Postingan

Melihat tentara Irak yang sudah menyerah duduk di tanah dikawal senjata oleh tentara Amerika, saya berulang kali mengingatkan diri bahwa yang saya saksikan ini bukan penggal adegan sebuah film. Seluruh perang ini bukan film. Setelah kamera merekam gambar, mereka tidak bisa bubar, pulang ke rumah masing-masing. Mereka akan tetap duduk di situ, kelaparan, kehausan, dengan kecemasan yang terus bertambah dan ketakutan akan nasib keluarganya. Ledakan-ledakan yang menghancurkan rumah-rumah penduduk itu juga bukan film. Korban-korban sipil yang masuk rumah sakit dan berteriak mengutuk Bush itu akan merasakan penderitaan ini seumur hidup mereka. Saya tidak mampu untuk mengerti sudut pandang pemerintah Amerika. Ketika perang belum pecah saya pernah berusaha membujuk diri untuk melihat dari cara pandang mereka. Barangkali benar Saddam adalah pemimpin zalim yang harus diganti, senjata biologis yang dikembangkannya mungkin benar-benar ada dan mengancam keselamatan dunia. Tapi semua usaha saya u
Saya benci mendengar bunyi ledakan bom. Bunyi itu meledakkan kepiluan. Saya akhirnya menyaksikan perang ini pecah, tidak percaya, tidak berdaya, hanya bisa ikut merasakan luka dan ketakutan yang mencekam warga di sana. Perang ini akhirnya betul-betul terjadi. Ketika mengikuti perkembangannya dari hari ke hari, diam-diam saya berharap ini tidak akan berakhir dengan perang. Suatu saat ada sebuah kekuatan yang dapat menahannya. Ancaman-ancaman yang dilontarkan Bush itu semoga sekadar kata-kata, persiapan militer itu akan segera ditarik dan mereka akan kembali ke akal sehat. Tapi tampaknya akal sehat itu tidak menyentuh mereka. Mereka hanya melihat kebenaran ada di dalam pilihan mereka. Perang akan selalu ada di muka bumi ini. Di masa hidup saya, saya belum pernah berada di tengah sebuah perang. Perang antarsuku cukup sering terjadi di Indonesia, maluku lawan dayak, perang ambon, perang di aceh. Hidup di daerah itu ketika kerusuhan berlangsung tentu tidak jauh bedanya dengan perang
Pohon-pohon bertunas seperti janji. Jalan di depan Gakugei beberapa hari lagi akan semarak dengan sakura. Udara seolah berwarna pink. Pohon besar di samping jalan kereta api dekat rumah ini juga sedang dipenuhi tunas bunga. Bukan pohon sakura. Bunganya putih besar. Cantik. Saya selalu lupa membawa kamera waktu ke koen koganei. Padahal saya ingin memotret pohon plum yang sedang semarak di sana. merah, pink, kuning. Hari ini saya bertemu nenek-nenek tua yang didorong di kursi rodanya menyaksikan pemandangan itu. Mungkinkah mereka berpikir ini kesempatan terakhir mereka menikmati keindahan itu. Mungkin mereka ingat suatu hari di masa kecil ketika mereka berlarian bersama teman-teman di bawah mekar pohon itu di halaman rumah mereka.
Pagi tadi saya memutuskan untuk berjalan-jalan di Nogawa. Masih terlalu pagi. pukul sepuluh. matahari masih tertutup mendung tipis, udara dingin masih tersisa dari hujan semalam. Saya tidak tahu akan melakukan apa di rumah. Ingin berhenti membaca sejenak. Ingin menjauhkan diri dari berita terakhir tentang Irak, ingin jauh dari internet. Kalau berada di rumah, saya pasti akan tergerak untuk membaca atau membuka internet. Bermain dengan Hanifa sebentar, kemudian perhatian saya akan terpecah kembali kedua hal itu. Untungnya saya tidak terlalu tertarik pada televisi. Kadang saya mencoba menulis, tapi saya selalu tertegun lama sebelum menciptakan sesuatu dan itu membuat saya enggan memulainya. Saya bisa membayangkan bentuk latihan yang saya inginkan. Saya ingin berlatih dengan bebas. Saya tidak ingin tampak buruk di mata saya sendiri, tapi mustahil untuk meraih kesempurnaan tanpa melalui proses.

Kobayashi-sensei

Wajah Kobayashi-sensei itu sangat teatrikal. Dia suka memainkan mimik untuk menyampaikan maksud yang lebih dalam dari yang diucapkannya. Entah maksud itu sampai atau tidak, sama dengan yang ada di benaknya atau tidak, dia tidak terlalu peduli. Dia sering melakukan itu, menelengkan kepala, bibir bawahnya mengembang dan mengatup, matanya memejam, dan ketika kembali membuka, arah sorot matanya berbeda dari yang sebelumnya.

Manusia Malam

Di malam hari, jalanan dipenuhi oleh jenis manusia yang berbeda.  Pulang dari makan malam waktu itu di depan Nagasakiya saya bertemu dua orang perempuan dengan dandanan seronok.  Karena masih agak dingin, mereka mengenakan jaket jins hitam, rambut dicat warna coklat emas, rok pendek sebatas panggul. Tidak banyak berbeda dengan dandanan anak sekolahan, memang, tapi mereka ini wanita penghibur profesional. Wajah filipino. Tempat kerja mereka di deretan bar dan restoran di belakang Nagasakiya, tempat-tempat yang selalu tutup ketika saya lewati di siang hari. Tempat kerja mereka baru buka pukul lima sore.  Hari minggu kami hadir di salah satu kuliah dalam sanlat di srit. Rachmat Kurniadi dari Saitama menyampaikan bahan tentang kendala amar makruf nahi mungkar.  Saya takjub betapa di antara mahasiswa yang sedang belajar di sini tetap bisa ditemukan seorang yang mampu melakukan dakwah dengan baik.  Pada pameran buku lalu saya membeli tiga majalah Time , salah satunya edisi Person's of th