Postingan

Menampilkan postingan dari 2009

Kamus Khazar: Sebuah Novel Leksikon

Gambar
Bayangkan Milorad Pavic sebagai pelawak berwajah serius. Dia terus saja ngocol dengan wajah bersungguh-sungguh ketika kita pendengarnya sudah tertawa berguling-guling. Dan mimiknya tak berubah sedikit pun ketika semua orang menatapnya dengan sorot mata tak percaya, menunggu sentakan lelucon berikutnya. Begitulah gayanya dalam menulis Kamus Khazar, buku tentang sebuah bangsa nomad yang sejak abad ketujuh hingga kesepuluh mendiami wilayah antara dua laut, Laut Kaspia dan Laut Hitam. Bangsa Khazar masuk ke dalam catatan sejarah ketika bergabung dengan Byzantium pada 627 M untuk memerangi bangsa Arab, lalu lenyap dari panggung sejarah karena peristiwa yang menjadi bahasan utama dalam buku ini: perpindahan mereka dari keyakinan asli ke salah satu dari tiga agama monoteis, Yahudi, Islam dan Kristen. Tapi tak penting benar soal ketepatan sejarah itu, karena novel ini mengandung banyak unsur rekaan dan tidak terlalu berkaitan dengan sejarah bangsa Khazar yang sebenarnya. Kamus ini send

i-Quote

Dalam The Myth of Sisyphus (1942), Camus menunjukkan bahwa peniadaan Tuhan memerlukan perjuangan seumur hidup dan tanpa harapan yang mustahil untuk dirasionalisasi. Dalam kegairahannya pada kehidupan dan kebenciannya pada kematian, Sisifus, raja Korintus kuno, telah menantang para dewa, dan hukumannya adalah keterlibatan kekal dalam tugas yang sia-sia: setiap hari ia harus mendorong sebuah batu menaiki punggung gunung, tetapi ketika mencapai puncaknya, batu itu menggelinding turun, sehingga keesokan harinya ia harus mulai dari awal lagi. Inilah gambaran absurditas kehidupan manusia, yang bahkan kematian tidak menawarkan pembebasan darinya. Dapatkah kita bahagia jika mengetahui bahwa kita sudah kalah sebelum memulai? Jika kita membuat upaya heroik untuk menciptakan makna kita sendiri dalam menghadapi kematian dan absurditas, Camus menyimpulkan, kebahagiaan itu mungkin. (Karen Armstrong, The Case for God ) Keindahan lahiriah bagi manusia biasa adalah pemberian Tuhan, terutama ketika sese

Perahu Kertas (Dee)

Gambar
Novel ini menampilkan kisah cinta dan persahabatan yang ringan dan cukup menghibur, dengan plot apik, terkendali, agak mudah ditebak, dan too good to be true (siapa bilang ini kisah nyata, emang fiksi, kok!). Berpotensi menguras emosi pembaca yang seusia dengan tokoh-tokoh utama ceritanya (mahasiswa usia awal dua puluhan), tapi mungkin tidak mempan untuk orang-orang yang sudah kenyang diayun roller-coaster kehidupan (tentu saja, pernyataan ini boleh dibantah). Dee, saat menulis cerita ini, apparently has the film in mind . Sudut pandang penceritaannya bersifat camera view . Multiple third person point of view, istilah teknisnya. Berpindah-pindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya, bahkan di dalam satu adegan yang sama. Hal itu tidak terlalu mengganggu, karena ceritanya mengalir dengan lancar dan mudah diikuti. Dialog-dialognya segar, sangat menghidupkan suasana. Dee punya kepiawaian menulis dialog yang renyah, dengan bahasa khas pergaulan anak sekarang, meski ada beberapa yang sebaikny

Next (Michael Crichton)

