Postingan

Menampilkan postingan dengan label sehari-hari

a perpetual search

This almost-five-year old boy of mine keeps puzzling me lately with his questions, and statements, about god. Who made god? Where does he live? How come I cannot see him? If he created the sun, then he must have a very loooong hand to reach it up there. If god is everywhere, then he must be there in the streets, in a bottle, in the shops. All kind of silly thinking. Whatever answer I gave him is certainly never satisfying. He keeps coming back with another mind-boggling conundrum. I believe every parent experience this. It is an exciting time. It is amazing to see how this one time baby sudenly opens up his minds to such realm. But how temptating it is to say “we are not permitted to say that about god,” asking him him stop his exploration. It is like putting up a no tresspassing sign at the borders of this sensitive area. I’ll resist this easy-temptating-way to deal with this. I think what I will do is to let him say out loud whatever he thinks of god, and tell him that nobody has the

Rentetan tugas

Kuliah sudah berakhir. Lega rasanya, meskipun saya selalu bilang dua semester yang baru berlalu itu lebih terasa seperti "kuliah-kuliahan" saja. Sekarang hanya tersisa beberapa tugas, yang entah kapan akan bisa saya selesaikan. Makalah media literasi, terjemahan bab-bab dari buku Ray Pryterch, dua tugas kelompok dari Bu Ninis, dan yang paling gak niat untuk saya kerjakan: program pendidikan pemakai dari Bu Wina. O ya, satu lagi yang paling penting, proposal penelitian. Entah mana yang mesti saya prioritaskan. Saya sering kali mengeluhkan ketidakmampuan saya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Bekerja paralel selalu pada akhirnya membuat saya menelantarkan pekerjaan yang saya anggap kurang mengasyikkan, lebih sulit, dan bisa ditunda. Pada akhirnya saya bakal menggarap hanya satu pekerjaan hingga tuntas, baru beralih pada pekerjaan lain. Maka kali ini pun saya tidak yakin akan bisa mengerjakan beberapa tugas sekaligus. Saya mungkin bisa memulai dari proposal peneli

Kompetisi?

Kasihan betul anak-anak zaman sekarang. Orangtua mereka getol sekali berkompetisi, bukan atas nama mereka sendiri, tapi mempersaingkan anak-anak mereka dengan anak-anak lain. Barangkali para orangtua itu kurang berhasil dalam bersaing dulunya, jadi ketika mereka mendapati anak-anak mereka begitu manis dan lucu, keyakinan dirinya untuk berkompetisi lantas naik. Dan diikutkannyalah anak itu dalam kompetisi untuk membuat bayi tersenyum, tertawa, berbicara, berjalan, latihan menggunakan toilet, bahkan dalam ujian masuk pra-sekolah. Ada baiknya kita perhatikan kata Penelope Leach, seorang psikolog anak, berikut ini: "Perkembangan anak merupakan sebuah proses, bukan perlombaan … Kita bersikap seolah-olah anak yang bisa berjalan paling awal akan berjalan paling cepat, seolah-olah kata-kata pertama yang dia ucapkan merupakan pertanda bagi kalimat-kalimat bermakna yang akan diucapkannya nanti, dan seakan-akan prospek anak-anak sebagai seseorang yang cerdas, mandiri dan bersosialisasi bisa

Transisi

Kurang dari sepuluh pekan lagi waktu untuk kembali ke indonesia. Suasana berpisah mulai terasa. Barang-barang mulai dikemasi. Lima tahun tinggal di sini, kalau dimisalkan sebuah pohon, akarnya sudah tumbuh cukup kuat. Untuk mencerabut diri dari tempat itu perlu tenaga cukup besar, tapi yang tertinggal hanya terpaksa ditinggal, akar-akar halus yang sudah menyusup terlalu kuat: perasaan yang tertinggal, kenangan yang akan dibawa dan gambaran yang akan terus melekat dalam pikiran. Menyusun satu persatu buku-buku ke dalam kardus tadi pagi, tak terelakkan menyelinap sedikit rasa sedih di hati akan mengakhiri sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Semua yang berawal akan berakhir, memang. Tapi menyongsong sebuah akhir, bagaimana pun tetap terasa menyedihkan. Menyongsong sebuah kebaruan tetap terasa gamang, karena kita tidak tahu apa yang menanti di depan. Berkemas membuat kita bisa melihat betapa hidup sering dilalui dengan menunda-nunda pekerjaan dan menumpuk barang yang tak benar-benar perl

