Rindu Laut

"Jiwaku penuh rindu
akan rahasia laut,
dan bisikan samudra luas
menjalarkan denyut menggetarkan dalam diriku."

―Henry Wadsworth Longfellow


Pantai Air Tawar, Padang, 25 Juli 2014

Laut selalu memukau saya. Sebagai orang yang dibesarkan di daerah pantai—yang terdekat hanya berjarak 200 meter dari rumah masa kecil saya di Padang—tidak pergi ke pantai untuk waktu lama selalu memunculkan rasa rindu, yang mendorong saya untuk melihat-lihat lagi foto pantai.

Bukan pantai indah komersial yang dikelola perusahaan wisata, yang saya rindukan adalah pantai alami terbuka yang terletak di halaman belakang rumah-rumah penduduk, tempat para nelayan kecil mencari nafkah. Pantai sepi yang jauh dari pemukiman, yang hanya bisa didatangi dengan berjalan kaki jauh menyusuri lahan-lahan kosong yang hanya dihuni hewan ternak yang dilepas liar.

Cuaca di daerah pantai sering lebih dinamis, angin bisa tiba-tiba bertiup kencang, hujan deras seketika turun dan seketika berlalu. Saya teringat waktu kecil dulu kadang terbangun pukul satu atau dua tengah malam. Mendengar suara angin bersiul dan bunyi ombak bergemuruh dari kejauhan justru membuat saya merasa tenang; masih ada yang tetap hidup dan tak lelap di tengah malam itu, seperti saya.


Laut menyimpan misteri yang sejak dahulu telah menjadi sumber inspirasi manusia dalam seni, sastra, lukisan, foto, novel puisi, film. Salah satu lukisan laut terkenal yang saya suka adalah karya Katshusika Hokusai, "The Great Wave of Kanagawa". 


Katsushika Hokusai. "The Great Wave of Kanagawa". 1829–1833


Lukisan cetak balok kayu dari tahun 1829 ini menggambarkan ombak besar yang mengancam tiga perahu di lepas pantai Kanagawa, Yokohama. Di latar belakang ada Gunung Fuji, yang mungkin sengaja dibuat tampak kecil dibandingkan ombak, untuk menegaskan jarak dan kedigdayaan laut. Lukisan dramatis ini menggambarkan gelombang dengan sangat rinci hingga kita bisa melihat semburan titik-titik air laut di lidah ombak. Ujung-ujung ombak digambarkan Hokusai seperti jari-jari yang siap mencengkeram apa pun yang ada di bawahnya.

 

Maka barangkali bukan kebetulan jika foto pertama yang membuat saya tertarik pada fotografi adalah foto pantai. Pada tahun 2010, seorang teman pehobi fotografi yang tinggal di Bengkulu mengirimkan foto senja di Pantai Panjang, Bengkulu. Foto itu membukakan mata saya betapa foto bisa menampakkan keindahan berbeda dari apa yang tampak di mata.  

Pantai Panjang, Bengkulu, 19 April 2010. Foto: Yahya Mahmud

Saya harus mengucapkan terima kasih sebab foto inilah yang pertama kali memunculkan dalam diri saya keinginan untuk mulai belajar memotret. Karena saat itu, juga kini, saya tidak tinggal di dekat pantai, pada tahun-tahun awal saya lebih banyak memotret foto makro dan still-life. Dan, tentunya setiap kali pulang kampung, saya tidak pernah melewatkan kesempatan memotret di pantai.


Pantai Air Tawar di pagi hari. Padang, 9 Juli 2016

Laut sebagai objek foto memang tak pernah membosankan. Langit selalu tampak berbeda. Corak dan bentuk awan berubah cepat seperti adegan dalam film laga. Warna-warninya berganti seiring pergeseran relatif posisi  Matahari. Tempat yang sama dapat memberikan pemandangan yang sangat jauh berbeda. Laut dan pantai tak pernah monoton.  

Perubahan cepat dan ekstrem ini membuat kita sangat sadar bahwa awal pagi dan senja adalah waktu terbaik untuk mendapatkan gambar-gambar terbaik. Tak ada ampun. Memotret pada tengah hari semuanya tampak hambar dan datar. Namun kesabaran menunggu pagi dan senja diganjar lunas. Tak jarang foto-foto pantai secara apa adanya sudah memadai, untuk ditampilkan, langsung dari kamera tanpa perlu sentuhan editing untuk menajamkan warna atau kontras. Cahaya yang sempurna.


Pantai Air Tawar di sore hari. Padang, 4 Juli 2016


Tapi di luar itu, laut juga mengajarkan saya banyak hal simbolis. Laut memiliki sifat-sifat yang bertentangan. Damai, tapi berbahaya. Tenang, lalu bergolak. Laut yang penuh amarah hari ini, bisa menjadi tenang esok. Dinamikanya itu juga yang membuat saya tak pernah bosan menyapa laut setiap hari, jika memungkinkan, ketika sedang berada di kampung halaman,. 

Melihat nelayan-nelayan tradisional berperahu kecil bernyali besar menerjang ombak, menyiratkan harapan yang tak pernah mati, keuletan menghadang rintangan yang sering kali tak terduga. Orang-orang ulet yang sabar meniti hari demi hari dalam ketidakpastian laut.

Seperti kegigihan yang juga dikesankan dalam lukisan-lukisan laut di masa keemasan Belanda abad ketujuh belas.  Pada lukisan berjudul “Ships in Stormy Sea” karya Ludofl Backhuysen yang dibuat tahun 1670 ini, pemandangan laut tampak sangat mencekam. Kita bertanya, bagaimana kapal-kapal itu bisa bertahan? 


Ludolf Backhuysen. "Ship in Stormy Sea". 1670

Tapi bukankah mereka memang dirancang untuk situasi semacam itu. Bentuk lambung, haluan dan buritan telah disempurnakan dari bertahun-tahun pengalaman para pelaut. Awak kapal telah berlatih menguasai layar dan tali temali, mahir melipat dan mengembangkannya dengan cepat. Lukisan ini mungkin dibuat untuk mengobarkan semangat para pelaut Belanda masa itu yang tengah jaya dalam perniagaan laut, menyampaikan pesan kebanggaan pada kegigihan di hadapan tantangan menakutkan.

Lukisan Backhuysen mengimplikasikan bahwa manusia dapat beradaptasi dengan lebih baik dari yang kita duga; apa yang tampak mengancam sesungguhnya dapat dilalui dengan selamat.  Pada akhirnya laut akan kembali tenang dan bersahabat, seperti digambarkan  dalam lukisan karya Willem van de Velde the Younger, "Ships off the coast" (1660).


Willem van de Velde the Younger. "Ships off the coast." 1660. 

Dalam kegilaan ide liar yang sering mendatangi pikiran saya, tak jarang saya membayangkan diri sebagai ikan di laut dalam. Ikan yang tak betah berada di perairan dangkal. Ikan besar yang sesekali suka berenang berkelompok, tapi juga merasa nyaman berenang sendiri. Seperti Orca. Tapi tentu saja bukan itu alasannya.

Bagaimanapun, saya suka apa yang ditulis Cornelia Funke tentang karakter Elinor dalam Inkheart, novelnya yang termasuk dalam daftar 100 buku wajib-baca dari Jerman, "Laut senantiasa memenuhi hatinya dengan rasa rindu, meski dia tak pernah pasti kerinduan pada apa." Itu bisa berlaku juga buat saya.




Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya