Nengsih: Kisah Lara dari Cimenyan

 

Nengsih di kebun di halaman rumahnya. Cikored, 27 September 2020

Nama saya Nengsih.  Umur 27 tahun. Saya sedang pusing dengan sebuah masalah. 

Anak pertama saya, Desi, sebentar lagi berusia sama seperti saya ketika pertama kali dikawinkan. Ya, kini dia 12 tahun. Dia tampak makin cantik. Sekarang sudah pintar berdandan. Tidak lagi kucel dan kumal seperti waktu masih kecil.

Dulu saya memang tak sempat merawat anak-anak dengan baik.  Pagi-pagi sebelum mereka bangun, saya sudah harus pergi keluar rumah mencari rumput untuk makanan ternak. Kami sekeluarga bekerja merumput domba milik orang lain yang menitipkan dan dari situ kami mendapatkan bagi hasil.

Saya harus mengurus domba, karena kalau tidak, dombanya bisa sakit dan kurus. Hanya itu yang bisa saya lakukan untuk mencari nafkah sejak saya ditinggal suami. 


Nengsih, Desi dan Gunawan. Curug Batutemplek, 23 September 2018


Dulu sebelum tahun 2018, saat bersama suami, penghasilannya juga tidak mencukupi sehingga saya harus merumput dari pagi hingga sore hari. Begitu suami pergi saya semakin kesulitan.

Anak-anak semakin tak terurus.  Pagi-pagi harus pergi bekerja, saya tak sempat siapkan sarapan dan mengurusi mereka sebelum berangkat sekolah. Mereka harus melakukannya sendiri. Mereka sering bermain di ladang dan terkadang ikut bekerja berpanas-panasan. Kulit mereka kasar dan pecah-pecah. Sudut bibir luka dan rambut kemerahan.

Urusan bersih-bersih dan mencuci memang susah karena di kampung kami sulit mendapatkan air bersih. Di dalam rumah tidak ada kamar mandi dan toilet. Dulu untuk keperluan mandi, cuci dan air untuk memasak, kami harus turun lereng ke sungai di lembah.  Untungnya sekarang sudah ada kamar mandi dan saluran air yang dibangun Yayasan Odesa tahun 2018 di dekat rumah kami.

Terkadang saya tak tahu apakah anak saya pergi ke sekolah atau tidak. Untungnya ibu saya tinggal di rumah yang berdekatan. Sesekali saya bisa menitipkan mereka, tapi ibu punya cucu lain yang juga harus diurusnya. Repot juga kalau harus mengurusi pula anak-anak saya yang sering sakit.

Saya sering pulang ke rumah sore hari tanpa tahu apa saja yang dilakukan anak saya hari itu, bagaimana di sekolah, apa pelajaran hari itu. Kalau pun saya tanya, mungkin saya juga tak banyak bisa membantu. Mereka pun sering hanya diam, tak bercerita apa-apa kalau ditanya. Sejak ditinggal bapaknya, anak-anak saya sering murung dan tak banyak bicara.


Desi. Cikored, 27 September 2020

Sekarang Desi sudah kelas lima sekolah dasar. Dulu waktu saya dikawinkan, saya masih belum tamat SD, dan tak pernah bersekolah lagi setelah punya anak. Tapi, saya tak tahu bagaimana saya bisa membiayai  sekolah Desi dan Gunawan untuk tingkat selanjutnya. Uang untuk makan saja belum cukup. Apalagi sekarang saya punya bayi kecil dari suami baru. Tetap saja untuk kebutuhan hidup masih harus bekerja keras.

Ketika pengurus Yayasan Odesa datang dan menanyakan Desi, jujur saya memang takut Desi tidak bisa sekolah lagi. Apalagi dia pernah tidak naik kelas dua kali. Usianya sekarang sudah masuk 12 tahun, tapi kata mahasiswa yang membimbing belajar, Desi belum bisa membaca. Jadi harus terus dibimbing.

Kalau memikirkan Desi, saya jadi takut dia harus menjalani apa yang saya alami, menikah usia muda saat belum bisa apa-apa. Saya tak mau dia bernasib sama kayak saya. Saya ingin dia bisa terus bersekolah, punya cita-cita tinggi, bisa mendapatkan pekerjaan di kota atau menjalankan usaha sendiri. Harapan saya, dengan itu dia bisa membawa saya dan adiknya keluar dari hidup yang serba sulit ini.

Andai dia mendapatkan beasiswa meneruskan sekolah di pesantren yang jauh dari kampung ini, saya akan lebih tenang. Karena semakin dia besar dan cantik di sini, semakin saya takut dia akan terpaksa kawin muda. Tapi apa yang bisa saya lakukan, saya tak tahu harus meminta tolong kepada siapa.


Suami Nengsih membawa karung berisi panen jagung. Cikored, 27 September 2020

Untungnya, belum lama ini kami dikenalkan dengan kegiatan tani pekarangan oleh Yayasan Odesa. Mereka mengajarkan kami untuk bertani di halaman rumah. Tidak banyak tanamannya karena lahannya sempit. Dengan ini saya jadi punya kegiatan lain. Saya tanam bayam merah, pokchoy, bawang, kangkung, kelor dan sayuran lainnya.

Tadinya saya tidak bisa sama sekali menanam dengan cara ini. Mang Ujang Rusmana dari Odesa setiap minggu mendatangi kami dan memberikan modal benih, polybag, paranet dan mengajarkan cara menanam. Juga menjamin pembelian kalau seandainya saya kesulitan menjual hasil panen kebun saya.

Setelah berjalan dua bulan, kebun saya mulai terlihat hasilnya. Saya bisa memasak sayuran tanpa membeli. Karena panennya melebihi yang saya butuhkan, saya bisa menjualnya ke warung atau ke pasar. Jadi saya punya penghasilan tambahan dengan mengurus tanaman di pagi dan sore hari

Setidaknya untuk hari ini, saya bisa tenang. Apa yang akan terjadi besok, saya pikirkan nanti.


Komentar

  1. First time nga ada bibliografi tapi ada kisah hidup. Hidup mereka adalah buku... Really like it, every people is a book we just must open and read it. I hope to read other stories like this. A prayer for Desi...

    BalasHapus
  2. Di desa -desa banyak kisah hidup para warga seperti ini. Dulunya di Malaysia juga banyak. Malah, ada anak-anak yang dikasi orang bagi menjamin masa ddepannya. Sangat menyedihkan. Sekarang kisah begitu semakin kurang di Malaysia, tapi saya percaya masih banyak di desa-desa di Indonesia. Percayalah, hanya pendidikan yang mampu mengubah nasi keluarga seperti ini. Jadi Desi perlu dibantu, supaya dapat terus belajar..
    Thanks for sharing 😊👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, betul sekali, terima kasih 😊

      Hapus

Posting Komentar

Populer

"Memento Vivere"

Pidi Baiq dan Karya-karyanya

Pemberontakan seorang "Freelance Monotheist"