Mizutani-san 水谷 澄子

Ada rasa sepi menyelinap ketika pagi ini saya menengok ke apartemen tetangga di sebelah kanan. Jendela kacanya yang tak lagi bergorden, menampakkan kamar kosong dengan dinding polos. Halaman belakangnya yang dulu penuh tanaman kini hanya tanah coklat. Tak ada lagi ajisai putih yang cantik di pojok kirinya. Tak ada lagi rumpun-rumpun bunga dan beragam tumbuhan yang sering disirami dan disianginya. Semua sudah dibersihkan, dikemas, dan dibagikan ke para peminat karena penghuninya mesti pindah rumah dua hari yang lalu. Kalau sekadar tetangga biasa saya pasti tidak akan merasakan kesan sepi itu. Penghuni apartemen ini sering berganti, selalu datang dan pergi, terutama yang di lantai dua. Meski tinggal dalam satu bangunan, kami nyaris tidak saling mengenal. Hanya nama di kotak pos yang membuat kami bisa menyebut siapa yang tinggal di kamar nomor berapa. Tapi tetangga yang satu ini berbeda. Beliau seorang nenek yang berusia mendekati delapan puluh tahun. Sejak pertama kami tinggal di apartem

i-Rambling

Minggu yang lalu ada berita tentang seorang ayah yang dihukum penjara sebelas tahun karena menendang anaknya yang berusia lima tahun hingga meninggal. Kejadiannya di Chiba tahun 2003. Minggu ini ada berita senada tentang pasangan suami istri Yokohama yang ditahan karena memukul bayi usia tiga bulan mereka sampai mati . Mereka sudah melakukan itu sejak bulan Maret lalu ketika bayinya baru lahir. Mereka bilang, alasannya karena bayi itu tidak mau berhenti menangis. Hati saya menangis. Tidak habis pikir dengan perilaku orangtua seperti ini. Apa yang mereka harapkan akan dilakukan seorang bayi; terus menerus tertawa, tersenyum, diam, dan tidak mau dengar suara tangisnya? Bayi yang tidak menangis?--- contradictio in terminis . Mengapa banyak sekali terjadi kasus penyiksaan anak sampai mati di negeri matahari terbit ini. Angka kelahiran di Jepang untuk tahun ini dilaporkan lebih rendah lagi dibanding tahun sebelumnya, 1,29%. Kalau bayi-bayi yang lahir itu pun pada dibunuhi seperti ini karena

i-Rambling

Peristiwa pembunuhan di Nagasaki tanggal 1 Juni yang lalu itu memang sangat tragis. Bukan hanya karena pelakunya adalah siswa kelas enam sekolah dasar yang berumur sebelas tahun dan korbannya adalah teman sekelasnya yang berusia dua belas tahun, tapi juga karena penyebabnya dipicu oleh chatting antara mereka di internet dan kejadiannya berlangsung di sekolah. Kedua anak perempuan itu berteman akrab, Mereka bersama dua anak lainnya punya semacam weblog yang diisi bersama dan sering berkirim instant message sejak empat bulan lalu. Sekitar pertengahan Mei si pelaku mengingatkan si korban agar berhenti meledek penampilan dan berat badannya ketika chatting. Tapi si korban tetap melakukannya. Empat hari sebelum peristiwa pembunuhan itu, si pelaku sudah berniat untuk melakukan pembunuhan

Gado-gado

Setiap hari kita didera oleh informasi baru yang diwakili oleh satu istilah. Kalau istilah itu menarik perhatian kita, kita akan menggali lagi lebih jauh mengenainya---kalau ada waktu. Saat ini ada tiga istilah yang sedang menarik perhatian saya: mind-mapping, homeschooling dan hypergraphia. Mind-mapping bukan istilah yang baru saya kenal. Saya pertama mendengarnya ketika bekerja di Mizan. Mas Hernowo sering menyebut metode ini sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan tulisan. Metode pemetaan pikiran ini dicetuskan oleh Tony Buzan . Gunanya adalah untuk memvisualisasi percabangan pikiran kita ketika mencoba untuk memahami sebuah subjek. Caranya sederhana saja. Siapkan sebuah kertas kosong, sebaiknya tanpa garis. Letakkan subjek yang jadi pokok persoalan di tengah kertas. Lingkari. Dari lingkaran tengah itu gambarkan cabang-cabang yang memuat semua apa yang kita asosiasikan dengan subjek itu. Cabang-cabang itu nanti bisa bercabang lagi, terus beranak pinak hingga kita sudah mengekspl

