Postingan

Menampilkan postingan dari 2003

i-Rambling

Pada suatu siang yang terik, saya memperhatikan seorang nenek tua berbelanja di sebuah supermarket. Nenek itu sangat bungkuk, jalannya pelan, tanpa tongkat, langkah terseret. Kelihatan sekali betapa susahnya dia membuat satu langkah ke depan, mengerakkan kakinya bergantian untuk menaiki tangga dan menyusuri lorong-lorong tempat belanja, sambil membawa keranjang belanjaan yang berat. Pertanyaan yang langsung terlintas dalam pikiran saya adalah tidak adakah anggota keluarga lain yang bisa membantunya. Mengapa keluarganya membiarkan dia hidup sendirian? Sejak punya anak sendiri, dalam pikiran saya senantiasa muncul pertanyaan tentang keluarga ketika melihat seorang anak muda. Di dalam bis, kereta, di jalan-jalan, melihat aneka perilaku manusia, saya bertanya bagaimana mereka di tengah keluarganya, keluarga bagaimana yang telah menghasilkan seseorang seperti itu, entah perilakunya baik atau serampangan. Melihat seseorang selalu saya kaitkan dengan keluarga tempat dia berasal. Dengan menges

What makes you change?

We are generally the better persuaded by the reasons we discover ourselves than by those given to us by others. -- Blaise Pascal

i-Quote

Ujian satu-satunya bagi keabsahan sebuah ide religius, pernyataan doktrinal, pengalaman spiritual atau praktik peribadatan adalah bahwa ia harus langsung menggiring ke arah tindakan belas kasih. Jika permahaman Anda tentang yang ilahi membuat Anda lebih ramah, lebih empatik, dan mendorong Anda untuk menunjukkan simpati dalam tindakan nyata, itulah teologi yang baik. Tapi jika pemahaman Anda tentang Tuhan membuat Anda tidak ramah, pemarah, kejam atau merasa benar sendiri atau jika itu menggiring Anda untuk membunuh atas nama Tuhan, itu adalah teologi yang buruk. -- Spiral Staircase (Karen Armstrong)

Izu

Hari ini saya sendirian di rumah. Hanifa dan ayahnya ikut perjalanan wisata ke Izu dengan bus bersama kelompok pelajar asing di Todai. Sejak beberapa hari lalu Hanifa sudah dipersiapkan untuk perjalanan ini. Dia tahu dia pergi hanya dengan ayahnya, akan menginap satu malam di sana dan saya tidak akan ikut. Ketika akan berangkat tadi Hanifa berpesan bahwa saya tidak akan sendirian di rumah karena bisa bermain bersama boneka-bonekanya dan ada "Tomi." Melihat fotonya di dinding saya tiba-tiba disergap kangen. Tidak ada suara ributnya, celotehannya mengomentari segala yang saya lakukan, berbicara dengan boneka dan derap kakinya yang berlari ke sana kemari. Hari ini Hanifa berulang tahun ketiga. Tiga tahun menjadi orangtua bagi satu anak ini merupakan pengalaman paling penting dalam hidup saya sejauh ini. Saya makin melesak masuk ke dalam peran itu. Saya ingin menjalankannya dengan sebaik yang saya bisa. Makin hari saya makin ingin tahu tentang perkembangan seorang anak, bagaimana

Ide

Seorang teman menulis tentang ide. Dia memperlakukan ide seperti barang yang bisa ditimang-timang, kemudian dilempar keluar jendela. Tulisannya berjudul, "Wahai Ide, Keluarlah Kau dari Gua!" Saya teringat apa yang ditulis Jeff dalam The Writer's Idea Book. Ide tidak bisa dipanggil datang. Dia akan muncul tanpa ditunggu. Hanya dengan banyak menulis orang dapat merasakan ide muncul dalam dirinya. Coba menunggu, dan kau akan menunggu lama sekali. Sampai bosan. Kadang ide datang pada saat yang tidak diduga. Tadi malam, di tengah tidur yang tak nyenyak, saya mendapat dua ide tulisan. Saya membolak-baliknya dalam pikiran. Mencoba seluruh sudut pandang. Makin saya pikirkan makin membanjir alirannya. Saya takut tidak bisa mengingatnya ketikab bangun besok pagi. Saya harus segera mencatatnya. Kalau saya membiarkannya hanya larut dalam benak, besok pagi ketika bangun, saya hanya ingat pernah mempunyai ide tak tak kunjung bisa menyebutkan apa isinya. Saya akan menyesal. Tapi ide itu

i-Rambling

saya selalu melewati toko itu kalau mau belanja ke discount. toko sayur di pertigaan jalan, kecil dan tua. ketika melewatinya saya sempat melihat label harga yang dipasang di setiap kelompok sayuran. bawang bombay satu plastik isi enam seratus yen. timun seplastik isi empat delapan puluh yen, wortel juga seratus. terong dan labu juga. harganya lebih murah. tapi saya tidak pernah berhenti di sana. mungkin hanya karena kebiasaan saya selalu berbelanja di tempat yang sama. discount memang toko yang lebih murah dibanding supermarket yang lain. meski untuk berbelanja di situ saya harus berdesak-desakan di tempat parkir sepeda, dan bersempit-sempit di lorong belanja karena toko itu begitu padat barang dan padat pengunjung. pada saat membayar pun harus antri panjang, apalagi di akhir pekan. saya tidak pernah keberatan dengan semua pengalaman belanja yang susah payah ini, karena saya memang membutuhkan harga yang murah dan barang yang baik. tapi kemarin saya mendapat pengalaman belanja yang be

