberalnya itu apa arti tindakannya mematikan televisi ketika anaknya datang saat dia sedang menonton siaran dengar pendapat senat untuk kasus pelecehan seksual Anita Hill. Apa artinya bagi saya saat ini ketika seorang memberi tahu bahwa perang Irak yang meletus ini sudah direncanakan sejak lima tahun lalu. Saya hanya semakin apatis saja pada peluang damai di bumi ini. Saat ini barangkali mereka sedang bikin rencana sebuah perang lain untuk lima tahun mendatang. Kawan-kawan di asah sedang ribut dengan soal lesbianisme dalam novelnya Oka Rusmini, Tarian Bumi . Ary, Jazim dan Sugeng menyatakan k
Saya seperti menunggu momentum. Saya tidak yakin apakah saya akan kembali meraih semangat untuk mencoba menulis lagi. Saya membaca entri yang saya buat bulan Agustus tahun lalu. Di situ saya bicara dengan nada yang persis sama dengan bulan lalu tentang kebuntuan saya. Pada saat itu saya membuat ultimatum bahwa itu mestilah yang terakhir karena jalan keluar saya dapatkan bukan dengan bicara tentang kebuntuan tapi dengan latihan. Saya ternyata tidak bisa mendisiplinkan diri, saya jatuh di kubangan yang sama enam bulan kemudian. Ketika seorang pejabat militer Amerika di Qatar dalam wawancara dgn NHK menyebut bahwa pemerintahan Irak memanfaatkan rakyat sipil sebagai tameng, dalam hati saya berkata mereka melakukan itu untuk membela diri sendiri tanpa instruksi dari atas. Bom bunuh diri memang tampak seperti usaha seorang yang sudah putus asa, tapi bagi pihak yang terjepit dan dizalimi itu adalah sebuah tindakan heroik. Saya pikir penjelasan Amerika itu dibuat untuk mempengaruhi kelompok
Untung saya bukan seorang wartawan atau pekerja di surat kabar atau pembaca berita di televisi. Kalau tidak, saya tentu akan kelimpungan mencari cara untuk menghindarkan diri dari terpaan kepiluan karena harus mengikuti perkembangan perang Irak setiap hari. Kini saya tidak lagi ingin tahu tentang perang ini, saya tidak kuat menyaksikan bom yang terus dijatuhkan di rumah-rumah rakyat Irak, pasukan-pasukan yang terus bergerak ke ibukota sambil menghancurkan apa saja yang mereka lewati. Mereka masuk ke dalam kota yang sudah terlebih dahulu mereka serang lewat udara. Kota itu hancur, sepi, ditinggalkan warganya yang kini hidup di pengungsian, kelaparan, kehausan dan ketakutan. Menyaksikan rumah sakit yang dipenuhi korban anak-anak dan rakyat sipil yang terluka di tempat-tempat yang tidak biasa. Saya tidak lagi berpikiran dapat menyaksikan harapan dan tanda-tanda di dalam berita. Ternyata perang ini tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Saya terkejut ketika mengetahui bahwa rapat PBB itu bi
Jika begitu terbangun dari tidur engkau merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu, bersegeralah. Menangguhkannya hanya akan melemahkan semangat dan memadamkan nyala daya cipta. Tapi tidak jarang keadaan murni antara bangun dan tidur itu terbukti sebuah aspirasi yang amat jauh untuk dijangkau. Butuh sebuah kerja keras untuk meraihnya. Ada waktu dan tenaga yang mesti ditanamkan, atau sebutlah itu dikorbankan, karena jalannya tidak selalu mudah dan mulus. Kenapa saya selalu bernada negatif ketika berdiri di hadapan sebuah keniscayaan kerja keras? Apakah ini pertanda ketidaksiapan saya untuk menunaikannya? Barangkali saya mesti memaksa diri untuk melihat ini dengan lebih ringan. Bukan sebuah kerja, hanya sebuah jalan. Tak bisa mengelakkannya kalau ingin melangkah dari sini. Ada seorang peserta milis madia yang setiap hari mengirimkan berbagai artikel tentang perang Irak dari sebuah situs alternatif. Di antara penulisnya adalah Robert Fisk yang tulisannya sering saya temukan di koran IHT
Begitu terbangun pagi ini pikiran tentang perang sinting ini langsung membanjir dalam benak saya. Saya teringat rekaman kamera seorang ibu tua dengan mata putih berteriak geram, Bush makhluk paling hina di muka bumi, kira-kira begitulah bunyinya. Dia berdiri di depan reruntuhan bangunan yang barangkali adalah puing tempat tinggalnya. Orang-orang berkerumun di sekitar bangunan itu, si ibu membelakanginya menghadap kamera seperti ingin benar-benar yakin pesannya sampai ke si pencabut nyawa itu. Footage yang lain memperlihatkan seorang ibu menyekop tanah dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik. Barangkali dia ingin menyimpan kenangan tentang tempat tinggalnya yang telah hancur menjadi debu. Di tengah itu semua rakyat Irak meneriakkan yel-yel, jiwa dan darah kami untuk Saddam Hussein. Hati mereka takkan pernah terbujuk kata-kata manis Bush bahwa perang ini untuk membebaskan mereka dan menuju dunia yang lebih damai. Perang memang selalu memilukan. Sulit dimengerti alasannya.