Murata-san

Salah satu tetangga saya seorang bapak tua yang tinggal sendirian di kamar apartemennya yang sempit. Saya kira dia kesepian. Jarang ada yang berkunjung kepadanya. Setiap hari kerjaannya adalah menonton televisi. Saya kira dia tidak benar-benar menonton televisi, tapi hanya menyalakannya, nyaris dua puluh empat jam, untuk mengusir sepi. Kalau kita tersentak tengah malam, kita bisa mendengar bisik-bisik suara televisi, atau kadang-kadang cukup keras juga. Siaran berita. Kita bisa tersenyum atau kesal mendengarnya. Tersenyum karena seolah-olah ada perkembangan berita teramat penting yang harus dia dengar tengah malam begini. Kesal, karena berisik mengganggu tidur nyenyak kita. Saya kira hidup di masa tua seperti yang dia jalani itu sangatlah membosankan. Dia sepertinya tidak punya sebuah hobi yang dapat mengisi hari-harinya. Dia tidak memelihara binatang. Dia tidak menanam bunga. Pernah seseorang menghadiahi satu pot bunga kepadanya di awal musim semi. Ketika baru ditanam, rumpun bunga be

Hanifa

Tadi malam Hanifa baru tidur jam dua pagi. Belakangan dia punya tekad kuat untuk menahan kantuknya. Walaupun matanya sudah mulai tertutup, dia tetap mengatakan belum mengantuk dan masih mau main lagi. Sepertinya dia takut untuk membiarkan diri jatuh tertidur. Setiap kali kantuknya datang, dia mengalihkannya ke bentuk lain, minta makan lagi, minta dibacakan buku lagi, mengajak main lagi, atau menangis. Menidurkannya jadi sebuah pekerjaan yang melelahkan, karena kita pun jadi mesti berperang melawan kantuk sendiri. Tadi malam dia baru tertidur setelah badannya benar-benar kehabisan tenaga, tak mampu lagi menahan dirinya untuk tetap terjaga. Tapi paginya kami semua terbangun pada jam yang biasa, termasuk Hanifa. Badan masih terasa lelah. Sore ini Hanifa tertidur. Rasyad juga. Kesempatan buat saya untuk beristirahat. Tapi baru saja saya akan membaringkan badan, Rasyad terbangun. Buyarlah seluruh harapan untuk sedikit bersantai dan menyelesaikan macam-macam pekerjaan yang selalu tak tertuna

Pemilu

Tentang pemilu yang baru berlalu ini. Saya nyaris tidak tahu sama sekali apa yang akan dilakukan sebagai pemilih, tidak pernah baca koran, tidak mengikuti perkembanagn berita seputar itu. Untung Eep mengirimkan tulisan Panduan Pemilihnya ke milis JIL. Saya baru dibikin mengerti oleh tulisan itu tentang sistem proporsional semi-terbuka yang sekarang digunakan di pemilu Indonesia. Saya baru tahu mengapa sebaiknya kita memilih tanda gambar dan nama caleg, bukan cuma tanda gambar partai saja. Selepas memilih di SRIT Tokyo, saya jadi gigih benar mengikuti perkembangan berita seputar pemilu. Malam itu saya mendengar hasil penghitungan suara di tempat saya memilih. Sampai pukul setengah dua belas saya bertahan mendengar siaran radio IPDF lewat MP3. Partai yang saya pilih itu menjadi peraih suara terbanyak di Tokyo. Selama hari-hari berikutnya hampir setiap jam saya mengecek berita di detik.com untuk tahu hasil perhitungan di tanah air maupun di negara-negara lain. Begitu getol, menggelikan ka

Tulip

Gambar
Pagi ini gerimis di Koganei. Karena hujannya tidak begitu besar, saya masih sempatkan untuk berolahraga jalan kaki. Setengah jam jalan kaki cepat lumayan dapat membakar lemak, mengeluarkan keringat meskipun udara terasa agak dingin. Sakura muda sepanjang Nogawa sudah mekar. Tahun lalu pohon-pohon itu belum banyak berbunga karena baru ditanam. Hanya beberapa kuntum ditengah dahan-dahan yang tandus. Tapi pagi ini kelihatan begitu cantik dan rimbun dengan kelopak-kelopak pink mudanya. Angin berembus perlahan, selembar kelopaknya gugur menempel di pagar hijau tua yang basah. Musim semi ini memang selalu mempesona. Sepanjang jalan saya melihat berbagai bunga baru mekar. Semua warna seperti berlomba muncul di awal musim yang mulai menghangat ini. Saya sengaja tidak membawa kamera pagi ini, ingin memperhatikan semuanya tanpa keinginan untuk merekamnya. Barangkali rekaman mata saya akan lebih berkesan daripada rekaman kamera. Tulip-tulip di halaman belakang telah mekar penuh. Tulip kuning, pin