Murata-san

setelah enam bulan lebih tinggal di tempat barunya, murata-san tetangga saya akhirnya merasa butuh untuk berteman dengan orang-orang di sekitarnya. sore ini dia memanggil go-kun yang sedang main bola bersama seorang anak di gang belakang. mau eskrim? katanya. sejenak kemudian dia muncul di halaman belakang dengan setumpuk es krim di tangannya. go dan temannya menerima dengan gembira, masuk ke dalam rumah untuk menyimpannya. nenek go keluar menemui murata-san, mengucapkan terima kasih sekaligus mengkonfirmasi pemberian itu. murata-san sepertinya senang sekali ada yang mengajaknya bicara. seperti tak hendak membiarkannya berakhir, dia bercerita panjang lebar ketika egawa-san sudah ingin menutup pembicaraan.

Sado

Gambar
Sado (Traditional Japanese Tea Ceremony). Photo Credit: oluolu3 Hampir empat tahun berada di Tokyo, belum sekali pun saya mendapat kesempatan mengikuti sebuah upacara minum teh Jepang secara lengkap. Satu-satunya yang mendekati itu adalah ketika menutup jamuan makan siang di rumah Nakamura-sensei, profesor pembimbing suami saya. Tuan rumah menyajikan teh hijau dengan rangkaian ritual singkat yang dicomot dari bagian-bagian upacara Sado. Maka, ketika sebuah organisasi persahabatan internasional di Koganei, distrik tempat kami tinggal di barat Tokyo, mengadakannya untuk orang asing, saya langsung mendaftar ikut serta, tidak ingin melewatkan kesempatan itu.  Mengikuti upacara minum teh ini seperti menyingkapkan satu lagi rahasia sisi dalam Jepang yang selama ini tidak terjangkau bagi saya. Sudah lama saya mendengar bahwa upacara yang satu ini begitu penuh simbol dan ritual, seolah hanya kalangan ningrat atau terpilih saja yang dapat mengikutinya. Barangkali begitulah keadaannya di zaman d

i-Rambling

tak ada kejadian menarik di sekitar saya, begitu yang sering dikeluhkan orang ketika mereka ditanya mengapa sulit menulis diari. semua terlihat biasa, rutin, menjemukan. kejadian yang terus berulang, teramalkan dan tanpa kejutan. tapi ketika kita membaca tulisan orang lain tentang peristiwa sehari-hari mereka alami, tulisan itu terasa istimewa, kejadian yang diceritakannya terasa luar biasa. barangkali karena kita melihatnya dari sudut pandang orang luar. kejadian itu terjadi pada orang lain dan ternyata jika dilihat dari luar yang biasa tadi menjadi luar biasa. kalau demikian bukankah kejadian biasa dalam sudut pandang kita pun bisa jadi luar biasa dalam sudut pandang orang lain. kejadian luar biasa seperti apa yang kita tunggu supaya bisa menulis? kelahiran bayi, wafatnya orangtua atau tokoh besar, musibah dan bencana alam, penemuan ilmiah dan pembunuhan? kejadian-kejadian seperti itu begitu jarang terjadi. kalau itu yang diandalkan sebagai bahan-bahan tulisan yang menarik, hal yang

Ajisai

ajisai mulai berbunga. pertanda musim hujan tiba. kuncup rimbun hijaunya mengembang, mulai dari bagian terluar. tunas-tunas hijau menjelma kelopak biru, pink, putih dan kelabu. bagian tengahnya masih hijau. lama-kelamaan seluruh kuncup mekar, membentuk kumpulan bunga yang rimbun. ajisai yang saya tanam di halaman belakang setahun lalu punya empat rumpun bunga. baru satu yang mulai kembang. yang ada di halaman mizutani-san berbunga puluhan rumpun dengan ukuran yang lebih besar. banyak di antaranya telah mekar. warnanya biru tipis, nyaris putih. tanamannya tinggi dan lebat, barangkali telah berusia sepuluh tahunan.

midori senta no matsuri

festival tahunan balai desa. barangkali itulah istilah yang paling mendekati bagi kegiatan di midori centre kemarin. semua organisasi masyarakat yang menggunakan tempat ini sebagai tempat beraktivitas menampilkan hasil kegiatan mereka dalam festival tiga hari ini. acara hari sabtu dibuka dengan pertunjukan taiko di halaman depan. saya selalu terpukau dengan pertunjukan musik sederhana ini. dua tabuh besar masing-masing dipukul oleh dua orang mengharmonikan gerak dan pukulan, menghasilkan bunyi yang hampir seperti magis karena iramanya yang berulang dan bergelombang. bukan hanya tangan dan kaki mereka yang mengikuti gerak pukulan itu, kepala mereka pun bergoyang untuk membantu harmonisasi. seorang anak kecil menirukan gerak mereka di baris depan kerumunan penonton. saya tiba di sana sesaat sebelum pukul sepuluh. sepeda tidak bisa diparkir di tempat biasa karena halaman depan dipakai untuk pertunjukan taiko dan penjualan hasil pertanian. masuk ke dalam, orang-orang ramai berdesakan sejak

