Kisah Perjalanan Samiam dari Lisboa



Dalam salah satu babak sejarah kerajaan Sunda, kita dapati kisah kunjungan Prabu Surawisesa, putra Raja Sri Baduga, ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque pada 1512. Prabu Sriwasesa diutus ayahnya ke Malaka dalam upaya menjajaki kerjasama dan hubungan dagang dengan Portugis pada masa ketika kerajaan Sunda sedang menghadapi ancaman dari kerajaan Demak dan Cirebon. 

Prabu Surawisesa ini memiliki gelar Sanghyang, tapi karena beda pelafalan, lidah orang Portugis menyebutnya “Samiam”.

Tapi, Samiam yang diceritakan di dalam buku ini bukanlah orang yang sama. Samiam yang kita jumpai di awal cerita bukanlah seorang bangsawan, melainkan seorang penjaga toko rempah di Lisboa. Lahir dan dibesarkan di kota itu, Samiam hidup dalam sebuah keluarga sederhana di tepi Sungai Tagus, bersama kedua orangtuanya yang bekerja sebagai nelayan. 

Samiam merasa dirinya seorang asli Portugal meski penampilannya sedikit berbeda. Nama lengkapnya Samiam Nogueira. Kita mendapat petunjuk pertama bahwa dia bukan anak kandung orangtuanya dari celotehan tak sengaja seorang tetangga yang terlalu usil. 

Kisah perjalanan yang diceritakan dalam buku ini adalah perjalanan Samiam untuk mencari jati dirinya. Lalu, bagaimana hubungan Samiam dari Lisboa dengan Samiam dari Sunda, akan terkuak sedikit demi sedikit seiring pembacaan buku yang mengasyikkan ini.







Gaya bercerita di sepanjang novel ini berbingkai-bingkai. Setiap bab tampil sebagai catatan harian Samiam yang mulai ditulisnya saat dia berusia tiga puluh tahun, pada suatu titik penting yang mengubah arah hidupnya dan seorang pedagang menjadi penjelajah. Berawal dari Peta Orang Jawa yang dibelinya dari seorang nenek tua, yang membuatnya menggali ke masa lalunya, meragukan identitasnya sebagai seorang Portugis asli. 

Setiap bab adalah catatan harian Samiam menceritakan dirinya dalam kilas balik ke masa silam. Maka, kita mengikuti cerita dalam dua alur waktu paralel: kisah pada 1543 ketika Samiam berusia 30 tahun membingkai kisah belasan tahun ke belakang untuk melacak masa kecil Samiam hingga perkembangan peristiwa yang berkelindan dengan berbagai percabangan gerakan Porto de Graal, misi pelayaran untuk membuka jalur laut yang aman bagi Portugal menuju India, dan Ordo Ksatria Kuil.

Keseluruhan buku ini pun terletak dalam bingkai lain, yaitu penemuan tiga buku antik oleh seorang kolektor buku kuno pada tahun 1900. Cerita Samiam ditampilkan sebagai terjemahan atas ketiga jilid buku kuno yang dikoleksi Prof. Barend Hendrik van Laar dari Wagenigen, Belanda.






Senang mendapatkan fiksi historis yang ditulis dengan baik seperti ini. Kita mendapati lukisan suasana Portugal abad ke-16 berbalut pertanyaan tentang identitas diri Samiam yang menggerakkan cerita dengan cepat. 

Zaky Yamani yang menulis buku ini sempat menjalani program residensi penulis di Portugal atas dukungan Komite Buku Nasional. Tampaknya selama residensi itu, Zaky berhasil menggali referensi geografis untuk dapat melukiskan suasana lima abad silam di lorong-lorong kota Lisboa, Valencia, Genoa, Venesia, Konstantinopel serta referensi sejarah yang cukup untuk membuat pertalian antara Samiam dari Sunda dengan jalinan gerakan bawah tanah para pemberontak kemapanan di Eropa. 

Cerita di buku ini belum selesai. Kita masih belum mendapati jawaban bagi pertanyaan Samiam  tentang jati dirinya. Buku ini adalah bagian pertama dari sebuah trilogi. Nasib dan perjalanan Samiam selanjutnya sepertinya masih menyimpan daya tarik untuk diikuti. 

Apakah Samiam dari Lisboa akan bertemu dengan Samiam tanah Sunda. Ataukah perjalanannya membawa Samiam terlalu jauh dari pertemuan dengan leluhurnya? 

Kita menunggu buku kedua dan ketiganya, semoga tidak berjarak terlalu lama, membiarkan rasa penasaran kita tentang Samiam terkubur tak terpuaskan, terlupakan oleh banyak kisah-kisah lain yang berebut waktu dan perhatian kita.






Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pesan dari Capernaum

Pidi Baiq dan Karya-karyanya