i-Rambling

Begitu banyak yang terjadi dalam satu bulan terakhir ini. Saya mencari-cari waktu untuk mencatatnya di sini, tapi tak kunjung berhasil mendapatkan sedikit waktu jenak itu. Akhirnya kesempatan itu datang hari ini, ketika Rasyad sudah berumur tiga mingguan (berita kelahirannya dan seluruh keriuhan di sekitarnya direkam di blog Hanifa dan Rasyad ). Udara mulai hangat, kemarin sampai 22 derajat, tapi hari ini turun lagi menjadi 10 C. Berdiri di luar, menghirup udara dalam-dalam, tercium aroma harum bunga-bunga. Tunas tulip di halaman belakang sudah tumbuh lebih dari lima centimeter di atas tanah. Tanda-tanda menjelang musim semi ada di mana-mana. Bunga ume sudah bermekaran di Koganei Koen, merah muda, putih, kuning. Siang ini saya bisa duduk di tenang di depan komputer, sambil menggendong Rasyad yang tidur gelisah. Hidup bersama seorang bayi lagi, saya merasa seperti mengulangi sebuah siklus. Menyusui lagi, bangun malam, mengganti popok, menggendong ke sana kemari. Bayi yang baru lahir it

Buku Lama

Gambar
Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta Apa yang akan kita lakukan dengan buku yang sudah dibaca? Pertanyaan itu menggelayuti saya dalam beberapa hari belakangan ketika mulai membereskan dan memilih koleksi buku yang akan saya bawa pulang ke Indonesia. Buku-buku itu seperti meninggalkan jejak sendiri. Setiap bertemu lagi dengan sebuah buku, saya jadi teringat apa yang paling mengesankan saya ketika membacanya, emosi apa yang pernah terbangkitkan dan peristiwa apa yang terjadi dalam masa saya membaca buku itu. Seperti melihat sebuah foto lama, saya diajak kembali masuk ke suasana yang terekam di sana, tapi lebih dari sekadar gambar dalam foto, memori itu membuat saya memetik lagi kalimat-kalimat indah dan kebijakan yang pernah menyentuh saya lewat pembacaannya. Lantas apa yang sebaiknya saya lakukan dengan buku-buku itu? Sebagai sebuah benda bervolume besar, buku secara fisik menimbulkan persoalan sendiri untuk dibawa ke mana-mana. Butuh biaya, tempat dan tenaga. Saya tidak tega untu

i-Rambling

Pada suatu siang yang terik, saya memperhatikan seorang nenek tua berbelanja di sebuah supermarket. Nenek itu sangat bungkuk, jalannya pelan, tanpa tongkat, langkah terseret. Kelihatan sekali betapa susahnya dia membuat satu langkah ke depan, mengerakkan kakinya bergantian untuk menaiki tangga dan menyusuri lorong-lorong tempat belanja, sambil membawa keranjang belanjaan yang berat. Pertanyaan yang langsung terlintas dalam pikiran saya adalah tidak adakah anggota keluarga lain yang bisa membantunya. Mengapa keluarganya membiarkan dia hidup sendirian? Sejak punya anak sendiri, dalam pikiran saya senantiasa muncul pertanyaan tentang keluarga ketika melihat seorang anak muda. Di dalam bis, kereta, di jalan-jalan, melihat aneka perilaku manusia, saya bertanya bagaimana mereka di tengah keluarganya, keluarga bagaimana yang telah menghasilkan seseorang seperti itu, entah perilakunya baik atau serampangan. Melihat seseorang selalu saya kaitkan dengan keluarga tempat dia berasal. Dengan menges

Izu

Hari ini saya sendirian di rumah. Hanifa dan ayahnya ikut perjalanan wisata ke Izu dengan bus bersama kelompok pelajar asing di Todai. Sejak beberapa hari lalu Hanifa sudah dipersiapkan untuk perjalanan ini. Dia tahu dia pergi hanya dengan ayahnya, akan menginap satu malam di sana dan saya tidak akan ikut. Ketika akan berangkat tadi Hanifa berpesan bahwa saya tidak akan sendirian di rumah karena bisa bermain bersama boneka-bonekanya dan ada "Tomi." Melihat fotonya di dinding saya tiba-tiba disergap kangen. Tidak ada suara ributnya, celotehannya mengomentari segala yang saya lakukan, berbicara dengan boneka dan derap kakinya yang berlari ke sana kemari. Hari ini Hanifa berulang tahun ketiga. Tiga tahun menjadi orangtua bagi satu anak ini merupakan pengalaman paling penting dalam hidup saya sejauh ini. Saya makin melesak masuk ke dalam peran itu. Saya ingin menjalankannya dengan sebaik yang saya bisa. Makin hari saya makin ingin tahu tentang perkembangan seorang anak, bagaimana

i-Rambling

saya selalu melewati toko itu kalau mau belanja ke discount. toko sayur di pertigaan jalan, kecil dan tua. ketika melewatinya saya sempat melihat label harga yang dipasang di setiap kelompok sayuran. bawang bombay satu plastik isi enam seratus yen. timun seplastik isi empat delapan puluh yen, wortel juga seratus. terong dan labu juga. harganya lebih murah. tapi saya tidak pernah berhenti di sana. mungkin hanya karena kebiasaan saya selalu berbelanja di tempat yang sama. discount memang toko yang lebih murah dibanding supermarket yang lain. meski untuk berbelanja di situ saya harus berdesak-desakan di tempat parkir sepeda, dan bersempit-sempit di lorong belanja karena toko itu begitu padat barang dan padat pengunjung. pada saat membayar pun harus antri panjang, apalagi di akhir pekan. saya tidak pernah keberatan dengan semua pengalaman belanja yang susah payah ini, karena saya memang membutuhkan harga yang murah dan barang yang baik. tapi kemarin saya mendapat pengalaman belanja yang be

Murata-san

setelah enam bulan lebih tinggal di tempat barunya, murata-san tetangga saya akhirnya merasa butuh untuk berteman dengan orang-orang di sekitarnya. sore ini dia memanggil go-kun yang sedang main bola bersama seorang anak di gang belakang. mau eskrim? katanya. sejenak kemudian dia muncul di halaman belakang dengan setumpuk es krim di tangannya. go dan temannya menerima dengan gembira, masuk ke dalam rumah untuk menyimpannya. nenek go keluar menemui murata-san, mengucapkan terima kasih sekaligus mengkonfirmasi pemberian itu. murata-san sepertinya senang sekali ada yang mengajaknya bicara. seperti tak hendak membiarkannya berakhir, dia bercerita panjang lebar ketika egawa-san sudah ingin menutup pembicaraan.

Sado

Gambar
Sado (Traditional Japanese Tea Ceremony). Photo Credit: oluolu3 Hampir empat tahun berada di Tokyo, belum sekali pun saya mendapat kesempatan mengikuti sebuah upacara minum teh Jepang secara lengkap. Satu-satunya yang mendekati itu adalah ketika menutup jamuan makan siang di rumah Nakamura-sensei, profesor pembimbing suami saya. Tuan rumah menyajikan teh hijau dengan rangkaian ritual singkat yang dicomot dari bagian-bagian upacara Sado. Maka, ketika sebuah organisasi persahabatan internasional di Koganei, distrik tempat kami tinggal di barat Tokyo, mengadakannya untuk orang asing, saya langsung mendaftar ikut serta, tidak ingin melewatkan kesempatan itu.  Mengikuti upacara minum teh ini seperti menyingkapkan satu lagi rahasia sisi dalam Jepang yang selama ini tidak terjangkau bagi saya. Sudah lama saya mendengar bahwa upacara yang satu ini begitu penuh simbol dan ritual, seolah hanya kalangan ningrat atau terpilih saja yang dapat mengikutinya. Barangkali begitulah keadaannya di zaman d

i-Rambling

tak ada kejadian menarik di sekitar saya, begitu yang sering dikeluhkan orang ketika mereka ditanya mengapa sulit menulis diari. semua terlihat biasa, rutin, menjemukan. kejadian yang terus berulang, teramalkan dan tanpa kejutan. tapi ketika kita membaca tulisan orang lain tentang peristiwa sehari-hari mereka alami, tulisan itu terasa istimewa, kejadian yang diceritakannya terasa luar biasa. barangkali karena kita melihatnya dari sudut pandang orang luar. kejadian itu terjadi pada orang lain dan ternyata jika dilihat dari luar yang biasa tadi menjadi luar biasa. kalau demikian bukankah kejadian biasa dalam sudut pandang kita pun bisa jadi luar biasa dalam sudut pandang orang lain. kejadian luar biasa seperti apa yang kita tunggu supaya bisa menulis? kelahiran bayi, wafatnya orangtua atau tokoh besar, musibah dan bencana alam, penemuan ilmiah dan pembunuhan? kejadian-kejadian seperti itu begitu jarang terjadi. kalau itu yang diandalkan sebagai bahan-bahan tulisan yang menarik, hal yang