i-Rambling

pagi ini untuk sesaat sangat hening. tak ada bunyi kereta, lonceng pintu rel atau motor pengantar koran. gagak pun diam. suara dengkuran dari kamar sebelah juga sudah tidak sampai lagi ke telinga saya. seolah-olah tak ada makhluk lain di bumi ini yang terjaga kecuali saya. bayangkan kalau saya terdampar ke sebuah tempat yang benar-benar tak dihuni siapa pun. apakah saya akan merasa ada gunanya untuk terus bertahan hidup? barangkali saya akan berteman dengan binatang-binatang, tapi kalau bahkan binatang pun tidak ada, barangkali saya akan menikmati saja pemandangan yang ada. tumbuh-tumbuhan dan matahari, bulan dan bintang. tapi suasana hati saya akan sangat ditentukan oleh apa yang ada dalam ingatan saya. jika saya punya kenangan tentang hidup dalam lingkungan bermasyarakat, saya akan sangat merindukan untuk kembali berada di sana. saya akan punya daya dorong untuk mencari jalan kembali bertemu manusia. kalau saya tidak punya ingatan itu saya hanya akan didorong oleh kebutuhan fisik mak
hari ini latihan terakhir untuk acara midori senta matsuri. tidak ada belajar nihongo. para guru masih rapat ketika murid mulai berdatangan pukul setengah sebelas. kursi disusun berbeda, bukan membentuk kelompok-kelompok, tapi berjejer menghadap ke papan tulis, membelakangi pintu masuk. di depan dua meja disambung memanjang. latihan pertama adalah aisatsu. memperkenalkan tiga ucapan, konniciwa, arigatou, dan sayonara dalam berbagai bahasa. rupanya belum ada kesepakatan tentang tata pelaksanaannya. masih perlu diskusi dan uji coba beberapa kali untuk menghitung waktunya. betapa beragamnya bahasa dunia. betapa bikin kita ingin tahu dan bisa mengucapkannya. saya bersebelahan dengan orang rusia dan cina. rusia punya kata yang begitu panjang untuk ucapan selamat siangnya. berkali-kali mendengarnya saya tetap saja tidak bisa mengingatnya. bunyi ucapan bahasa turki dan tibet juga terasa aneh. orang-orang tertawa setiap kali gule-gule--sayonara versi turki-- diucapkan. mestinya orang erith
kalau saya melihat ke belakang, pada apa-apa yang saya kerjakan dan sikap kerja saya, saya akan mendapatkan dengan mudah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya bukanlah seorang yang konsisten. saya tidak cukup tekun mengejar sebuah tujuan. misalnya, saya pernah membaca habis buku kumpulan kolom quindlen. pada saat itu saya berniat akan belajar menulis kolom dengan mempelajari gayanya menulis. saya pernah mencatat tema-tema yang ingin saya tulis, saya menyebut saat itu sebagai saat yang penuh ide. tapi waktu berlalu dan ketertarikan saya berubah. tak satu pun yang ada didaftar itu berujud lebih jauh dari satu dua frasa. bukti lain yang adalah tumpukan print-out halaman web yang memenuhi rak buku saya. aesop fables, kumpulan kasus-kasus dilematis dari ethics institute, majalah time, fotokopian the palace thief dan artikel dari the guardian. semangat besar yang diredam oleh keterbatasan--waktu, kemauan, kemampuan. saya tidak konsisten mewujudkan keinginan. tidak tekun belajar. per
sebelum tidur kemarin malam, saya mencatat apa yang saya pikir perlu saya kerjakan pagi ini. saya merasa itu sebuah langkah yang membuat saya bersemangat bangun pagi. saya tidak lagi membuat alasan di saat jeda antara kantuk dan jaga untuk meneruskan sedikit lagi tidur saya. saya tidak menyediakan diri untuk keraguan itu karena sebelum tidur saya sudah menetapkan apa yang akan saya kerjakan. saya akan mencoba cara ini setiap malam. akan saya sediakan kertas dan pena di samping tempat tidur, dan saya catat apa yang saya harus kerjakan besok pagi agar semangat saya tetap terjaga.
ribut-ribut ruu sisdiknas di indonesia. pada awalnya saya tidak mengerti apa yang jadi persoalan. selama ini pendidikan agama di sekolah sudah menjalankan seperti yang disebutkan dalam ruu, sekolah menyediakan guru sesuai keyakinan agama masing-masing. saya tidak tahu apa yang salah di situ sampai saya membaca pengalaman seseorang di milis madia. dia seorang pastur. dia sudah menetapkan cita-cita itu sejak kecil. umur tujuh tahun dia masuk sekolah dasar negeri di tebet yang, karena hanya punya sedikit murid kristen, tidak bisa menyediakan guru kristen untuknya. dia lantas ikut kelas agama islam, ikut menghapal rukun islam, rukun iman, belajar mengaji dan menghapal juz amma. hingga umur tiga belas tahun dia belajar islam, tapi itu tidak mengubah cita-citanya. kini dia jadi tahu tentang islam dan tahu apa yang membuat orang islam marah apa yang menyakiti hati orang islam. bekal penting buat dia sebagai pastur. tamat sma dia masuk sekolah teologia. yang saya peroleh dari cerita pen