Gambar
Buku ini tak ubahnya selembar kain yang ditenun dengan benang banyak warna. Crichton menjalin ceritanya dengan begitu banyak plot dan subplot, saling berkelindan membentuk pola-pola yang rumit, namun tidak semuanya membuhul dengan kesudahan yang jelas sampai akhir.  Dari belasan alur cerita, hanya sekitar tiga yang bertemu di bagian akhir untuk mengantarkan cerita ke titik penghujungnya. Tapi semuanya berkaitan dengan tema inti buku ini, tentang sains--dan aspek bisnis, hukum, politik--genetika.  Cerita bergulir dengan cepat melalui bab-bab pendek dan selingan potongan berita dari media yang mungkin sebagiannya tidak nyata. Ada sejumlah plot yang berakhir jauh sebelum novel selesai, misalnya sub-plot tentang pencuri kuburan yang menjual tulang manusia di pasar gelap.  Ada pula sejumlah sub-plot yang dibiarkan tanpa penyelesaian, seperti sub-plot tentang anak-anak gadis yang menyuntikkan hormon penyubur tubuh ke mereka sendiri dan menjual sel indung telur mereka untuk mendapatkan uang. 

Breakfast at Tiffany's (Review Buku)

Gambar
Usai membaca novella karya Truman Capote ini, rasanya seperti mendapat kenalan baru seorang wanita muda bernama Holly Golightly. Berusia 19 tahun, tinggal di apartemen berbata cokelat di East Seventies, New York, dia seperti seorang teman yang ceriwis dan tak hentinya berbicara. Bahkan setelah cerita ditutup, dan dia sudah entah berada di mana, Afrika ataukah Brazil, celotehannya serasa belum berakhir. Ya, barangkali itu karena Capote menutup novel tipis yang terbit pertama kali di Amerika pada 1958 ini dengan penyelesaian yang mengambang. Atau karena sekujur tubuh novel singkat ini didominasi percakapan antara Holly dan Fred, tokoh narator yang menjadi mata dan telinga bagi pembaca, sehingga kesan auditorial menjadi sangat kuat ketika membacanya. Bisa jadi gabungan keduanya. Tapi, baiklah, Anda putuskan sendiri apakah akan menyukai seorang seperti Holly atau tidak. Holly seorang wanita muda yang masa kecilnya tidak bahagia, menikah pada usia 14 dan bekerja sebagai gadis panggi

Memberi Endorsment?

Akhir bulan lalu saya mendapat kiriman naskah buku karya terakhir Mas Hernowo. Di dalamnya ada selembar surat yang isinya meminta saya untuk memberi endorsment bagi buku itu. Saya yakin tentu saja Mas Hernowo mengirimkannya ke banyak orang juga, kepada tokoh-tokoh yang namanya bisa mendongkrak daya tarik buku itu. Oleh karena itu saya tidak bisa membayangkan dalam kapasitas apa sehingga saya dirasa cocok untuk memberi 'dukungan' terhadap buku tersebut. Saya lebih cenderung untuk melihatnya sebagai penghargaan Mas Hernowo saja pada saya. Karena itu, saya berjanji tidak akan mengecewakan beliau dengan tidak memberi sepatah dua kalimat yang berisi apresiasi untuk buku tersebut. Saya tidak ingin memberi endorsment yang asal-asalan. Yang sekadar memuji dengan kalimat yang bersifat umum, yang menunjukkan bahwa pemberi endorsment itu tidak benar-benar membaca karya tersebut, atau barangkali tidak ada waktu, namun tetap tidak ingin mengecewakan kepercayaan yang diberikan padanya. Dalam

