Tergegas Diisap Langit

 

Segala yang Diisap Langit (c) Pinto Anugrah
Segala yang Diisap Langit (c) Pinto Anugrah


Konflik yang sengit tercium sejak kalimat pertama membuka buku ini. Kita diisap ke dalam cerita dengan cepat dan penulis bergegas hendak menuntaskannya. 

Latar cerita adalah kehidupan kaum adat Minangkabau di tenggara gunung Marapi. Bisa dibilang versi fiktif dari Istana Basa Pagaruyung di Batu Sangkar pada masa Perang Padri awal abad ke-19. 

Ada seorang Bungo Rabiah, perempuan keturunan ketujuh dalam ranji Rumah Gadang Rangkayo di Nagari Batang Ka. Rabiah terobsesi ingin memiliki anak perempuan untuk melestarikan garis keturunan Rangkayo pewaris Rumah Gadang, sebagaimana ketentuan dalam adat matrilineal Minangkabau. 

Namun, menjelang habis usia kepala tiga, Rabiah baru punya seorang anak lelaki, Karengkang Gadang. Itu pun hasil hubungan inses di bawah pengaruh pekat asap candu dengan kakaknya seibu beda ayah, Magek Takangkang. 



Bungo Rabiah berusaha menutupi salah langkahnya ini dengan buru-buru mengawini Gaek Binga, seorang pekerja kasar yang sama sekali tak sepadan dengan derajat keluarganya. Setelah kelahiran sang anak, Bungo Rabiah dengan enteng menceraikan Gaek Binga, lalu mencari lelaki lain yang punya reputasi mampu memberikan keturunan perempuan, Tuanku Tan Amo, meski sebagai istri kelima. 

Lain halnya dengan Magek Takangkang. Kelahiran Karengkang Gadang dari rahim adiknya sendiri, membuahkan rasa malu dan sesal yang mendorongnya pergi meninggalkan kampung. Magek mencari jalan pertobatan dengan mengebiri diri dan bergabung dengan kaum berbaju putih di utara. 

Dia ingin identitas lamanya hilang diisap langit, putus hubungan dengan masa lalu, mencari kesejukan jiwa dalam dirinya yang baru. Gelar Datuk Raja Malik yang  melekat padanya sebagai seorang Mamak di Rumah Gadang Rangkayo ditanggalkannya, berganti menjadi Kasim Raja Malik. 

Dari Tuanku Tan Amo, Bungo Rabiah mendapatkan anak perempuan yang diberi nama Bungo Laras. Kelahiran Bungo Laras membuncahkan kebahagiaan Rabiah, karena ia telah mampu mematahkan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh yang terus menghantuinya. 

Tapi novel ini tidak berakhir dengan kebahagiaan tersebut. Alur cerita mempertemukan kita dengan lipatan sejarah Minangkabau berupa Perang Padri yang membakar habis Istana Basa Pagaruyung dan melenyapkan jejak garis keluarga Rangkayo.



Gambaran kehidupan masyarakat adat Minangkabau masa itu ditampakkan gamblang. Masyarakat yang akrab dengan judi, sabung ayam, madat dan candu, tuak, inses. Kebiasaan-kebiasaan yang dibiarkan hidup di tengah masyarakat oleh para tetua adat kala itu, yang membuat berang kaum ulama karena menjauh dari pelaksanaan syariat Islam dan akhirnya menyulut perang saudara yang berkobar pada 1803.

Fiksi sejarah dengan latar belakang sejarah masyarakat Minangkabau ini memikat dengan dialog-dialog yang memuat kosakata yang agaknya hanya lazim dalam dialek orang Minang. Kita mendapati gambaran tentang adat istiadat dan gaya hidup masa itu, transportasi pedati dengan kerbau membawa barang dagangan dan Bandar Padang ke Luhak Tanah Datar, kedai-kedai tuak tempat orang bermain  kartu ceki.

Dua bab pertama ditulis memikat dengan tempo lambat, setelah itu penulis seperti bergegas, peristiwa-peristiwa berkelebatan cepat. Dengan konflik yang pekat dan menarik seperti yang ditawarkan novel ini, saya sebagai pembaca rasanya ingin dibawa lebih dekat ke dalam jiwa tokoh-tokoh ceritanya, lebih intim dengan pergolakan pikiran dan hati mereka. 

Novel ini ditulis oleh Pinto Anugrah yang juga memiliki gelar adat Datuk Rajo Pangulu, datuk pucuk persukuan di Minangkabau. Melalui novel ini, penulis menampilkan gambaran pergolakan atas ketentuan adat dan kritik atas perilaku masyarakat yang dibiarkan para leluhur masa lalu. Terbit pada Agustus 2021, belum genap sebulan novel ringkas ini masuk dalam daftar 10 nominee Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa yang diumumkan pada September 2021.

Dalam novel ini, yang habis diisap langit bukan hanya jati diri lama Magek Takangkang. Pada bagian akhir, kita dapati asap membubung ke langit dari Nagari Batang Ka yang dibakar habis oleh kaum berbaju putih. Serangan dipimpin oleh sang Mamak sendiri. Segala jejak hitam masa lalu ingin dihapus habis, Kasim Raja Malik ingin manusia-manusia baru didatangkan untuk mengisi tempat yang sudah dibumihanguskan. Bab terakhir menyimpan kejutan, yang meragukan Nagari Batang Ka mampu memulai zaman baru yang sama sekali terputus dari masa lalu.


Komentar

  1. Ulasan yg menarik... Ada yang kelewat: Jintan Itam akan menjadi menarik seperti yg diurai di bab terakhir :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin bakal ada sekuelnya ya.. kisah si Jintan Itam

      Hapus

Posting Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya