Begitu terbangun pagi ini pikiran tentang perang sinting ini langsung membanjir dalam benak saya. Saya teringat rekaman kamera seorang ibu tua dengan mata putih berteriak geram, Bush makhluk paling hina di muka bumi, kira-kira begitulah bunyinya. Dia berdiri di depan reruntuhan bangunan yang barangkali adalah puing tempat tinggalnya. Orang-orang berkerumun di sekitar bangunan itu, si ibu membelakanginya menghadap kamera seperti ingin benar-benar yakin pesannya sampai ke si pencabut nyawa itu. Footage yang lain memperlihatkan seorang ibu menyekop tanah dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik. Barangkali dia ingin menyimpan kenangan tentang tempat tinggalnya yang telah hancur menjadi debu. Di tengah itu semua rakyat Irak meneriakkan yel-yel, jiwa dan darah kami untuk Saddam Hussein. Hati mereka takkan pernah terbujuk kata-kata manis Bush bahwa perang ini untuk membebaskan mereka dan menuju dunia yang lebih damai. Perang memang selalu memilukan. Sulit dimengerti alasannya.
"Memento Vivere"
John Willam Waterhouse, A Tale from the Decameron, 1916 Di kota Florence, Italia, tahun 1348. Wabah Bubonik sedang mencengkeram. Perkampungan kosong, kekacauan di mana-mana, rutinitas hidup sehari-hari telah ditinggalkan. Orang yang terdampak virus konon akan mendapati bisul tumbuh di selangkangan atau ketiak mereka, lalu bintik-bintik hitam di kaki dan tangan. Ada yang tampak sehat di pagi hari, tapi pada waktu malam sudah bergabung dengan leluhur mereka di alam baka. Kematian begitu cepat terjadi, sering kali dalam kesendirian karena setiap orang harus menjauhi yang sakit agar tak terjangkit. Sekelompok anak muda memutuskan pergi meninggal kota untuk melakukan karantina mandiri. Sepuluh orang, yang terdiri atas tujuh perempuan dan tiga lelaki, menyingkir ke luar kota untuk menghindari sengsara yang melanda, karena tak ada yang bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan tumpukan mayat-mayat terus bertambah dan mendengar kabar tentang siapa yang mati hari ini. Yang mereka lakukan dal
Komentar
Posting Komentar