The Year of Living Dangerously

Gambar
Judul novel ini terinspirasi oleh pidato Presiden Sukarno pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1964. Sukarno menjuduli pidatonya tahun itu "Vivere Pericoloso" (Hidup Penuh Bahaya), terekam pada bab penutup dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid kedua.  Novel ini mengambil latar di Jakarta pada tahun-tahun terakhir kepresidenan Sukarno yang ditandai dengan pecahnya peristiwa Tiga Puluh September. Meskipun ekonomi Indonesia mulai runtuh dalam kurun waktu itu, Presiden Sukarno tetap menghabiskan uang untuk membangun menara-menara, menggerakkan massa melawan imperialis asing, terutama Amerika dan Inggris.  Tokoh-tokoh utama dalam novel ini adalah beberapa jurnalis asing yang ditempatkan di Jakarta, terutama Guy Hamilton, perwakilan radio Australian Broadcasting Service yang baru datang, Billy Kwan juru kamera lepas, juga dari Australia; dan Jill Bryant, yang bekerja untuk kedutaan Inggris.  Nasib mereka bertiga secara tak langsung berkaitan dengan Sukarno. Billy adal

The Rug Merchant

Gambar
Tak terlalu jelas apa yang secara khusus menarikku memilih buku ini ketika pada suatu sore akhir Mei aku masuk ke halaman Mizan yang sedang menggelar apa yang mereka namakan Pesta Buku Rakyat. Mungkin subjudulnya yang berbunyi ‘ketika kesepian begitu mendera cinta adalah satu-satunya penawar’ ( ow, bagaimana cinta berhasil menawar kesepian itu) atau kotak hitam kecil di sampul yang mengumumkan ‘segera difilmkan oleh Fox Searchlight Pictures (produser Slumdog Millionaire)’ ( yup, lebih baik baca novelnya dulu baru nonton filmnya ) atau foto sorot-dekat wajah lelaki Timur Tengah di sampulnya ( ah, Timur Tengah, terutama Iran, kebudayaan yang memikat ).  Mungkin kombinasi ketiga hal itulah yang memunculkan keputusan seketika untuk membelinya, saat aku tidak punya niat untuk membeli buku tertentu pada kesempatan itu.   Novel ringkas ini dibuka dengan suasana kota New York yang ramai sebagai latar kontras bagi hidup Ushman--tokoh utama kita, imigran pedagang permadani dari Iran--yang sepi,

Algoritma Kebugaran

Gambar
Saran-saran tentang diet dan kebugaran terkadang sangat beragam dan bertele-tele, sulit untuk menemukan satu yang mudah untuk diikuti, yang tidak terasa memberatkan untuk dipraktekkan. Memang sebenarnya, apa pun saran yang diberikan, kuncinya terletak pada konsistensi kita sendiri. Tapi mau mengikuti saran yang mana? Akhirnya aku menemukan satu penulis yang bisa menguraikan soal diet dan kebugaran dengan cara yang mudah dimengerti, langsung, tegas: Adam Gilbert di mybodytutor.com. Dia bilang sederhana saja: Kebugaran menyangkut tiga hal saja. Makan yang benar. Olahraga. Dan melakukan keduanya dengan konsisten! Dia tidak bicara soal gizi, kalori, jenis olahraga, dst. Mungkin dia menyerahkan soal itu pada keputusan kita sendiri, tidak diuraikan rinci dalam saran-sarannya. Baiklah, ini dia. Food: 1. Eat every 3-4 hours. By doing this you’ll keep your blood sugar stable which is the key and also turn your body into a fat burning machine. Think of your metabolism like a camp fire. If you do

Abandoned Garden

Gambar
Hari ini taman hatiku lengang, senyap. Lirik dari lagu Michael Franks ini sangat mewakili suasananya. Mengiringi aku bekerja sedari tadi: In your abandoned garden, sunlight still prevails: The jasmine climbs the trellis fragrantly, the jacaranda ultravioletly sways. The blossom, each of them by your hand planted, will, even if I tell them of your sudden disappearance from us, not believe the tale. Though the samba has ended, I know in the sound Of your voice, your piano, your flute, you are found, And the music within you continues to flow Sadly, lost Antonio. You were my inspiration, my hero, my friend; On the highway of time will I meet you again? If the heart ever heals, does the scar always show For the lost Antonio? For the lost Antonio? In your abandoned garden, beauty is unchanged: The hummingbird still hovers for the scent the frangipane so seductively displays. Camellias, each of them by your hand planted, The sadness of your sudden disappearance still unknown to them, Await t

Indeksomania

Ini istilah yang baru kujumpai dalam naskah yang sedang aku kerjakan. Mungkin ini bukan istilah yang benar-benar ada, hanya rekaan pengarangnya. Dia mengajukan ini sebagai sebutan untuk orang yang terobsesi untuk mengumpulkan dokumentasi tentang segala hal semua subjek yang ada di dunia. Billy Kwan salah satu tokoh dalam buku The Year of Living Dangerously, seorang manusia cebol yang bekerja sebagai jurukamera lepas untuk wartawan ABS, menyimpan di lemari arsipnya banyak file dalam map manila yang dijuduli berbagai subjek. Dia menyimpan file tentang semua temannya, semua tokoh politik Indonesia tahun 1965-an. Apakah ada satu kata untuk obsesi mendokumentasi? Indeksomania, mungkin? Itulah obsesi utama Billy—seolah-olah dia ingin mendokumentasikan dunia. ...dari etnologi hingga kota-kota, dari psikologi abnormal hingga Zen. (h. 100)

Liburan

Berita utama di koran PR hari minggu kemarin berjudul: "Objek Wisata Padat dan Macet." Sudah pasti, masa liburan begini. Tapi bikin sedikit jeri, ada kesempatan untuk berkunjung, jalan-jalan, tapi di mana-mana macet, berdesak-desakan, membuat kalimat 'there's no place like home' menjadi sangat terasa manisnya. Lalu, mau ngapain selama masa liburan. Masa nggak ke mana-mana. Oh, siapa yang mendikte kita harus selalu mengaitkan liburan dengan jalan-jalan. Hanya pada waktu liburan? Ayolah, dengan situasi dan fasilitas transportasi dan pariwisata kita yang begini, saya lebih suka untuk bepergian dan jalan-jalan bukan pada masa liburan massal: ambil jeda di tengah semester, pergilah berkunjung ke berbagai objek wisata dengan lebih nyaman (meski minus atraksi yang khusus dimunculkan pada masa liburan). Dan masa liburan sekolah bisa dipandang sebagai kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak sempat dilakukan ketika anak-anak sibuk bersekolah: menonton film-film yang t

Merah

Malam ini aku mengenakan pakaian berwarna merah. Ini bukan suatu yang luar biasa jika merah adalah warna kesukaanku. Tapi tidak, merah sesungguhnya adalah warna yang paling kubenci, sejak dulu. Tak pernah sekali pun aku mengenakan warna merah pada bagian mana pun dari tubuhku, bahkan untuk lipstik aku selalu memilih rona warna ungu. Sepatu kesukaanku selalu berwarna putih, dan tas tangan tak pernah berpindah dari warna kuning. Merah adalah musuhku. Ketika berusia sepuluh tahun, aku melihat warna merah darah di leher abangku. Seorang preman menusukkan pisau ke bagian tubuhnya yang paling genting itu setelah mereka adu mulut tentang seekor anjing yang lewat di depan warung tuak. Mereka sedang mabuk. Tak ada yang melerai mereka berkelahi, hari sudah larut malam. Tak ada orang lain yang tahu kecuali aku yang sedang duduk di teras rumahku yang tak terlalu jauh dari situ. Tirai depan warung tuak itu pun berwarna merah. Mereka tak pernah mengganti warna itu sekalipun musim mengecat menjelang

