Mengakali Akrasia




"Tak seorang pun akan secara sengaja memilih yang buruk.”  
(Socrates) 


Kita semua pernah melakukannya, menunda-nunda waktu untuk melakukan pekerjaan penting. Istilahnya prokrastinasi. Para penulis adalah yang paling sering melakukan prokrastinasi, dan mereka mencoba bermacam trik untuk mengatasinya. Konon, di balik novel-novel hebat ada kisah prokrastinasi yang tak kalah hebat. 

Herman Melville dikisahkan dirantai oleh sang istri ke meja tulisnya untuk memaksa dia agar menyelesaikan penulisan novel epiknya Moby Dick. Victor Hugo menyuruh asistennya untuk menyimpan semua pakaiannya di dalam lemari terkunci agar dia tak bisa pergi-pergi pesta keluar dan diam di rumah untuk menuntaskan penulisan The Hunchback of Notre Dame

Margaret Atwood menyebut dirinya “prokrastinator kelas dunia”. Rutinitas paginya terdiri dari jalan-jalan berkeliling karena stres sepanjang pagi sampai kecemasannya hilang dan baru mulai menulis sekitar pukul tiga sore. Meski begitu dia menjadi penulis yang sukses, dalam lima dekade karier kepenulisannya dia menghasilkan 14 novel, 9 kumpulan cerpen, 16 buku puisi, 8 buku anak dan 10 buku nonfiksi. 



Menunda pekerjaan penting adalah sebentuk penghindaran dari apa yang kita tahu seharusnya kita lakukan. Kita tahu itu baik dan harus dilakukan, tapi kita tidak melakukannya. Ini adalah sifat bawaan manusia. Dan, para filsuf Yunani yang senantiasa peka pada watak mendasar manusia, sudah membahas hal ini sejak zaman dahulu. Mereka menamakan sikap tidak mengikuti pemikiran terbaik kita ini sebagai akrasia. Akrasia adalah kata bahasa Yunani yang terjemahannya “berkemauan lemah, kurangnya penguasaan atas diri sendiri.” 
Saya mengalami akrasia, misalnya, ketika melihat hasil medical check-up. Hasil pemeriksaan kesehatan saya yang terakhir menunjukkan angka kadar kolesterol darah melampaui batas normal. Yang lainnya, syukurlah, masih wajar. Pada halaman terakhir laporan pemeriksaan itu, termuat serangkaian hal yang disarankan bagi saya untuk menjaga kesehatan. Katanya, saya harus mengindari makanan yang mengandung lemak hewani, mengurangi makanan yang digoreng, memperbanyak konsumsi buah dan sayuran, serta berolah raga sekitar 30-60 menit setiap hari. Saya tahu itu. Namun, sayangnya, tahu belum tentu mau. 

Pengetahuan tidak secara langsung memberi motivasi kuat untuk mengambil tindakan. Saya sama saja seperti para perokok atau pecandu lainnya, apa yang saya yakini baik buat saya tidak selalu saya lakukan. Hampir semua perokok berat tahu betul konsekuensi dari kecanduannya. Mereka mengakui akan lebih baik bagi mereka jika menghentikan kebiasaan itu. Tapi, tetap saja kebanyakan perokok berat sangat sulit berhenti merokok. Barangkali sembari menikmati isapan rokoknya, terselip pertanyaan dalam hati diiringi sesal, “Mengapa saya terus merokok padahal saya tahu akan lebih baik bagi saya jika berhenti?” 



Kenapa kita cenderung tidak melakukan apa yang kita yakini baik untuk kita? Mengapa hal-hal yang kita ketahui tidak memberi motivasi yang cukup kuat untuk kita mengikutinya?  Ini pertanyaan-pertanyaan yang mereka coba jawab. Dalam salah satu dialog Platon, Socrates dikisahkan mengajukan pertanyaan sederhana: jika seseorang yakin bahwa hal tertentu adalah yang terbaik untuk dilakukan, mengapa dia melakukan yang sebaliknya? 

Sokrates berpandangan orang hanya akan memilih apa yang dianggapnya terbaik, karena “tak seorang pun akan secara sengaja memilih yang buruk bagi dirinya sendiri.” Jadi, menurut Plato dan Socrates pada dasarnya akrasia itu tidak ada. Akrasia adalah sebuah cacat, jika orang mengambil keputusan yang berbeda dari yang diyakininya sebagai kebaikan. Memilih yang buruk hanya terjadi akibat ketidaktahuan tentang yang baik, itu bukan pilihan sadar. 

Aristoteles mengambil pendekatan yang lebih bernuansa. Menurutnya ada dua jenis akrasia. Pertama yang didorong oleh emosi yang kuat seperti marah atau sedih, yang membuat orang kehilangan akal sehat sehingga mengambil keputusan yang buruk. Kedua, akrasia karena kelemahan pribadi. Berlawanan dengan yang pertama, individu yang lemah sadar betul konsekuensi dari pilihan mereka, tetapi tetap saja melakukan yang tak sejalan dengan yang diyakininya baik. 

Dalam contoh di atas, bagi saya akrasia terjadi karena tidak ada rasa urgen. Urgensi memberi dorongan yang lebih kuat daripada sekadar pengetahuan. Dalam kasus hasil check-up tadi, saya merasa mengikuti apa-apa yang disarankan belum cukup urgen untuk saat ini sehingga saya pikir dapat menunda untuk menjalankannya. 

Kita hidup dalam relasi dengan banyak hal yang saling memberi pengaruh, sementara hasil lab adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengisolasi satu fenomena tunggal. Bisa saja dengan tidak melakukan hal-hal yang disarankan itu justru membuat saya lebih bahagia sehingga berefek pada kesehatan yang membaik. Pikiran kita memang luar biasa piawai memberikan justifikasi untuk apa pun yang kita pilih. 

Namun, kebutuhan akan urgensi ini menunjukkan bahwa kita lebih menyukai sesuatu yang berefek segera. Sesuatu yang segera tampak manfaatnya lebih disukai daripada menunggu hasil dari sebuah kebiasaan yang ditanam untuk waktu lama. Kita suka gratifikasi instan dan imbalan seketika. Kita lebih berfokus pada hari ini yang dekat, daripada nanti yang jauh.

Kecenderungan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengakali akrasia. Ketika ada sesuatu yang harus dilakukan tapi kita malas melakukannya, coba memberikan hadiah yang dirasa urgen untuk diri sendiri. Dengan demikian kita memindahkan urgensi dari keharusan melakukan pekerjaan itu sendiri kepada ganjaran yang akan didapatkan. 

Bagaimana kalau menonton film terbaru di Netflix sambil melipat pakaian, misalnya, atau memanjakan diri di spa setelah selesai menulis sebuah artikel, menonton lanjutan serial drama sebagai ganjaran untuk berolah raga--episode berikutnya hanya boleh ditonton setelah berenang bolak-balik 10 kali atau lari 10 km? 

Dengan cara itu, kita memenuhi kesenangan saat ini, sekaligus menjawab kebutuhan untuk masa depan. Apakah akan cukup memotivasi? Boleh dicoba.  
 



Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya