Kesaksian yang Terlambat






Setiap kali aku membaca lagi karanganku, yang pernah menjuarai lomba mengarang tingkat sekolah menengah itu, aku merasa sakit perut. Seandainya mereka tahu, mereka tentu akan membatalkan predikat juara itu padaku. Seandainya mereka tahu, tentu takkan pernah mereka meminta aku untuk jadi tutor bagi anak-anak kelas satu. Tapi aku tak ingin merusak gambaran yang ada di benak mereka tentang diriku, mereka bilang aku seorang pengarang berbakat. Aku ingin bisa menghapus apa yang ada di dalam benakku berkaitan dengan satu karangan itu.

Mengesankan, memang. Ide yang luar biasa bagi seorang anak sekolah menengah pertama: cerita tentang umat manusia di masa depan ketika manusia kloning sudah jamak ditemukan di mana-mana, pesan moral yang sangat mendalam bukan hanya untuk individu, tapi bagi umat manusia. Luar biasa. Bagaimana mereka bisa percaya bahwa semua itu adalah hasil pikiranku sendiri. Mungkin mereka kurang teliti sehingga tidak bisa menebak kira-kira dari mana aku mengambil ide semacam itu. Mereka mungkin tidak tahu di zaman ini, betapa mudahnya orang mendapat karangan hebat dan kemudian mengklaimnya sebagai hasil pikiran pribadi. Tak terlalu sulit untuk saling mengklaim ide di dunia maya itu.

Aku tak tahan, terus digelayuti rasa bersalah ini. Suatu kali Pak Hamid, guru bahasa Indonesia yang menjadi ketua juri lomba itu, meminta aku untuk menjadi tutor lagi buat kelasnya, tutor mengarang. Akan kusembunyikan ke mana wajahku. Hasil karanganku yang cuma beberapa itu seperti mengejek dan mencibir kepadaku. Naskah-naskah itu adalah saksi setingkat apa kemampuanku. Banyak sekali hambatanku dalam menulis. Rasa tak percaya diri selalu menggerayangi setiap kali akan memulai karangan. Tapi untuk karya yang satu itu, setiap kali aku melihatnya, aku seperti merisak diri sendiri, dorongan untuk menertawakan diri membesar berpuluh kali lipat.




Aku sedang terbenam dalam kegalauan ini ketika tiba-tiba seorang anak kelas satu yang aku tutori datang mendekat. Dia meminta aku membaca hasil karangannya yang akan diikutkan dalam lomba di akhir semester ini. Dalam sebuah map biru kulihat karangannya yang tiga halaman. "Manusia Kloning Abad ke-30". Aku tertegun. Aku coba baca dua paragraf pertama. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Ini persis dengan karanganku yang jadi sumber petaka hatiku itu. Anak tadi belum masuk sekolah kami ketika aku menang dengan tulisan palsu itu. Dia tidak tahu kasusku, sebagaimana tak seorang pun di luar diriku. Tapi aku bisa merasakan kesamaan ide, pasti dia juga mengambil dari sumber yang sama kemudian dengan mengubah subjek dan setting, jadilah karangan ini. Bagaimana aku harus mengatakannya?

Tak mungkin aku akan meloloskan karangan ini sebagai peserta lomba, juri yang sebagian besar adalah guru-guru yang ikut menjadi juri bagi tulisanku dua tahun yang lalu akan tahu. Jika ada dua orang menuliskan hal yang sama, tentu akan muncul kecurigaan. Aku panggil Hanif, pengarangnya, untuk datang kepadaku.

"Aku sudah baca tulisanmu, luar biasa. kamu dapat ide dari mana?"

Hanif tertunduk, mukanya memerah, matanya tak mampu menatapku. Dia tidak menjawab.

Aku tepuk pundaknya. "Sudahlah, aku tahu. Aku juga pernah melakukan hal yang sama, dan menjuarai lomba menulis dua tahun lalu, ketika kamu belum jadi murid di sekolah ini." Aku terkejut betapa mudahnya pengakuan ini meluncur di hadapan seseorang yang kutahu takkan menghakimiku, seorang yang tidak berbahaya bagi harga diriku.

Hanif terangguk-angguk. "Maaf, bang," katanya.

"Tidak perlu. Sampai sekarang aku masih dihantui rasa bersalah. Entah bagaimana aku harus mengakui ini dan entah kepada siapa aku harus menyampaikannya."

Hanif mulai mengangkat kepala dan menatapku. Tatapan ingin tahu, bukan lagi ketakutan dan rasa bersalah yang terpancar dari matanya. Dia seperti menunggu aku berbicara lagi.

"Aku ingin bicara pada seseorang agar dapat menghapus rasa bersalah dari hatiku. Tapi itu juga berarti akan mencorengkan sesuatu di wajahku. Rasanya begitu berat. Aku menanti waktu yang tepat untuk itu agar lukanya tidak terlalu parah."