Motivasi

Gambar
Motivasi adalah sebuah pertanyaan besar ketika kita ingin menumbuhkan sebuah kebiasaan. Tanpa motivasi apa yang kita lakukan dengan bersemangat pada awalnya lama-kelamaan terasa seperti tidak bertujuan. Pelan-pelan berbagai alasan akan muncul untuk menunda-nunda, mengelak, menghindar, dan akhirnya meninggalkan kebiasaan itu sama sekali. Pertanyaan tentang itu kadang muncul dalam diriku saat akan berlatih menulis. Menulis adalah pekerjaan yang paling gampang ditangguhkan. Karena memulainya terasa berat dan sulit, meski ketika sudah dimulai semua kesulitan lenyap dan kadang malah susah untuk berhenti. Dalam menulis, aku sudah menyingkirkan semua motivasi yang terkait dengan publikasi dan komersialisasi. Pada tingkatan yang paling mendasar, menulis bagiku adalah penyaluran energi kreatif, suatu kebutuhan yang kadang muncul dengan sendirinya. Kebutuhan untuk mengungkapkan diri, untuk mencipta. Kemudian, aku juga suka menulis karena sangat menikmati membaca tulisan yang baik, yang berhasil

Hening Pagi

Gambar
Ditemani secangkir teh hangat dan sepotong roti, aku memulai rutinitas pagi. Memeriksa apa yang harus dilanjutkan dari pekerjaan kemarin dan meluangkan waktu untuk sedikit menulis. Aku suka memulai hari dengan cara ini. Pagi yang hening segar, pikiran masih bugar, dan hari masih seperti lembaran baru yang belum lagi ternoda berbagai kesalahan dan kekecewaan. Hanya setengah jam pertama. Setelah itu, kesunyian yang megah ini akan pecah oleh berbagai suara, dan kesibukan sehari-hari akan menyergap. Waktu hening berakhir. Apakah setiap orang butuh waktu untuk menyendiri? Begitu kamu bertanya. Aku menjawab ya, dan saat hening itu secara nyata bisa kudatangi setiap pagi. Kamu bilang, waktu menjadi wadah yang tak perlu. Betul, waktu untuk menyendiri bisa diciptakan kapan saja. Meski begitu, aku ingin masuk ke dalamnya lebih dari momen keheningan yang dihadirkan dalam pikiran di tengah keriuhan. Ya, aku tahu, tak selalu hening pagi ini bisa kumasuki. Aku memberi toleransi pada diri sendiri un

Komentar atau tidak?

Pengalaman yang lalu-lalu menunjukkan kepada saya bahwa dibukanya peluang memberi komentar pada blog secara terbuka mengundang berbagai jenis orang jahil yang mampir di blog untuk mengisi komentar dengan iklan-iklan yang tak pantas, pernyataan cabul dan ajakan yang tidak senonoh. Itu membuat saya jera membuka blog bagi publik. Tapi itu tiga tahun lalu, ketika blogger.com barangkali masih pada tahap belajar juga sehingga mereka tidak memberikan opsi pembatasan pada pemberi komentar. Saat ini saya lihat pada bagian pengaturan ada pilihan yang memungkinkan pembatasan jenis pengunjung blog yang bisa memberi komentar. Saya memutuskan untuk menampilkan kembali kolom komentar di sini.

Di Sebuah Persimpangan

Gambar
Aku harus keluar pagi-pagi. Tidak seperti biasa. Ada janji pertemuan yang tak bisa diubah. Buru-buru menyalakan mesin lalu melesat pergi. Aku tahu lalu lintas akan seperti neraka pagi ini, tapi aku hampir terlambat. Memasuki jalan utama, benar saja: macet! Aku berbelok dan mengambil jalan kecil. Jalan itu membawaku masuk ke perkampungan dan melewati ladang-ladang subur. Jagung mulai matang dengan untaian rambut keemasan, beberapa pekerja sedang memanen.  Sambil menyetir, aku menyantap sarapan--tak sempat melakukannya tadi di rumah. Kebiasaan buruk.  Jalanan berlubang-lubang, tapi aku menikmatinya hingga akhirnya kembali masuk ke jalan utama. Lampu lalu lintas di depan menyala hijau, kuning, lantas merah.  Menunggu di belakang lintasan penyeberangan, aku memperhatikan sekelompok orang di pojok perempatan.  Para pekerja penggali tanah. Duduk di samping peralatan kerja mereka. Linggis, cangkul, pangkur.  Ada sekitar sepuluhan lelaki setengah baya. Wajah cokelat kehitaman terbakar m

