Mengapa Benci

Berita pelarangan kegiatan ibadah di lingkungan perumahan selama ini tidak terlalu menjadi perhatian saya. Saya membacanya di koran dengan biasa saja: sebagai pembaca yang berjarak. Mungkin karena saya belum melihatnya langsung di lingkungan saya, tidak menyentuh keseharian saya.

Begitulah sampai tadi pagi, ketika pulang bersepeda, di sebuah gerbang tampak terpasang spanduk besar bertulisan, “Kami warga … tidak mengizinkan gedung … di kelurahan kami digunakan sebagai tempat peribadatan … .” Opps, peristiwa di koran itu sekarang terjadi di lingkungan terdekat saya.

Seketika pertanyaan terbetik di benak, apa salahnya jika gedung itu digunakan untuk beribadat. Mereka pasti minta izin pada pemiliknya, mereka juga barangkali harus membayar, dan tentunya mengikuti aturan tertentu tentang keramaian. Toh, gedung itu juga biasa dipakai untuk acara kawinan atau keramaian lainnya. Apa bedanya? Letaknya di tepi jalan besar, bertetangga dengan kantor-kantor dan toko, jauh dari keramaian rumah penduduk. Apa yang salah?

Jelaslah yang ada kebencian yang mendorong dipasangnya spanduk itu. Dari mana akarnya? Mengapa kebencian ini terus dipelihara? Mengapa mesti benci pada orang yang menjalankan peribadatan agamanya? Apakah itu hasil didikan pelajaran agama di sekolah-sekolah?

Sambil mengayuh sepeda pulang, saya teringat sepenggal adegan dalam Midnight’s Children-nya Salman Rushdie, ketika kakek Saleem Sinai—Dokter Aziz pemilik hidung monyet bekantan itu—mengusir keluar guru agama yang sedang mengajari anak-anak mereka di rumah. Ketika istrinya berang bak halilintar melihat perlakuan suaminya, Aziz berkata, “Kau tahu apa yang diajarkan orang itu pada anak-anakmu?" … “Dia mengajari mereka untuk membenci, istriku. Dia menyuruh mereka untuk membenci orang Hindu dan Buddha dan Jains dan Sikhs dan entah apa yang lain lagi. Apa kau mau punya anak-anak yang penuh kebencian?"

Beranikah kita, seperti Aziz, mendepak keluar guru-guru agama yang mengajarkan kebencian pada umat lain. Mestinya itu dilakukan, biar kebencian ini tidak terus kita warisi turun-temurun, tidak berubah dari generasi ke generasi.

Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"