"Bagaimana jika setelah abang lulus dari sekolah ini, tinggal beberapa bulan lagi."

"Aku berharap itu tidak pernah terjadi."

Hingga kini aku tetap belum membuat pengakuanku. Acara perpisahan yang dihadiri guru-guru SMP dengan suasana gembira bukan waktu yang tepat untuk bicara. Sehari setelah itu orang-orang mulai libur, sekolah sepi. Mungkin itu waktu yang tepat, tapi aku tetap tak bisa memulainya. Aku berdiri di luar ruangan Pak Hamid, ingin mengetuk pintunya. Tapi sesuatu menahan tanganku. Kemudian seorang teman datang mendekat, mengajakku pergi ke kantin sekolah. Aku buang lagi kesempatan untuk mengakui dosaku.




Setelah aku meninggalkan SMP dan masuk SMA, kesempatan itu seperti habis sama sekali. Aku tentu saja bisa membuat pengakuan dengan menulis surat. Mereka akan mengerti. Pengakuan tertulis itu tidak lagi berkemungkinan mempermalukan aku di hadapan teman-teman satu sekolah. Mereka sudah menyebar di seluruh kota. Tak mungkin guru-guruku lantas membuat selebaran yang dikirim ke seluruh teman untuk memberitahukan tentang kecuranganku. Aku bisa membuat pengakuan dosa tanpa mempermalukan diri. Tapi aku tak pernah sampai pada tindakan membuat surat itu. Seolah-olah itu hanya ada dalam pikiranku. Rasa berdosaku juga semakin terkikis. Aku tak harus bertemu lagi dengan orang-orang yang bisa melekatkan label memalukan yang pantas kuterima. Aku tak lagi harus membimbing kawan-kawan muda untuk mencapai tingkat yang pernah mereka duga bisa aku capai. Hanif. Hanya satu nama itu yang mengetahui dosaku dan sebentar lagi dia akan menyelesaikan pula studinya dari sekolah itu. Apakah dia akan bicara?

Aku bertemu Hanif dalam sebuah acara temu alumni minggu lalu, lima tahun kemudian. Dia kini mahasiswa tingkat pertama, jurusan ekonomi. Minatnya di bidang tulis menulis masih ada. Dia aktif di unit publikasi kampusnya. Dalam sebuah kesempatan, ketika kami hanya berdua, sementara kawan-kawan lain tetap bergerombol di sana sini, bicara tentang apa yang terjadi pada diri mereka setelah keluar dari SMP, Hanif bertanya soal rahasiaku.

Aku langsung terdiam lagi. "Dosa itu masih melekat, Hanif," kataku, kureguk habis sisa minuman di dalam gelas yang kupegang. Sebuah tindakan untuk menekan rasa malu. "Aku masih belum bicara."
"Lupakan saja, bang. Toh tidak ada yang bakal menuntut."

"Bukan orang lain yang menuntutnya. Aku sendiri yang terus diketuk-ketuk pintu hatiku, aku seperti menyangkal suara hatiku. Rasanya aku tak bisa pergi sebelumnya menyelesaikan ini. Barangkali dosa itu akan terus bergayut dan mengusikku hingga akhir hayat."

"Kalau demikian mengganggu, mengapa tidak menyelesaikannya cepat-cepat." Hanif melayangkan pandangannya ke kerumunan di kiri kami. Pak Hamid ikut hadir dan bergerombol di sana.

"Mungkin ini waktu yang tepat," ucapanku lebih untuk menumbuhkan keyakinan diri sendiri.

"Ayolah, aku temani," Hanif menawarkan bantuan.




Pak Hamid tidak keberatan untuk kami ajak mengobrol bertiga. Dua murid kebanggaannya dulu. Dalam suasana seperti ini, saya bisa merasakan kapan saat yang tepat untuk bicara. Hanif menggiring pembicaraan ke arah lomba menulis yang tiap tahun diselenggarakan di sekolah kami dulu. Banyak di antara pemenangnya ikut hadir hari ini.

"Sebenarnya tulisan itu jiplakan pak." Tiba-tiba aku menyela, sama sekali di luar dugaanku. Aku seperti tidak sadar mengucapkannya.

"Maksudmu?"

"Aku melakukan plagiat," kata-kata itu keluar dengan berat, tercekat dalam tenggorokanku, tapi begitu bertenaga karena telah dipendam bertahun-tahun. Sebuah pengakuan dosa.

Pak Hamid tertawa. Sebuah reaksi yang tak kuduga. Tak pernah kuharapkan. Barangkali karena waktu yang telah begitu jauh, barangkali kini itu sudah tak penting lagi. 

Pengakuan dosaku sudah sangat terlambat. Barangkali aku memang akan terus membawanya sendiri, dan orang lain tak pernah akan peduli. Aku sadari kini, aku berdosa bukan pada mereka.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"