catatan minggu pagi

aku duduk di bawah hangat mentari pukul delapan. dua anak tekun mengumpulkan daun-daun kuning berguguran, biji-bijian, dan sulur-sulur pohon di taman. teman sebidukku membenamkan wajah di koran minggu pagi. federer safin maldini berserak di halaman yang sedang dibukanya. pertandingan semalam ditonton ulang dalam lukisan kata-kata. pikiranku juga disesaki nama-nama. tanpa sadar jemariku bergerak menghadirkan mereka di layar kecil berpendar. seperti teramat penting. sederet nama serta beberapa patah kata yang mereka tulis setelahnya. hening membeku sejenak. beberapa ekor burung merasa aman untuk hinggap di rerumputan sekitarku. bayangan pohon bergerak sekian mili. tak ada yang terlalu penting. seperti lazimnya di minggu pagi. aku menoleh kembali ke sekitar. pemandangan sedikit berubah. dua anak itu tak lagi di tempat yang tadi. burung-burung berhamburan menjauh. beberapa pencetan tombol tadi telah memutusku dengan kasar dari kehadiran di sini. ada yang salah tampaknya. kawan-kawan di

Journal of Solitude

Gambar
Sebuah buku lama yang kembali muncul ke permukaan, Journal of a Solitude karya May Sarton (1973). Berbeda dengan Operating Instructions , buku ini aku dapatkan dalam kondisi yang sudah agak ‘renta’, punggungnya mulai terkelupas dan halamannya agak menguning dan mudah terlepas-lepas. Tergeletak di bawah tumpukan bargain books di arena pameran buku Tokyo tahun 2001.  Kenapa aku tertarik buku ini pada waktu itu, padahal aku tidak kenal pengarangnya? Aku kira karena subjudulnya, " the intimate diary of a year in the life of a creative woman ."  Dan untuk alasan apa buku ini teringat lagi sekarang setelah ia lama bergelut dengan debu di rak pojok sana?  Karena gardening , ada beberapa bagian dalam buku ini yang dulu, bertahun-tahun lalu, mendorongku untuk mencoba menanam dan memelihara beberapa tanaman bunga di halaman, yang belakangan ini  ingin aku coba mulai lagi.  Journal of a Solitude adalah sebuah buku yang sangat personal. Berisikan catatan kehidupan selama satu tahun seora

Operating Instructions

Gambar
Judul buku yang aneh, kalau tak lihat subjudulnya, orang tentu akan menduga buku ini berisi panduan menggunakan sebuah peralatan. Komputer, mungkin. Atau mesin keruk. Atau food-processor barangkali.  Tapi bukan, jelas bukan, karena subjudul itu berbunyi, ‘ a journal of my son’s first year .’ Penulisnya novelis Anne Lamott.  Buku ini disebut sebagai diari yang paling kocak, paling jujur dan sangat menyentuh dari seorang ibu yang baru melahirkan anak pertama.  Kadang-kadang kita jadi teringat satu buku yang sudah lama kita baca hanya gara-gara hal sepele. Aku teringat buku ini gara-gara plester. Ya, plester penutup luka itu. Ada satu bagian kecil, sambil lalu, dalam buku ini yang bercerita tentang plester.  Dulu, bertahun-tahun lalu, bagian itu telah mengajariku untuk selalu menyediakan cadangan plester dalam jumlah banyak di rumah. Plester bekerja seperti magis pada anak kecil. Sedikit luka, meringis sakit secara berlebihan, ditempeli plester, tangisan lenyap seketika seakan-akan luka

The Passion of Christ

Gambar
Setelah membaca tatal ke-24 dalam buku Gunawan Mohamad, Tuhan dan hal-hal yang tak selesai , aku jadi ingin melihat film The Passion of Christ . Disutradarai Mel Gibson, dirilis pada 2004, film ini sempat bikin gegar, tapi waktu itu aku tidak punya dorongan untuk menontonnya--kamu tahu sekadar kebaruan tidak selalu jadi alasan yang cukup kuat bagiku untuk memilih melakukan sesuatu.  Berikut ini catatan kesanku setelah menyaksikan film lawas itu.  Aku pikir, dalam film ini Mel Gibson tidak berurusan dengan kebenaran, dia hanya berkepentingan dengan penggambaran. Maka membandingkan filmnya dengan versi yang ada di dalam buku-buku tentang peristiwa penyaliban Yesus jadi sama sekali tidak menarik, kalau bukan tidak pada tempatnya.  Mempersoalkan kebenarannya sama sekali tidak relevan. Demi penggambaran yang kuat, Mel Gibson harus memilih detail dari sekian banyak versi yang beredar, dan sepertinya apa yang dia pilih memang yang paling dekat dengan versi Alkitab: penangkapan oleh Sanhedrin

zen poems

Gambar
Jeda siang sejenak, saya teringat beberapa puisi zen. Kalimat-kalimat pendek, gampang diingat. Terasa indah karena sederhana, tapi tetap menyimpan sedikit godaan untuk merenungkan makna. Keajaiban zen. Jernih. Meditatif. Beberapa pilihan ini, favorit saya: (1) Sitting quietly, doing nothing, Spring comes, and the grass grows by itself. (2) The blue mountains are of themselves blue mountains; The white clouds are of themselves white clouds. (3) Doing nothing is the most tiresome job in the world because you cannot quit and rest. (4) Fearing my past is exposed to the moon, I keep looking down this evening. (5) Before enlightenment; chop wood, carry water. After enlightenment; chop wood, carry water. Seperti air yang menetes ke dalam kolam tenang, menimbulkan riak kemudian menghilang. Itulah zen. Nikmat betul meresapinya di siang terik ini, dengan latar gemerisik tonggeret dari rimbun pohon di luar sana.

Three Cups of Tea

Gambar
Kau tahu kawan, setiap buku adalah pengembaraan jiwa. Dan jika saat-saat ini kau ingin kisah yang menggetarkan senar-senar kemanusiaanmu, bacalah buku ini, Three Cups of Tea. Hangatkan jiwamu dengan alunan kata-katanya, hirup dalam-dalam wangi pesonanya. Lalu katakan padaku benarkah kau tidak merasa tersentuh oleh perjuangan lelaki berhati lembut itu untuk menerangi hidup anak-anak perempuan di pelosok terjauh pakistan dan afghanistan dengan cahaya pendidikan, keberaniannya menghadang bahaya, menembus medan terjal, berhadapan dengan desingan peluru, mempertaruhkan hidup yang memang rapuh ini demi sesuatu yang begitu jauh dari kepentingan pribadinya. Atau oleh kecerdasan hati orang-orang tua yang hidup di alam keras pegunungan pakistan, yang tak mengenyam pendidikan sekolah, namun siap mengorbankan hartanya yang paling berharga demi masa depan pendidikan anak-anak desanya. Ah, mungkin kau hanya perlu membacanya dengan lebih perlahan. Menghikmatinya satu demi satu. Dan oh ya, ini cerita

The Last Lecture

Gambar
"Sebagian buku pantas untuk dikenang, sebagaimana sebagian lainnya pantas untuk dilupakan." Ketika membaca The Last Lecture, beberapa kali saya terpaksa meletakkan buku untuk mengusap mata. Terutama pada bab-bab terakhir. Saat Randy menangis di kamar mandi memikirkan apa yang tidak akan dialami anak-anak bersamanya. Saat Jai naik panggung untuk merangkul Randy dan berbisik, "Tolong, jangan pergi." Saya biarkan diri tertegun beberapa saat merasakan sesuatu yang hangat di sudut mata, meski tengah berada di keramaian ruang tunggu dokter sepagi tadi. Saya suka pengalaman membaca yang seperti itu. Yang bisa mengaduk segala macam perasaan, membuat tertawa dan menangis, mengirim kita ke tempat-tempat terjauh di bumi dan di hati. Yang menamatkannya memberi jejak pengalaman seolah nyata. Saya sendirilah yang sepertinya memiliki pasangan dengan kanker berfase metastasis itu. Atau sayalah yang sepertinya tercekam sepi mengingat jatah hidup yang diberitakan tinggal tiga