teman-teman saya mengajak untuk pergi ke sebuah tempat yang jauh dengan berjalan kaki sambil belajar. dengan bus saja jarak itu ditempuh memakan waktu dua puluh empat jam. saya menolak untuk ikut, terlalu berat dan tidak praktis. di mana akan menginap, bagaimana membawa barang yang berat sambil berjalan dan duduk belajar. lebih baik naik kendaraan untuk cepat tiba di tujuan kemudian belajar dengan tenang di sana. saya menduga perjalanan seperti itu bakal butuh tiga empat hari jika ditempuh dengan berjalan kaki. usul saya, meski masuk akal, dianggap membatalkan rencana yang bagus. itulah mimpi tadi malam. ditambah episode lain tentang seorang tetangga yang mirip pak emil salim, datang menangkap merpati dan menjelaskan bahwa otak merpati itu menyebar hingga ke sayap kiri dan kanannya. itulah sebabnya mereka bisa terbang. jika otak mereka hanya di kepala, mereka hanya bisa bergerak ke atas dan ke bawah seperti langkah kaki manusia. penyebaran itu terjadi secara evolusi. kamu juga bisa beg
bukan cuma sekali saya mengalami ini, lupa ide yang kemarin terlintas. waktu itu saya merasa betapa terlalu jelas dan logisnya apa yang terlintas itu sehingga sampai kapan pun rasanya saya akan tetap ingat. saya tidak bisa segera mencatatnya ketika itu karena saya sedang melakukan pekerjaan lain. saya berniat akan mencatatnya nanti, atau bahkan sengaja menyisakannya untuk dituliskan pada jam menulis. tapi rupanya yang saya ingat hanyalah bahwa saya sempat punya ide tapi tidak ingat apa isi ide itu. saya belum jera juga mempercayai ingatan yang sudah berkali-kali mengecewakan saya. saya mesti mencatatnya seketika, betapa pun remeh. makanya anne tyler, margaret chittenden, anne lamott menyediakan kertas indeks dan pulpen di mana pun dalam rumah mereka dan membawanya ke mana pun mereka pergi. begitu terlintas, mereka cukup naif untuk menganggapnya penting dan mencatatnya saat itu juga. ternyata saya masih belum mengambil pelajaran ini setelah tersandung puluhan kali.
sedang baca buku apa saya saat ini? masih tersisa dua novel dari perpustakaan yang belum sempat saya selesaikan. keduanya dari anne tyler, patchwork planet dan back when we are grown up. kalau saya menyukai seorang pengarang, saya berusaha membaca sebanyak-banyaknya karya dari dia. ian mcewan dan anne tyler, lois lowry dan katherine paterson. empat pengarang ini yang paling banyak saya baca belakangan ini. saya ingin mengenal gaya tulisnya, juga ingin memetik sedikit gaya mereka, meniru seorang master adalah salah satu cara belajar yang sah. tapi karena keterbatasan waktu pinjam, buku-buku mereka harus saya kembalikan segera setelah selesai dibaca. saya belum sempat melakukan pembacaan ulang, belum sempat mengutip dan mencatat penggalan-penggalan yang menarik. akhirnya saya hanya meminjam buku yang lain lagi dan melupakan niat untuk mencermati gaya mereka kecuali dari novel yang saya miliki sendiri. tampaknya pada akhirnya saya perlu memiliki sendiri buku-buku dari pengarang yang saya
jika saya punya kesibukan yang saya rasa akan mengantar saya pada apa yang saya tuju, saya tiba-tiba merasa waktu menjadi panjang, kesempatan masih akan datang dan segala kekhawatiran tentang waktu yang cepat berlari menjadi pupus. jika waktu tidak diisi dengan kegiatan yang sesuai dengan cita-cita kita, waktu akan terasa kurang, cepat berlalu dan sempit. segala harus diburu-buru. seperti ingin segera membuktikan sesuatu pada dunia, padahal untuk itu dibutuhkan proses memasak yang lama dan lambat.
salah satu yang ingin saya hindari dalam hidup ini adalah mengumpulkan barang-barang yang ternyata tidak saya butuhkan. saya tidak ingin rumah saya menjadi tempat penyimpanan barang-barang yang tak benar-benar bermanfaat, yang tidak pernah digunakan sekali pun, yang ada hanya karena keinginan sesaat untuk memiliki ketika melihatnya. itulah sebabnya saya selalu menahan diri ketika berjalan-jalan di fleamarket. seringkali pulang tanpa membeli apa-apa, hanya melihat-lihat, sambil berpikir setiap kali melihat sebuah barang, untuk keperluan apa barang tersebut jika saya memilikinya. akhirnya semua barang yang dijajakan di sana, meski murah dan bagus, tidak pernah berpindah ke tangan saya. datang ke fleamarket tanpa rencana tidak pernah menjadi sesuatu yang betul-betul menarik. barang yang paling sering saya beli di sana adalah buku dan pakaian. buku selalu terpakai, terutama buku cerita anak-anak untuk hanifa. saya jarang menemukan buku untuk saya di fleamarket koganei koen karena hampir ti
mengurangi sampah dimulai dari pemilahan sampah, begitu tertulis di truk sampah koganei yang warna hijau muda. para istri ini tampaknya disuruh berhenti berpikir. ketika ditanya mengapa dia tidak naik sepeda, jawabannya tidak dibolehkan suaminya. itu seperti sudah menjelaskan semua duduk persoalan. seperti sesuatu yang tak perlu digugat lagi. lawan bicara pun terdiam sambil bertanya dalam hati, menurut dia sendiri apa salahnya jika dia naik sepeda. apakah tidak ada sebuah alasan objektif yang bisa ditemukannya sehingga larangan itu bisa tampil sebagai sesuatu yang masuk akal, bukan sekadar bukti kemahakuasaan suami atas kehidupan dan pilihannya sehari-hari.
berada di awal bulan yang baru. saya kembali disadarkan tentang laju waktu yang tak bisa berhenti. saya kembali merasa didesak oleh diri sendiri untuk segera mewujudkan cita-cita saya. tapi pagi ini saya memulainya dengan keraguan. saya belum juga bisa melihat dengan jelas arah yang mesti saya tempuh. seperti apa keadaan diri saya sebenarnya, dengan kemandegan yang terlalu besar. saya betul-betul sulit untuk berubah, sulit untuk melepaskan diri. sulit mengambil keputusan dan mengambil tindakan. mau apa saya sebenarnya? musim sudah berganti. hari-hari yang hangat menanti di depan. lemari pakaian saya bongkar, pakaian-pakaian musim dingin disimpan di bagian belakang. barisan depan kini diisi oleh pakaian musim panas yang lebih tipis dan ringan. karpet dijemur, pemanas ruang disingkirkan, pelembab ruang dibongkar dan dibersihkan, lapisan kerak dari uap air yang menempel di bagian dalamnya yang sudah tebal dikerik, garing seperti biskuit.
semangat itu, seperti keimanan, bisa naik turun. kemarin saya memiliki keyakinan seorang prajurit untuk terus maju. untuk tidak mudah menyerah berhadapan dengan keterbatasan, bahkan rasa mustahil. saya tahu, saya akan kehilangan bara semangat itu jika saya tidak segera menyambutnya dengan tindakan, layaknya saya membiarkan nyala kecil ditiup angin. saya mesti menjaganya biar tetap menyala, membesar dan membuahkan hasil. pagi ini saya bangun agak terlambat. sedikit rasa pesimis menyelinap, apakah saya akan benar-benar mampu membuat perbedaan satu tahun dari sekarang. perubahan itu dibuat dari hari ke hari. tapi saya rasanya menghadapi hari-hari yang sama selalu. kapan saya bisa berbeda?
siang ini saya bersepeda keluar semata-mata demi alasan menyegarkan pikiran. saya merasa sumpek siang ini karena runtutan peristiwa virtual di milis asah dan kegundahan saya sendiri yang masih belum melihat cahaya terang di ujung terowongan ini. saya melewati jalan nokodaidori. saya tidak merencanakan rute, hanya membiarkan kaki mengayuh dan mengantar saya ke sebarang tempat. semacam freewriting, ini adalah freeride. ternyata saya melalui tempat-tempat yang paling biasa saya lewati dalam keadaan tidak direncanakan itu.waktuu tiba dekat kuriyama koen, saya mengarahkan secara sadar. saya harus menghindari koen itu supaya hanifa tidak menuntut untuk mampir ke sana. saya lewat rumah-rumah dan gang kecil di belakang inageya. daerah yang belum pernah saya datangi. di sana ada kebun bonsai. satu halaman luas yang dipenuhi meja berisi pohon-pohon kerdil yang berusia tua. saya tidak berani terlalu jauh, saya kembali berbalik lewat jalan yang lain dan akhirnya mampir ke nagasakiya. ternyata free
hari ini pembukaan pameran buku tokyo. hujan. saya akan datang, berangkat dari rumah pukul sepuluh. seingat saya hari pertama pameran itu selalu hujan, sejak saya pertama menghadirinya tahun duaribu. stephen wolfram, seorang jenius. umur lima belas dia sudah menulis makalah ilmiah di sebuah jurnal. umur dua puluh dia sudah menyelesaikan phd. dia kini berumur empat puluhan, pelopor studi ttg automata, merancang software mathematica. dia berkeyakinan seluruh alam semesta pada akhirnya dapat diformulasikan dalam sebauh persamaan matematika. kalau dia berhasil menemukan itu dia tentu akan setara dengan einstein dalam ingatan umat manusia. mas budi pesan mencarikan buku panduan mathematica yang ditulis wolfram di pameran buku. tapi saya tidak berhasil menemukannya. saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di pojok bargain buku asing itu dalam kunjungan tadi pagi. hampir tiga jam saya berada di ruang pameran. saya kira hany lima belas menit saya melewatkannya di luar pojok itu, wakt
sebuah hari baru, lagi. ketika hari masih pagi saya begitu penuh pengharapan. saya mengira hari ini akan ada kesempatan bagi saya untuk melakukan sesuatu yang besar. sesuatu yang akan mengubah hidup saya, sebuah belokan dari jalur yang telah saya tempuh selama ini. saya membayangkan di hadapan saya terbentang kesempatan itu, menunggu saya mendatanginya dan melakukan keajaiban. masuk tengah hari pengharapan itu belum tampak wujudnya. saya seperti menunggu untuk menggerakkan diri ke sana tapi begitu banyak kesibukan dan urusan lain yang menyita perhatian dan tenaga saya. pelan-pelan saya merasakan pudarnya harapan besar pagi tadi. ketika matahari beranjak turun dari puncak langit, saya kembali ke keadaan yang sama seperti hari sebelumnya. hari ini ternyata bukan kesempatan bagi perubahan besar itu. saya mesti menunggu esok lagi. malam ingin cepat dikejar agar saya segera tiba di pagi yang penuh harapan. bumi terus berputar. hari ini berulang, seragam. membentuk tahun, menambah um

Bahasa dan Kekerasan

Anak salah seorang teman saya sangat senang memukul. Orang bilang anak itu seperti gatal tangannya kalau tidak diayunkan untuk memukul anak lain. Saya lihat di antara anak-anak teman saya, hanya dia yang berperilaku seperti itu.  Anak itu berusia dua tahun, belum bisa bicara dan masih ngedot botol susu. Saya menduga, dia suka memukul karena kurang diajak bicara. Selain juga, barangkali, karena mendapat contoh dari orangtua.  Pemicunya, seperti biasa di antara anak-anak, adalah rebutan mainan. Jika tidak diberi, tangannya dengan cepat memukul kawannya dengan bertubi-tubi. Kawan yang dipukulinya sudah menangis hebat ketika ibu si anak itu datang melerai.  Apa yang dilakukan si ibu setelah itu? Dia menjewer telinga anaknya dan menyuruh dia minta maaf. Anak itu akan datang kepada kawannya yang sudah berurai airmata dan lelehan ingus itu, mendekatkan muka ke wajah yang meringis itu sambil bilang gomen ne , bahkan kadang mencium pipi kawannya yang menangis.  Orang-orang dewasa di sekitarnya
waktu selalu terasa semakin habis dan tidak cukup kalau kita tidak mengerjakan sesuatu yang semestinya kita kerjakan. saya kira cara pandang tentang waktu ini ada hubungannya juga dengan sikap pesimis dan optimis. bagi seorang pesimis, gelas terlihat setengah kosong, si optimis melihatnya setengah berisi. pandangan gelas setengah kosong itu terlihat di mana-mana. rusak sedikit dianggap rusak besar dan sebuah barang lantas dibuang karenanya. bunga yang sedikit layu dianggap tidak indah sama sekali lantas dicabut dan dibuang, padahal dengan sedikit perawatan dan kesabran bunga itu bisa tumbuh sehat dan cantik kembali. saya sering mendapatkan diri saya berada dalam sisi pengamat gelas setengah kosong. saya anggap setengah jam terlambat dari biasanya sebagai sebuah kegagalan dan memutuskan untuk tidak memulai sama sekali. sebuah kotak bento yang retak tutupnya sebagai benda yang tak lagi bisa dipakai. saya sering memandang sesuatu yang kurang sempurna, sesuatu yang tidak utuh sebagai ti

Silent Night dan Bumi yang tak pernah lupa

Gambar
Saya menyelesaikan Silent Night dari Mary Higgins Clark dalam empat jam. Genre suspense . cerita manhunt dengan seting waktu sekitar malam natal. Saya teringat Sandra Brown. Mirip-mirip begitulah struktur ceritanya. Dengan POV jamak dan akhir adegan yang dibiarkan menggantung, pembaca dibuat khawatir tentang nasib orang baik yang ada di tangan si orang jahat.  Bbunga narcissus pertama mekar di halaman belakang. Agak terlambat dibanding yang ada di halaman  ibu Mizutani di sebelah. Tanah tempat saya menanamnya bertemu lantai semen sepuluh senti di bawah permukaannya. Hujan lebat dan angin kencang seharian kemarin sudah merontokkan banyak kuntum bunga narcissus ibu Mizutani, yang ada di halaman saya baru mekar. Tak ada pesaing untuk memudarkan pesonanya.  Well, what am I doing now. Thats my question. I keep doing things I told myself to stop doing. Thats kind of stupidity, isnt it.  Bumi tidak pernah melupakan apa yang kita berikan. musim panas tahun lalu, saya membuang biji melon di hal

April 2003

Saya menyesal sudah menghilangkan tanpa sengaja, jurnal minggu ketiga Februari. Keusilan mengutak-atik folder, memindah-mindah lokasi file di pda Zaurus, telah mengantarkan ke musibah itu. Padahal itu kegiatan yang sama sekali tidak perlu.  Baiklah, lupakan apa yang telah hilang. Toh, bagi saya catatan ini adalah saluran untuk keinginan menulis yang muncul dari saat ke saat. Tidak dimaksud sebagai sebuah monumen untuk disaksikan dan dikenang, meski membaca lagi catatan itu selalu memunculkan rasa senang. Ketika membaca ulang jurnal lama saya merasa melihat diri saya dalam tingkat yang lebih tinggi, sebuah diri yang lebih matang dibanding yang bisa saya akui dalam kesadaran sehari-hari. Itulah barangkali yang mendorong orang untuk menulis, untuk melihat nilai lebih yang ada di dalam dirinya. Karena ketika menulis dia bersandar pada pikiran yang lebih tertata, urutan logika yang bisa diuji dan keindahan gagasan yang bisa dibagi bersama orang lain. Perlahan-lahan saya meraih gambaran yang
hari ini untuk pertama kalinya saya bisa keluar tanpa jaket. langit cerah, suhu berkisar delapan belas, tapi merasakan hangatnya saya kira mencapai dua puluh. sakura mekar di mana-mana. meskipun hujan turun seharian dua hari yang lalu, banyak pohon yang masih rimbun. saya hampir khawatir kalau-kalau sudah lewat kesempatan untuk memotret sakura tahun ini. ini gara-gara ketika melewati sen-gawa di depan koganei koen, saya melihat pohon-pohon tandus tak berbunga. apakah bunganya sudah gugur atau memang ini jenis pohon yang tidak berbunga sehingga yang terlihat hanya tunas-tunas daun muda yang masih kecoklatan. masuk ke dalam koen, saya menyaksikan lagi keajaiban itu. sakura melambai-lambai ditiup angin di dahan-dahan yang menjulur menyapa orang-orang ramai yang piknik di bawahnya. rupanya belum lewat kesempatan itu. meski ini hari senin, dan hari pertama masuk sekolah, orang-orang ramai ber-hanami. antrean panjang di tempat jual makanan dan petugas sampah sibuk membereskan sisa koganei ma

Ruang ideal untuk menulis

saya tidak menuntut sebuah ruang yang sangat rumit. sesungguhnya menulis bagi saya adalah sebuah kegiatan yang tidak terlalu bergantung pada tempat. orang bisa menulis di mana saja. meskipun tentu saja kalau bisa melakukannya di satu tempat khusus secara teratur akan berpengaruh baik pada kegiatan tersebut.  sebutlah syarat-syarat minimal tempat tersebut menurut saya adalah cahaya yang cukup, ketersediaan tempat untuk menyimpan buku, barangkali cukup satu rak kecil, kemudian meja yang cukup luas untuk menempatkan komputer sekaligus untuk menulis dengan tangan.  saya senang jika mengetik di komputer dan menulis di kertas dapat dilakukan di satu meja.  saya barangkali perlu menuliskan gambaran yang detail untuk ruang spesifik dalam bayangan saya, bukan gambaran umum yang masih membuka banyak kemungkinan. ruangan itu berukuran tiga kali tiga meter, dengan jendela besar yang membuka ke arah taman kecil yang ditata indah. wangi bungan-bunga yang sedang mekar masuk ke dalam ruangan itu ket
Anne Quindlen seorang liberal. Dia mendukung aborsi, mendukung hak gay dan lesbian, penyebaran kondom di sekolah-sekolah. Sisi lainnya, dia kritis pada rasisme, tidak setuju perang Teluk dan tidak sepihak dengan Republikan. Dia seorang ibu tiga anak yang suka berjalan-jalan bersama dan mengajak anaknya bicara tentang apa-apa yang tidak mereka mengerti. Tapi saya bertanya, dengan semua sikap liberalnya itu apa arti tindakannya mematikan televisi ketika anaknya datang saat dia sedang menonton siaran dengar pendapat senat untuk kasus pelecehan seksual Anita Hill. Apa artinya bagi saya saat ini ketika seorang memberi tahu bahwa perang Irak yang meletus ini sudah direncanakan sejak lima tahun lalu. Saya hanya semakin apatis saja pada peluang damai di bumi ini. Saat ini barangkali mereka sedang bikin rencana sebuah perang lain untuk lima tahun mendatang. Kawan-kawan di asah sedang ribut dengan soal lesbianisme dalam novelnya Oka Rusmini, Tarian Bumi . Ary, Jazim dan Sugeng menyatakan k
Saya seperti menunggu momentum. Saya tidak yakin apakah saya akan kembali meraih semangat untuk mencoba menulis lagi. Saya membaca entri yang saya buat bulan Agustus tahun lalu. Di situ saya bicara dengan nada yang persis sama dengan bulan lalu tentang kebuntuan saya. Pada saat itu saya membuat ultimatum bahwa itu mestilah yang terakhir karena jalan keluar saya dapatkan bukan dengan bicara tentang kebuntuan tapi dengan latihan. Saya ternyata tidak bisa mendisiplinkan diri, saya jatuh di kubangan yang sama enam bulan kemudian. Ketika seorang pejabat militer Amerika di Qatar dalam wawancara dgn NHK menyebut bahwa pemerintahan Irak memanfaatkan rakyat sipil sebagai tameng, dalam hati saya berkata mereka melakukan itu untuk membela diri sendiri tanpa instruksi dari atas. Bom bunuh diri memang tampak seperti usaha seorang yang sudah putus asa, tapi bagi pihak yang terjepit dan dizalimi itu adalah sebuah tindakan heroik. Saya pikir penjelasan Amerika itu dibuat untuk mempengaruhi kelompok
Untung saya bukan seorang wartawan atau pekerja di surat kabar atau pembaca berita di televisi. Kalau tidak, saya tentu akan kelimpungan mencari cara untuk menghindarkan diri dari terpaan kepiluan karena harus mengikuti perkembangan perang Irak setiap hari. Kini saya tidak lagi ingin tahu tentang perang ini, saya tidak kuat menyaksikan bom yang terus dijatuhkan di rumah-rumah rakyat Irak, pasukan-pasukan yang terus bergerak ke ibukota sambil menghancurkan apa saja yang mereka lewati. Mereka masuk ke dalam kota yang sudah terlebih dahulu mereka serang lewat udara. Kota itu hancur, sepi, ditinggalkan warganya yang kini hidup di pengungsian, kelaparan, kehausan dan ketakutan. Menyaksikan rumah sakit yang dipenuhi korban anak-anak dan rakyat sipil yang terluka di tempat-tempat yang tidak biasa. Saya tidak lagi berpikiran dapat menyaksikan harapan dan tanda-tanda di dalam berita. Ternyata perang ini tidak bisa dihentikan oleh siapa pun. Saya terkejut ketika mengetahui bahwa rapat PBB itu bi
Jika begitu terbangun dari tidur engkau merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu, bersegeralah. Menangguhkannya hanya akan melemahkan semangat dan memadamkan nyala daya cipta. Tapi tidak jarang keadaan murni antara bangun dan tidur itu terbukti sebuah aspirasi yang amat jauh untuk dijangkau. Butuh sebuah kerja keras untuk meraihnya. Ada waktu dan tenaga yang mesti ditanamkan, atau sebutlah itu dikorbankan, karena jalannya tidak selalu mudah dan mulus. Kenapa saya selalu bernada negatif ketika berdiri di hadapan sebuah keniscayaan kerja keras? Apakah ini pertanda ketidaksiapan saya untuk menunaikannya? Barangkali saya mesti memaksa diri untuk melihat ini dengan lebih ringan. Bukan sebuah kerja, hanya sebuah jalan. Tak bisa mengelakkannya kalau ingin melangkah dari sini. Ada seorang peserta milis madia yang setiap hari mengirimkan berbagai artikel tentang perang Irak dari sebuah situs alternatif. Di antara penulisnya adalah Robert Fisk yang tulisannya sering saya temukan di koran IHT
Begitu terbangun pagi ini pikiran tentang perang sinting ini langsung membanjir dalam benak saya. Saya teringat rekaman kamera seorang ibu tua dengan mata putih berteriak geram, Bush makhluk paling hina di muka bumi, kira-kira begitulah bunyinya. Dia berdiri di depan reruntuhan bangunan yang barangkali adalah puing tempat tinggalnya. Orang-orang berkerumun di sekitar bangunan itu, si ibu membelakanginya menghadap kamera seperti ingin benar-benar yakin pesannya sampai ke si pencabut nyawa itu. Footage yang lain memperlihatkan seorang ibu menyekop tanah dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik. Barangkali dia ingin menyimpan kenangan tentang tempat tinggalnya yang telah hancur menjadi debu. Di tengah itu semua rakyat Irak meneriakkan yel-yel, jiwa dan darah kami untuk Saddam Hussein. Hati mereka takkan pernah terbujuk kata-kata manis Bush bahwa perang ini untuk membebaskan mereka dan menuju dunia yang lebih damai. Perang memang selalu memilukan. Sulit dimengerti alasannya.