Sekadar Catatan Minggu Pagi

Pagi tadi kami pergi ke sebuah taman tak jauh dari rumah. Taman itu sejatinya bagian dari halaman luas sebuah rumah sakit milik angkatan darat. Setengahnya digunakan untuk lapangan parkir, selebihnya lapangan rumput terbuka yang sering digunakan anak-anak untuk bermain bola sepulang sekolah. Pada hari minggu lapangan parkirnya nyaris kosong. Betapa cuaca cerah di akhir pekan adalah sumber kegembiraan. Pagi ini taman itu penuh dengan keluarga dan kelompok-kelompok orang yang bersukacita, piknik, bermain bola, badminton, bersepeda, dan berbelanja. Kami duduk di pinggir lapangan. Beberapa orang lanjut usia duduk di bawah pohon, melayangkan matanya ke sana kemari menyaksikan keramaian, mengobrol dan berdiskusi di tengah riuh rendahnya orang bergembira. Sementara anak-anak berlarian tak mau diam, berebutan bola, memukul teman dan membuatnya menangis. Mereka mungkin heran melihat orang dewasa yang hanya melakukan hal yang begitu membosankan di tengah udara yang begitu bagus. Duduk dan mengob

Mari Melambat

Gambar
    “Apakah kaupunya kesabaran untuk menunggu hingga lumpurmu mengendap dan air menjadi        jernih? Bisakah kau diam hingga tindakan yang benar muncul dengan sendirinya”—Lao Tzu  Saat berjalan kaki pagi ini, tiba-tiba saya teringat, betapa sudah lama saya tidak berjalan kaki hanya untuk menikmatinya. Berjalan kaki yang bukan untuk mengantarkan ke sebuah tujuan. Tak ada yang perlu dikejar. Tak perlu melihat jam. Kesempatan seperti ini semakin langka saja. Entah karena tak ada waktu atau karena kebiasaan.  Dengan berlambat-lambat seperti ini, banyak hal jadi terasa lebih dekat, lebih menarik. Udara sejuk menerpa wajah, gemericik air, selokan butek, kicau burung, sampah yang menumpuk di pinggir jalan. Apa-apa yang terabaikan ketika dilewati dalam kecepatan tinggi jadi tersentuh dan membekas di segenap indera.  Dalam buku War of the Worlds , Mark Sluoka memberi ilustrasi tentang ketidaknyataan yang meningkat seiring dengan bertambahnya kecepatan: “Saat berjalan kaki dengan kecepatan 1

Mengapa Benci

Berita pelarangan kegiatan ibadah di lingkungan perumahan selama ini tidak terlalu menjadi perhatian saya. Saya membacanya di koran dengan biasa saja: sebagai pembaca yang berjarak. Mungkin karena saya belum melihatnya langsung di lingkungan saya, tidak menyentuh keseharian saya. Begitulah sampai tadi pagi, ketika pulang bersepeda, di sebuah gerbang tampak terpasang spanduk besar bertulisan, “Kami warga … tidak mengizinkan gedung … di kelurahan kami digunakan sebagai tempat peribadatan … .” Opps, peristiwa di koran itu sekarang terjadi di lingkungan terdekat saya. Seketika pertanyaan terbetik di benak, apa salahnya jika gedung itu digunakan untuk beribadat. Mereka pasti minta izin pada pemiliknya, mereka juga barangkali harus membayar, dan tentunya mengikuti aturan tertentu tentang keramaian. Toh, gedung itu juga biasa dipakai untuk acara kawinan atau keramaian lainnya. Apa bedanya? Letaknya di tepi jalan besar, bertetangga dengan kantor-kantor dan toko, jauh dari keramaian rumah pendu