Membaca Operating Instructions

Gambar
Membaca Operating Instruction membuat saya ingin menulis jurnal untuk Hanifa dengan cara yang humoris dan penuh perhatian seperti Anne Lamott di buku itu. Pengalaman Anne dengan anaknya mengabadi dengan buku itu, seperti kembali berlangsung di saat ini.  Timbul sebersit sesal saya telah melewatkan kesempatan itu, tidak mencatat perkembangan yang begitu cepat dalam tahun pertama Hanifa. Saya sempat membuat catatan yang berserakan tentang kebisaan terbaru yang diraihnya dari waktu ke waktu. Kapan dia pertama kali makan makanan tambahan, kapan pertama kali duduk, berdiri, berjalan. Tapi catatan itu terasa sambil lalu dan tidak sungguh-sungguh.  Catatan dibuat bukan karena ada peristiwa yang menarik, tapi tindakan mencatat itulah yang menciptakan peristiwa menarik. Menulis jurnal harian mendorong untuk mempertajam pandangan menemukan keajaiban dan kebaruan setiap hari dalam hal-hal yang sederhana.   Saya ingin merasakan religiusitas sehari-hari seperti yang dialami Anne Lamott dengan anak
Mengikuti perkembangan perang irak ini saya teringat sejarah Islam. teringat ceramah-ceramah pak jalal, kisah-kisah sufi dan buku-buku filsafat Islam. Berulang kali berita menyebutkan nama-nama kota penting itu, Basra, Najaf, Mosul, Karbala. Bagaimana nasib bangunan-bangunan indah bersejarah yang ada di kota-kota itu, apakah sungai Efrat dan Tigris akan berubah sungai darah korban perang ini. Melihat tentara Amerika masuk ke Karbala, saya setengah berharap jiwa-jiwa suci yang pernah bermukim di sana merasuki mereka, melumpuhkan mereka dengan sebuah peristiwa gaib yang mencengangkan. Bagi mereka tentu nama-nama kota itu sama sekali tidak memuat kenangan apa pun, hanya sebuah titik di atas bumi yang perlu mereka taklukkan dan kuasai.

Perang Irak, Pak Halim, Chen

Anak-anak adalah korban yang paling memilukan. Keluarga yang kehilangan anggotanya. Pulang kerja menemukan rumahnya telah dihancurkan bom dan keluarganya lenyap. Seumur hidup mereka akan membenci pelaku perang ini. Rasa tak berdaya paling mudah menguasai kita di saat ini. Rasa apatis bahwa hal kecil yang kita lakukan takkan ada artinya, takkan mampu mengubah keadaan dan hanya sia-sia.  Tapi demi menyahut dorongan nurani kita, agar kita tidak merasa terus berada di pihak yang tidak peduli di hadapan masalah kemanusiaan dan pelanggaran yang begitu nyata, kita perlu untuk menunjukkan keberatan kita, mengutuk perbuatan ini, menyeru pada penguasa alam dan manusia untuk menghentikan kekejaman dan ketidakadilan ini. Demi kejernihan nurani kita sendiri, kita harus menunjukkan sikap. Melihat demo antiperang di seluruh dunia memberi peneguhan betapa rasa kemanusiaan kita sama. Sama-sama pilu, sama-sama pedih melihat pameran kesombongan dan kerakusan ini.   **  Keluarga Pak Halim pulang ke Mala